Friday, 10 April 2020

Kebohongan-kebohongan Seputar Wabah Covig 19

Indonesian Free Press -- Per hari ini situs Worldometers.info menunjukkan bahwa jumlah penderita Covig 19 di seluruh dunia yang masih dirawat mencapai sejuta orang, 95% dalam kondisi sakit ringan/sedang dan hanya 5% dalam kondisi serius/kritis. Jika dianggap separoh dari angka serius tersebut meninggal dan seluruh penderita ringan sembuh (kecenderungannya memang demikian), maka tingkat kematian akibat Covig 19 'hanya' 2,5%.

WHO sendiri masih menggolongkan penyakit ini sebagai penyakit yang tidak membahayakan dan hanya 20% dari penderitanya yang memerlukan perawatan di rumah sakit (80% tidak memerlukan perawatan rumah sakit dan sembuh sendiri). Sementara profil pasien yang meninggal di seluruh dunia menunjukkan hal yang khas, yaitu orang-orang tua dan orang-orang yang berpenyakit bawaan serius.

Pakar nano pathologi (penyakit oleh benda-benda super-kecil) dari Italia Stefano Montanari mengatakan: "Ada sangat banyak virus corona di dunia. Penyakit flu biasa banyak disebabkan oleh virus ini. Mereka adalah virus yang dengan kemampuannya sendiri tidak cukup mematikan dan lebih banyak yang sama sekali tidak menimbulkan penyakit (innocuous). Namun virus ini bisa menimbulkan penyakit serius bagi orang-orang tua, khususnya orang tua yang menjalani perawatan penyakit pulmonary, atau yang memiliki penyakit pathologis lainnya. Orang-orang sehat sama sekali tidak terpengaruh oleh penyakit ini."


"Virus ini bisa ditemukan di mana-mana dan hidup tanpa menimbulkan sakit apapun, sama seperti kebanyakan virus lainnya, ada namun tidak berbahaya," kata Dr. Montanari kepada situs The Saker, 1 April lalu.

Namun semua itu tidak ada artinya di bawah fenomena paranoia global atas wabah Covid 19 karena bombardir berita-berita menakutkan soal wabah ini di media-media massa, sementara hal-hal 'positif' tentang virus ini tidak pernah diungkapkan. Bahwa tingkat kematian penyakit ini relatif kecil, dibanding misalnya TBC yang membunuh 200 orang lebih setiap hari di Indonesia. Bahwa penyakit ini hanya membunuh orang-orang tua dan berpenyakit bawaan dan tidak bisa menyerang anak-anak dan orang-orang dewasa dengan kondisi kesehatan baik. Bahwa 80% penderita penyakit ini hanya mengalami gejala penyakit ringan dan sembuh sendiri.

Sejak awal kami sudah mencurigai bahwa wabah ini sebuah rekayasa 'penguasa kegelapan' untuk terus mempertahankan kuasanya atas seluruh manusia di dunia dengan mengeksploitasi kebodohan manusia. Kami jadi ingat dengan wabah AIDS tahun 1980-an dan 1990-an yang begitu hingar bingar. Saking takutnya dengan wabah ini para dokter dan perawat pun harus menggunakan APD berlapis-lapis dalam menangani pasien AIDS. Baru beberapa tahun kemudian mereka mengetahui bahwa penularan virus AIDS/HIV hanya melalui hubungan seksual dan jarum suntik. Sementara Magic Johnson, pebasket legendaris yang membuat gempar dunia setelah mengklaim terinfensi AIDS/HIV dan disebut-sebut bakal meninggal beberapa bulan lagi karena tidak ada vaksin untuk AIDS/HIV, hingga kini lebih dari 30 tahun kemudian masih sehat wal'afiat.

Dan berikut ini adalah beberapa kebohongan di seputar wabah Covid 19. Yang pertama adalah tentang otoritas kesehatan Amerika yang 'memaksakan' Covid 19 sebagai penyebab kematian meski sebenarnya tidak, seperti dilaporkan oleh Cristina Laila di situs The Gateway Pundit, 4 April dengan judul 'Hospitals Can List Covid-19 as “Cause of Death” When It’s Not'.

Laporan ini merujuk pada maklumat yang dikeluarkan otoritas kesehatan Amerika, CDC, tentang Covid 19 sebagai penyebab kematian. “COVID-19 should be reported on the death certificate for all decedents where the disease caused or is assumed to have caused or contributed to death,” demikian panduan CDC yang dikeluarkan kepada seluruh rumah sakit dan fasilitas kesehatan di Amerika pada tanggal 24 Maret lalu. Dengan surat ini, seluruh kematian yang bisa diasumsikan disebabkan oleh Covid-19 harus dilaporkan sebagai kematian akibat Covid -19, meski tidak ada bukti laboratoriumnya. Diduga akibat hal ini angka kematian akibat Covid 19 di Amerika melonjak pesat.

Selanjutnya adalah kabar-kabar berita 'hoax' tentang wabah Covig 19 yang bertujuan untuk menciptakan ketakutan massal. Seperti dilaporkan The Northerntruthseeker, 5 April, banyaknya kabar yang beredar di media massa dan media sosial tentang situasi menakutkan di rumah sakit-rumah sakit di New York adalah hoax.

"Kami telah melihat laporan media-media itu dalam beberapa hari terakhir yang mengklaim kota New York City telah dipenuhi oleh korban Coronavirus dan bahwa para pekerja rumah sakit kini dikerubungi oleh pasien dan mayat korban wabah. ..... Dan kini terbukti bahwa hal itu tidak benar sama sekali," tulis The Northerntruthseeker. 

Hoax tentang wabah korban-korban Covig 19 ini telah mulai beredar di media sosial global ketika Cina mulai diterpa wabah pada akhir tahun lalu. Gambar orang-orang meninggal misterius yang semuanya diklaim sebagai korban Covig 19, meski faktanya secara umum coronavirus, yang merupakan keluarga Covig 19, sama sekali tidak mematikan.

Dan ketika Italia menjadi giliran negara dengan korban terparah, di media-media sosial pun beredar tulisan-tulisan dengan narasi menakut-nakuti, bahwa negara dengan sistem kesehatan terbaik di dunia saja bisa bisa lumpuh. Kemudian ditambah-tambahi dengan kabar hoax tentang 'pemerintah Italia menyerah' kepada covig 19. Faktanya adalah, seperti dikatakan oleh Dr. Stevano Montanari kepada The Saker, sistem kesehatan di Italia telah mengalami kehancuran sejak sepuluh tahun yang lalu. Dan Lombardy menjadi provinsi paling parah karena sistem kesehatan yang sangat buruk akibat korupsi para pejabat publiknya.

Beberapa hari terakhir juga beredar tulisan tentang sistem kekebalan tubuh yang memakan tubuh sendiri sehingga menimbulkan kematian sebagai dampak serangan Covig-19. Padahal, ini bisa dijelaskan dengan pengetahuan dasar soal patholigi. Jika sistem kekebalan tubuh lemah, semua penyakit bisa menimbulkan kematian. Termasuk coronavirus yang umumnya tidak berbahaya.

Dan yang terakhir adalah kebohongan soal rapid test covig 19. 

Ketika wabah Covig 19 tengah heboh-hebohnya sekitar sebulan yang lalu, muncullah kabar tentang keberadaan alat penguji cepat (rapid test) untuk mendiagnosa virus Covig 19 di dalam tubuh. Media-media massa pun dengan bersemangat menyebutkan bahwa alat ini bisa menjalankan fungsinya hanya dalam hitungan satu atau dua jam saja dengan akurasi mencapai 90% lebih. Tidak terlalu lama kemudian pemerintah Indonesia pun mengumumkan pembelian ribuan alat ini.  Namun yang sebenarnya alat ini tidak seperti digembar-gemborkan.

Tidak terlalu lama kemudian terdengar kabar bahwa pemerintah Jerman dan Spanyol mengembalikan rapid test yang dibeli dari Cina karena tingkat akurasi yang rencah. 

Dan ini adalah komentar beberapa ahli soal alat tes ini:

“Perlengkapan tes Mickey Mouse yang dikirimkan ke rumahsakit-rumahsakit, paling baik akan memberitahukan bahwa Anda memiliki sejumlah DNA virus di tubuh Anda, yang memang dimiliki oleh sebagian besar manusia pada setiap saat. Ini mungkin akan memberitahukan 'sequence' virus yang berkaitan dengan satu keluarga virus tertentu, katakanlah keluarga besar virus coronavirus. Itu saja. Pendapat bahwa peralatan ini bisa mengisolir satu jenis virus tertentu secara spesifik seperti COVID-19 adalah omong kosong. Lebih jauh, alat ini tidak bisa memberitahukan berapa banyak virus terdapat di dalam tubuh. Semua orang memiliki sejumlah virus menari-nari di dalam tubuh setiap saat dan kebanyakan tidak menimbulkan dampak apapun karena jumlahnya terlalu sedikit. Dan coronavirus adalah virus yang sangat umum. Sebagian besar manusia di dunia memiliki DNA coronavirus di dalam tubuhnya dalam jumlah kecil, bahkan jika ia dalam kondisi fit, atau dalam kondisi sakit karena sebab lain”.  "Colonial Pandemonium", Ian Fantom, The Truthseeker, 4 April 2020

Sementara ini Jon Rappoport dalam tulisannya "COVID: here come the antibody tests—quick, easy, and insane" di situs No More Fake News, 5 April 2020 menyoroti kebohongan-mendasar soal 'rapid test'. Alih-alih menunjukkan keberadaan virus Covig 19, alat ini hanya menunjukkan aktifnya sistem immune dalam tubuh seseorang dan kemudian diasumsikan sendiri bahwa hal itu disebabkan oleh adanya virus Covig 19. John adalah seorang penulis terkenal bertema dunia kesehatan dengan karya-karyanya seperti The AIDS Inc., dan trilogi THE MATRIX REVEALED, EXIT FROM THE MATRIX, POWER OUTSIDE THE MATRIX. Dalam tulisannya di No More Fake News John.

Menariknya, John mengutip laporan-laporan media utama perihal ini. Di antaranya, Chicago Tribune pada tanggal 3 April menulis: “Satu jenis alat uji coronavirus baru dan berbeda dengan yang lain telah tiba yang akan membantu secara signifikan perang melawan wabah COVID-19, sejumlah dokter dan ilmuwan mengatakan.”

“Tes pertama yang disebut dengan 'serology test', yang mendeteksi keberadaan antibodi terhadap virus ketimbang virus itu sendiri, telah mendapat persetujuan dari U.S. Food and Drug Administration pada hari Kamis.”

“'Serology test' mencakup pengambilan sampel darah untuk mengetahui apakah mengandung antibodi yang melawan virus. Hasil positif berarti bahwa seseorang telah mengidap virus di masa lalu dan sekarang telah kebal.”

"Lihatlah? Hasil positif berarti pasien kini telah kebal dan boleh kembali bekerja, dan bukan sebaliknya," tulis John.

John juga mengutip NBC News, 4 April 4, yang menulis, "Apa yang tidak bisa dihasilkan dari tes ini adalah memberitahukan kepada Anda apakah Anda tidak mengidap coronavirus dan aman untuk kembali keluar. Dan karena tes ini tidak bisa digunakan sebagai alat diagnostik, maka diperlukan informasi (tes) lain untuk mengetahui apakah seseorang mengidap COVID-19.”

John juga mengutip Business Insider, 3 April: “Negara-negara industri maju sejauh ini telah gagal untuk mengidentifikasi semua antibodi coronavirus yang cukup akurat untuk digunakan di rumah-rumah, menurut Menkes Inggris Matt Hancock.”

Karena masalah itu Inggris kini tengah mempertimbangkan untuk membatalkan penggunaan rapid test yang telah dipesan sebanyak 3,5 juta set. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?(ca)

No comments:

Post a Comment