Pada awal abad 20 tatkala mobil belum lama ditemukan, orang mengira masa depannya terletak pada listrik alias mobil bertenaga listrik. Apalagi listrik pada masa itu telah membawa revolusi pada dunia teknologi dengan ditemukannya berbagai peralatan yang menggunakan tenaga listrik. Thomas Alfa Edison sang “Bapak Listrik” sendiri sudah berhasil menciptakan mobil bertenaga listrik yang dikendarainya kemana saja ia pergi. Saat itu beberapa percobaan juga membuktikan selain murah (tanpa BBM), tidak berisik dan tidak menimbulkan polusi, performa mobil listrik tidak kalah dibandingkan mobil bensin. Namun perkiraan itu ternyata meleset. Mobil bertenaga listrik tidak pernah diproduksi secara massal sampai sekarang (tahun 1996 produsen mobil Amerika General Motors memproduksi massal mobil listrik EV-1, tapi meski laris kemudian ditarik dari peredaraan).
Kenapa mobil listrik tidak pernah dibuat padahal jelas lebih bermanfaat bagi manusia dibandingkan mobil bensin yang mahal, merusak lingkungan dan kurang nyaman?
Pada tahun 2001 paska tragedi runtuhnya gedung WTC di New York Amerika, para mahasiswa ilmu politik dan para pengamat politik pemula di seluruh dunia bertanya-tanya mengapa Inggris yang dipimpin oleh pemerintahan partai buruh membantu Amerika menyerang Afghanistan yang oleh Amerika dituduh mendalangi serangan WTC. Menurut teori politik yang diajarkan di bangku-bangku kuliah semestinya Inggris justru senang gedung WTC dihancurkan, mengingat WTC adalah simbol kapitalisme. Sementara Inggris adalah negara sosialis (karena dipimpin oleh partai buruh) yang secara idiologis adalah musuh Amerika. Tapi Kenapa Inggris yang sosialis membantu kapitalis Amerika?
Pada tahun 2005 harga minyak dunia melonjak hingga lebih dari seratus persen mencapai 70 dolar AS per-barrel. Dengan alasan mengurangi subsidi BBM yang ikut melonjak akibat naiknya harga minyak dunia, pemerintah Indonesia tanpa banyak pertimbangan langsung menaikkan harga BBM dalam negeri hingga 100% lebih. Sebenarnya keputusan tersebut kurang rasional karena untuk mengurangi beban keuangan pemerintah akibat subsidi BBM yang ditanggung tidak perlu dengan menaikkan harga BBM, apalagi keputusan itu membawa resiko politik yang sangat besar bagi pemerintah. Masih banyak solusi lain untuk mengatasi hal itu, misalnya saja intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Cara lain misalnya dengan memberantas korupsi yang telah mengakibatkan enifisiensi belanja pemerintah.
Cara-cara tersebut di samping sangat rasional juga akan memberikan credit point yang sangat besar bagi pemerintahan SBY-JK yang tentunya masih ingin memimpin negara ini paska pemilu 2009 mendatang. Namun mengapa pemerintah SBY-JK ngotot melakukan kebijakan yang tidak rasional dan tidak populer?
Hal-hal tersebut di atas adalah berbagai contoh paradok yang ada muka bumi ini termasuk Indonesia. Terlalu banyak paradoks untuk disebutkan. Sebut saja persoalan melambungnya harga minyak goreng padahal Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia. Mengapa Indonesia mengalami krisis BBM padahal merupakan negara pengekspor minyak? Atau mengapa dulu pemerintah terus saja berhutang kepada IMF meski semua bukti dan analisis menunjukkan IMF justru menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis ekonomi?
Mungkin karena banyaknya masyarakat tidak terlalu peduli lagi, atau justru membenarkan hal-hal yang paradoks alias jungkir balik itu. Contohnya para aktifis perempuan kini justru menolak RUU APP, padahal sebelumnya mereka sering mengeluh atas maraknya fenomena eksploitasi seks terhadap wanita. Sebagian masyarakat, termasuk ormas terbesar di Indonesia, juga menolak rencana pembangunan PLTN di Indonesia. Padahal tidak ada satu negara maju pun yang tidak menggunakan nuklir untuk memenuhi kebutuhan energinya selain fakta bahwa nuklir adalah sumber energi paling efisien dan efektif. Masyarakat juga “cuek bebek” tatkala pembangunan dilakukan secara tidak arif. Bukankah pembangunan infrastruktur di luar Jawa sangat penting untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi luar Jawa yang potensinya masih sangat besar dibandingkan Jawa? Bukankah membangun jembatan Jawa-Sumatera memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan jembatan Jawa-Madura? Bukankah Indosat dan PT Dirgantara Indonesia adalah aset yang sangat strategis bagi pembangunan, namun mengapa justru dijual dan dimatikan? Kenapa hal-hal yang jungkir balik itu terjadi?
Mungkin perlu dikaji lebih dalam ungkapan Benjamin Disraeli, PM Inggris berdarah Yahudi abad 19 yang melalui novel karangannya, Coningsby, mengungkapkan bahwa dunia berjalan tidak seperti yang tampak di permukaan karena sebenarnya diatur oleh “orang-orang yang bekerja di balik layar”. Orang-orang itulah yang telah membuat dunia menjadi serba jungkir balik. Mereka mendorong industri mobil untuk mengembangkan mobil berbahan bakar minyak, bukan listrik, karena menguntungkan bisnis minyaknya. Terbukti bahwa Ford Motor Company, produsen mobil yang pertama kali mengembangkan mobil berbahan bakar bensin secara massal adalah anak perusahaan minyak Standard Oil milik keluarga Rockefeller.
Kenapa Inggris membantu Amerika? Karena para bos partai buruh Inggris, termasuk PM Tony Blair, sebagaimana para mantan PM Inggris lainnya, adalah para eksekutif atau komisaris perusahaan-perusahaan kapitalis Amerika. Ada cerita menarik tentang paradoks komunis-kapitalis. Dahulu pada saat para pemimpin komunis di depan rakyatnya mengutuki negara-negara kapitalis Amerika dan Eropa, keluarga mereka dengan santai berlibur di sana. Bukti nyatanya adalah keluarga pemimpin komunis Uni Sovyet Josep Stalin dan Molotov sampai saat ini hidup di Amerika. Keluarga DN Aidit pun (tokoh komunis Indonesia) dalam pengasingannya tinggal di Eropa, dan Pramoedya Ananta Toer (budayawan komunis Indonesia) mendapat berbagai penghargaan di negara-negara barat termasuk hadiah pribadi dari Presiden Amerika Jimmy Carter.
Bagaimana mengenai kebijakan pemerintah SBY-JK yang menaikkan harga BBM hingga 100% paska kenaikan harga minyak dunia? Cukup kiranya dikemukakan bahwa sebelum terjadi kenaikan harga minyak dunia ada sebuah pertemuan rahasia Bilderberger Group, sekelompok pengusaha dan pejabat tinggi negara-negara maju Amerika dan Eropa, yang merekomendasikan kenaikan harga minyak dunia demi mendongkrak pendapatan mereka seraya menanamkan kekuasaan politik mereka. Pertemuan kelompok ini tahun 2006 bahkan merekomendasikan harga minyak dunia hingga 150 dolar AS per-barel. Ini berarti rakyat Indonesia harus siap-siap lagi menghadapi kenaikan BBM lagi hingga 100%.
Mengapa RUU APP mandek di tengah jalan? Tidak lain karena para kapitalis asing dan dan jaringannya di Indonesia yang menguasai bisnis seks dan hiburan akan terancam penghasilannya jika UU itu diterapkan. Mengapa pembangunan PLTN ditentang? Tidak lain karena para kapitalis asing dan para kompradornya takut Indonesia tumbuh menjadi negara kuat dan tidak lagi tergantung kepada negara-negara maju. Mengapa pembangunan di Indonesia terasa timpang khususnya antara Jawa-luar Jawa? Tidak lain karena para kapitalis pemberi pinjaman itu menginginkan adanya bom waktu disintegrasi di Indonesia yang sudah mulai terasa akhir-akhir ini. Wallahualam bi sawab.(Dimuat di Harian Batam Pos, 2007)
No comments:
Post a Comment