Suatu hari di tahun 532 M di ibukota kerajaan Romawi, Konstantinopel. Puluhan ribu rakyat Romawi berkumpul di Hippodrome, stadion kebanggaan Romawi tampat biasa diadakan pertunjukan gladiator, pacuan kuda dan aneka lomba kesukaan rakyat Romawi saat itu. Namun bukannya menyaksikan pertunjukan, mereka ternyata tengah merencanakan kudeta terhadap kekuasaan Maharaja Justinianus, raja besar Romawi yang salah satu warisannya, Codex Justinianus, dihargai sebagai salah satu sistem hukum terbaik sepanjang sejarah.
Saat itu rakyat Romawi terbagi dalam dua golongan, yaitu partai biru dan partai hijau. Kedua partai itu berdiri bukan atas dasar idiologi tertentu, atau berdasarkan ide dari sekelompok orang yang mempunyai visi dan misi tertentu. Kedua partai itu berdiri “secara kebetulan” dan “dengan sendirinya”.
Awalnya adalah di Hippodrome terdapat empat sudut tempat empat tim gladiator berkumpul sebelum bertanding melawan tim lain. Tiap sudut diberi tanda warna berbeda-beda, dua di antaranya biru dan hijau. Keempat tim gladiator memiliki pendukung sendiri-sendiri. Saking fanatiknya dukungan terhadap tim-tim tersebut hingga rakyat Romawi pun terpecah ke dalam empat golongan warna. Dalam proses selanjutnya, mirip proses koalisi permanen di dunia politik modern, keempat golongan warna itu pun terpolarisasi menjadi dua golongan saja yaitu partai biru dan partai hijau. Sangat boleh jadi partai ecek-ecek dari Romawi ini merupakan cikal bakal partai-partai politik jaman modern saat ini.
Pemberontakan dipicu oleh kenyataan bahwa maharaja secara de facto telah berada di bawah kendali istrinya, Theodora, mantan pelacur yang dibenci rakyat. Singkat kata rakyat tidak menginginkan kekuasaan jatuh ke tangan pihak yang tidak disukainya.
Saat itu pemberontakan hampir berhasil menumbangkan Maharaja Justinianus setelah pasukan kerajaan dikalahkan dalam pertempuran sengit di dalam Hippodrome. Namun saat kemenangan berada di depan mata, tiba-tiba muncul rasa saling curiga di antara kedua golongan bahwa golongan yang lain bakal menyingkirkan mereka setelah berkuasa. Maka kedua golongan itupun saling serang hingga segelintir orang saja yang berhasil menyelamatkan diri dari maut dan mengakhiri pemberontakan dengan cara yang sangat tragis.
Saat ini pun di Indonesia muncul fenomena sebagaimana fenomena di jaman Romawi, namun dengan kuantitas yang lebih besar. Berbagai golongan bersaing untuk memperebutkan kursi kekuasaan sebagai Bupati, Walikota, Gubernur hingga Presiden. Berbagai warna bendera pun turut berkibar di tengah-tengah persaingan itu. Perang bendera bahkan dipastikan bakal lebih ramai lagi saat Pemilu dilangsungkan tahun depan.
Namun penulis agak khawatir, sebagaimana fenomena jaman Romawi, berkibarnya berbagai macam warna bendera itu tidak dilandasi oleh idiologi atau idealisme tertentu yang bisa dipercaya dapat memakmurkan rakyat. Hampir semua partai “mengkhianati” landasan idiologinya sendiri. Partai yang mengaku nasionalis justru paling suka menjual asset-asset strategis bangsa kepada orang asing. Partai yang berazas agama justru menolak agama menjadi dasar hukum negara. Partai sekuler justru menggunakan simbol-simbol agama untuk menggaet konstituen. Dan yang paling baru adalah sebuah partai yang mengaku berazas Islam dan bergerak di masjid-masjid berubah haluan menjadi “Partai Liberal” yang aktivitasnya berpindah ke hotel dan kafe-kafe.
Tapi itulah realitas politik. Kekuasaan dan uang mengalahkan idealisme. Anggapan bahwa “politik itu kotor” mungkin merupakan keimanan manusia modern di seluruh dunia. Bukankah pemerintahan Partai Buruh Inggris di bawah PM Tony Blair justru membantu Amerika dalam “perang melawan terorisme” yang dikobarkan Amerika. Padahal teroris yang dikejar Amerika justru telah menghancurkan simbol kapitalisme World Trade Center, dan hal itu mestinya menyenangkan Partai Buruh, Partai Sosialis dan Partai Komunis serta partai-partai berhaluan kiri di seluruh dunia. Fakta sebenarnya adalah bahwa Perdana Menteri Tony Blair, seorang tokoh pejuang hak-hak buruh, ternyata seorang komisaris sebuah perusahaan kapitalis Amerika.
Mungkin fakta yang mencoreng idealisme golongan sosialis/komunis itu sudah diketahui umum. Tapi siapa peduli? Sama halnya dengan ketidak pedulian para pendukung partai nasionalis
Kembali ke jaman Romawi. Kebencian rakyat Romawi kepada seorang pelacur yang mampu menundukkan raja mereka tidak lebih dari sikap yang berlebih-lebihan. Saat itu seks bebas dan pelacuran merupakan bagian kehidupan masyarakat sehari-hari. Meskipun agama Kristen, sebagaimana agama wahyu Yahudi dan Islam yang melarang perzinahan, sudah diterima sebagai agama resmi negara. Seluruh penduduk dewasa Romawi adalah penggemar pelacuran. Dari gembel hingga kaisar, dan dari penjahat sampai pendeta. Famosa, julukan untuk pelacur tercantik dan terpopuler, adalah bagian raja, dan yang lain mendapat sisanya.
Sampai jaman modern pun politik dan seks nyaris tidak dapat dipisahkan. Bukankah rakyat Perancis membiarkan pemimpin mereka, Perdana Menteri Sarkozy memelihara gundik yang dibawa ke manapun ia pergi. Negara para ulama, Mesir pun mengijinkan perilaku zinah di rumah mereka dengan mengijinkan Sarkozy tidur satu kamar dengan gundiknya saat berkunjung ke Mesir. Hanya di Arab Saudi kebiasaan Sarkozy itu dilarang.
Tahun lalu
Pameo “Politik itu kotor” belum bisa dihilangkan. Bahkan oleh politisi-politisi yang berasal dari partai-partai agama.
***
No comments:
Post a Comment