Tuesday 26 August 2008
Pemahamanku Tentang Kepemimpinan Islam
Suatu hari di bulan Mei tahun 2007, di toko buku QB World Book di kawasan Kemang Jakarta, saya bertemu dan berkenalan dengan HNr, seorang penulis buku-buku zionisme di Indonesia yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah Islam terbesar di Indonesia.
Pada mulanya kami berbincang-bincang dengan akrab soal berbagai persoalan ummat Islam. Namun ketika saya menyinggung-nyinggung tentang perlunya kepemimpinan ummat dipegang oleh keturunan Rosul (ahlul bait), Ia berubah drastis. Cara duduk dan gaya bicaranya langsung menunjukkan ketidak senangan. Kemudian dengan berbagai alasan, termasuk diragukannya keaslian “darah keturunan Rosulullah”, ia menolak klaim tersebut dan menganggap semua orang, asal memiliki kualifikasi berilmu dan berakhlak mulia, berhak menjadi pemimpin umat. Dan meski kami berpisah dengan baik-baik dan ia sempat mengikrarkanku sebagai saudaranya, ia kemudian memutuskan silaturrahmi denganku.
HNr merupakan typical orang Islam kebanyakan yang beraliran Sunni. Mereka sangat over-reacted terhadap segala sesuatu yang berbau Syiah meski sebenarnya antara Syiah-Sunni tidak ada perbedaan mendasar dalam keyakinan kecuali dalam hal kepemimpinan umat serta pandangan tentang keimanan sebagian sahabat.
Syiah menganggap kepemimpinan umat adalah hak ahlul bait, sedang Sunni menolak pendapat itu. Syiah menganggap sebagian sahabat utama adalah orang-orang munafik sementara Sunni menganggap semua sahabat adalah adil dan terlepas dari dosa akibat tindakan mereka yang dianggap sebagai ijtihad. Kalaupun ijtihad yang diambil keliru, mereka tetap mendapat pahala. Satu hal lagi menurut pengamatanku yang menjadi perbedaan pendapat antara keduanya adalah Shiah menganggap Rosulullah adalah maksum atau terbebas dari kesalahan, sedangkan Sunni menganggap Rosul tidak maksum kecuali dalam hal penyampaian wahyu.
Alasanku mengenai perlunya kepemimpinan umat Islam berada di tangan ahlul bait sebenarnya mengikuti sunatullah. Bukankah merekalah manusia paling utama di dunia berdasarkan nashab. Mereka keturunan orang-orang yang telah dibersihkan oleh Allah dengan sebersih-bersihnya (QS 33:33). Mereka keturunan orang-orang yang kepada umat Islam diwajibkan melimpahkan kasih sayang (QS 42:23). Mereka keturunan orang-orang yang dikecualikan Allah dari manusia lainnya dengan larangan menerima zakat dan sedekah namun berhak mendapat bagian dari harta negara (QS 59:7 dan 8:41). Mereka keturunan orang-orang yang kepada mereka umat Islam diwajibkan bershalawat setiap sholat.
Kalau Allah saja memuliakan mereka dengan memilih mereka menjadi keturunan yang mulia, dengan dalih apa kita menolak mereka sementara kita menerima selain mereka untuk menjadi pemimpin kita? Apakah kita termasuk orang yang kelak di akhirat dengan percaya diri mengklaim di hadapan Allah sebagai orang yang tidak kurang mulia dibandingkan para keturunan ahlul bait, sementara kita tidak tahu darah siapa saja yang mengalir di dalam diri kita?
Dan mengenai sulitnya mencari keturunan Rosulullah yang dapat dipercaya rasanya terlalu berlebihan. Bukankah di berbagai penjuru dunia terdapat beberapa komunitas keturunan Rosul yang masih terjaga? Apalagi dengan adanya ilmu gineolog (bagian ilmu sejarah yang mempelajari asal usul suatu keturunan) masalah ini tentu saja bisa dipecahkan.
Saya sebenarnya bukan penganut Syiah karena belum bisa memahami salah satu ajaran pokok mereka, yaitu tentang keghaiban Imam ke-12 yang diyakini akan turun sebagai Imam Mahdi di penghujung umur dunia. Saya juga tidak bisa menerima salah satu kegiatan ritual mereka yang suka menyiksa diri terutama dalam menyambut hari Asyura. Ritual tersebut saya anggap bahkan lebih mendekati ritual pagan Hindu daripada Islam yang diajarkan Rosulullah.
Namun dalam banyak hal lain saya lebih cenderung kepada faham Syiah daripada Sunni atau ajaran kelompok-kelompok keyakinan Islam yang lain. Hal-hal lain tersebut adalah soal kemaksuman Rosulullah, soal keimamahan atau kepemimpinan ummat Islam serta ketidak-adilan dan kemunafikan sebagian besar sahabat setelah kematian Rosulullah.
Mengenai kemaksuman (bebas dari kesalahan) Rosulullah mungkin hanya Shiah yang setuju dengan pendapat itu, sementara paham Sunni menganggap kemaksuman Rosul hanya dalam hal penyampaian wahyu Allah (Al Qur’an). Mengenai ini cukup saya kemukakan satu ayat dalam Al Qur’an: “dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara sesuatu dengan hawa nafsunya.” (sori lupa nama surat dan ayatnya, tolong dibetulkan)
Sedangkan mengenai kemunafikan sebagian sahabat saya kemukakan satu ayat Al Qur’an: “Dan di antara orang-orang di sekelilingmu, penduduk kota Madinah dan orang-orang badui, terdapat orang-orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka.” (QS. Al Maidah: 117).
Rosul juga sudah memperingatkan adanya sebagian besar sahabat yang berpaling dari kebenaran karena memperebutkan dunia. Dalam satu haditsnya yang terkenal sebelum meninggal, Rosulullah bersabda: “Aku tidak khawatir kalian akan kafir sepeninggalku. Aku hanya khawatir kalian akan bertikai memperebutkan dunia.”
Soal kemaksuman Rosul dan kemunafikan sahabat, keduanya terkait erat dengan pemahaman umat Islam sekarang (Sunni) mengenai sosok-sosok sahabat utama.
Kemaksuman Rosul dan Kemunafikan Sahabat
Sesuai dengan ayat Al Qur’an: “tidaklah dia (Muhammad) berbicara sesuatu dengan hawa nafsunya,” pada dasarnya Rosulullah adalah maksum atau bersih dari dosa. Anehnya keyakinan ini hanya diimani oleh orang Syiah. Orang-orang Sunni justru menganggap Rosul tidak maksum kecuali dalam hal penyampaian wahyu. Untuk meyakinkan paham ini maka dibuatlah cerita-cerita aneh seperti dongeng tentang Rosulullah yang terkena sihir, atau cerita tentang kesalahan Rosul dalam ijtihadnya dan diluruskan oleh para sahabat. Umar dan Abu Bakar adalah dua sahabat yang sering diceritakan meluruskan kesalahan ijtihad Rosul.
Padahal Allah telah menegaskan bahwa Rosulullah terbebas dari gangguan manusia dan jin. Ilmu psikologi modern juga menegaskan bahwa sihir, hipnotis dan sebagainya hanya dapat diterapkan pada orang-orang yang lemah jiwanya sementara Rosulullah adalah manusia yang jiwanya paling kuat. Cerita tentang kesalahan Rosul dalam berijtihad dan diluruskan oleh sahabat juga bertentangan dengan logika maupun nash-nash dalam Al Qur’an. Bagaimana mungkin orang yang telah dibersihkan dadanya oleh malaikat sejak kecil, orang yang Allah dan malaikatnya bershalawat kepadanya, orang yang menjadi penghulu para nabi, tidak lebih bijak dibandingkan murid-muridnya yang separoh hidupnya dilalui dalam kejahiliahan: menyembah berhala, berjudi, minum khamr, berzina dan membunuh anah perempuan.
Kemudian setelah mengkaji lebih dalam saya berkesimpulan bahwa keyakinan Rosul tidak maksum sengaja dibuat untuk melegitimasi tindakan para sahabat yang sering membangkang Rosul sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah. Keyakinan Rosul dapat berbuat salah tentunya memberi ruang positif bagi sahabat-sahabat seperti itu untuk lepas dari hukum manusia sebagai orang munafik meski tidak menjamin bebas dari hukum Allah. Terkait dengan itu semua adalah pembahasan di bawah ini.
Kepemimpinan Umat Islam
Allah dalam Al Qur’an berulangkali menyebutkan tentang kepemimpinan. Rosulullah pernah bersabda bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan tidak memiliki pemimpin, maka ia meninggal dalam keadaan jahil? Ulama besar Ibnu Tamimiyah mengatakan bahwa hidup selama 60 tahun di bawah kekuasaan pemimpin yang dzalim masih lebih baik daripada hidup sehari tanpa pemimpin? Abu Bakar sebelum meninggal dunia mengangkat Umar sebagai penggantinya? Umar sebelum meninggalnya membentuk majelis syuro untuk menetapkan penggantinya? Pada saat jenazah Rosulullah diurus keluarganya pun, kaum muslim sudah bertengkar soal kepemimpinan?
Lalu mengapa kita percaya bahwa Rosulullah tidak pernah meninggalkan wasiat sedikitpun tentang kepemimpinan ummat Islam sepeninggal beliau? Apakah Rosul begitu “bodoh”-nya sehingga lupa pada masalah kepemimpinan umat Islam sepeninggalnya? Secara logika saja hal itu tidaklah mungkin. Syiah percaya bahwa Rosulullah telah menetapkan penggantinya sepeninggal beliau, dan hal itu sesuai dengan logika dan didukung oleh nash-nash yang ada.
Saya percaya bahwa kepemimpinan merupakan suatu hal yang mutlak harus ada dan melekat erat dengan Islam itu sendiri sehingga Islam dapat terus berkembang dan terpenuhi janji Allah yang akan memenangkan Islam dari agama-agama yang lain. Sebelum Muhammad, setiap nabi yang diturunkan wahyu kepadanya pasti juga menjadi pemimpin ummatnya agar ajaran-ajarannya dapat lebih mudah diterima dan berkesinambungan. Sepeninggalnya, setiap nabi pun mewariskan kepemimpinan umat kepada penggantinya yang paling memenuhi “syarat”. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim mewariskan kepemimpinan umatnya kepada anaknya Ismail (bangsa Arab) dan Ishak (menurunkan bangsa Yahudi). Nabi Ismail menurunkan kepemimpinan kepada anak cucunya hingga ke Muhammad. Nabi Ishak mewariskan kepemimpinan umat kepada Yakob yang diteruskan oleh anaknya Yusuf, hingga anak cucunya Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa. Semuanya merupakan satu garis “keturunan suci nabi-nabi”
Selain dalil aqli (logika), sebenarnya banyak sekali dalil-dalil naqli (nash atau teks-teks Al Qur’an, buku-buku hadits dan buku-buku sejarah Islam awal) yang menunjukkan bahwa Rosulullah telah menunjuk Ali sebagai penggantinya. Buku-buku sejarah Islam awal baik karangan Ibnu Ishak (152 H), Ibnu Shihab (125 H), Ibnu Rahuya (238 H), Ahmad bin Hambal, Tabhari, Tirmizi, Hakim, Ghazali hingga buku edisi pertama sejarah Muhammad karya Haikal, semuanya mencantumkan peristiwa Ghadir Khum, yaitu peristiwa proklamasi Ali sebagai pengganti Rosulullah. Buku-buku hadits dasar seperti Shahih Bukhari-Muslim hingga Haikal secara jelas mengakui klaim Ali atas kepemimpinan ummat Islam setelah kematian Rosulullah. Haikal dengan gamblang menyinggung adanya pertengkaran dan perkelahian di rumah Ali karena ia menolak membai’at Abu Bakar hingga nyaris rumahnya dibakar oleh para pendukung Abu Bakar.
Dalam suatu hadits muthawir juga disebutkan bahwa kedudukan Ali di sisi Rosulullah adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Alasan pemilihan Ali sebagai pengganti Rosul juga memiliki legitimasi yang kuat. Sebagaimana pandangan Syiah, Ali memiliki kualifikasi yang tidak dimiliki sahabat-sahabat yang lain. Selain sebagai saudara dan kerabat terdekat (sepupu), Ali adalah sahabat yang paling berilmu (disebut sebagai kunci kota Ilmu dalam hadits muthawir). Ali juga yang pertama memiliki mushaf Al Quran yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil sahabat. Pada saat meninggalnya, Ali meninggalkan kumpulan karya tulis berkualitas tinggi Nahjul Balaghah yang menjadi pegangan para ulama selama ratusan tahun. Selain Ali hampir tidak ada sahabat, bahkan yang paling utama sekalipun seperti Abu Bakar, Umar dan Usman, yang meninggalkan karya tulis karena memang kebudayaan Arab belum begitu mengenal tulis-menulis. Tidak heran jika oleh sejarahwan barat John Pool Ali disebut sebagai orang yang “melindungi dan memajukan sastra Arab”.
Ali juga sahabat yang paling awal beriman meski oleh para penulis sejarah sering disamarkan dengan istilah “dari kalangan anak-anak”. Faktanya adalah Ali tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama selain Rosul dan Siti Khadijah, yang melakukan sholat. Al Qur’an pun menyebutkan orang-orang yang pertama menerima risalah Rosul adalah kerabat beliau. Ali adalah kerabat, dan sahabat yang lainnya bukan kerabat.
Pasti banyak sekali yang tidak setuju dengan pandangan tersebut karena mayoritas umat Islam menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman lebih memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin dibandingkan Ali. Tapi kalau mau jujur, dengan membuka nash-nash dan buku-buku sejarah serta berpegang teguh pada kriteria pemimpin yang paling memenuhi kualifikasi: paling berilmu, paling awal beriman dan paling banyak jasanya dalam penegakan Islam, tentu menganggap Ali lah yang paling layak. Apalagi bila ditambahkan kualifikasi lainnya, yaitu kekerabatan dengan Rosulullah serta ayah dari cucu-cucu penerus darah keturunan Rosulullah.
Tidak ada nash-nash dan riwayat-riwayat keutamaan sahabat yang lebih banyak dibandingkan keutamaan Ali. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: tidak satupun dari sahabat Rosul yang memiliki keutamaan sebagaimana Ali. An-Nasai, A-Qodhi Ismail, dan Abu Ali an-Naisaburi berkata: Tidak satupun dari hadits-hadits keutamaan sahabat yang diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadits tentang keutamaan Ali. Selain itu, tidak seperti sahabat yang lain, nash-nash dan riwayat-riwayat keutamaan Ali banyak terkait dengan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam yang sulit untuk dibantah karena disaksikan banyak orang termasuk Rosul.
Riwayat tentang kepahlawanan Ali dalam Perang Badar, Perang Khandak dan Perang Khaibar dimana Rosulullah menyatakan keridhaan Allah dan Rosul kepada Ali, tidak sebanding dengan misalnya, riwayat Umar memikul makanan untuk orang miskin yang kelaparan yang tidak jelas kapan dan dimana kejadiannya. Katakanlah kedua riwayat itu sama-sama benar, tetap tidak sama kadar kualitas kepahlawanan antara keduanya seperti tidak samanya kualitas keimanan sahabat yang turut berperang dan sahabat yang tidak turut berperang karena suatu suatu sebab yang dibolehkan. Dalam Perang Uhud, ketika sebagian besar sahabat, termasuk Umar, lari dan kemudian tertidur di bawah bukit, Ali termasuk dalam sedikit sahabat yang mati-matian melindungi Rosul dari gempuran musuh.
Selain itu Ali, tidak terbantahkan oleh nash-nash dan manapun, sahabat yang paling patuh kepada Rosulullah, sementara para sahabat lainnya sering membantah dan membuat marah Rosulullah. Saat Rosulullah memerintahkan hukuman mati kepada beberapa tokoh musrik Makkah dalam peristiwa penaklukan Makkah, Ali memenuhi perintah itu sementara Usman bin Affan justru melindungi saudara sesusuannya yang diperintah bunuh oleh Rosulullah. Umar juga tercatat beberapa kali membangkang perintah Rosul. Misalnya dalam peristiwa Tragedi Hari Kamis saat ia menolak perintah Rosul untuk menuliskan surat wasiat Rosulullah sebelum meninggal. Umar dan Abu Bakar juga tercatat membangkang perintah Rosulullah untuk berangkat perang dalam ekspedisi terakhir Rosulullah yang dikomandani Usamah bin Zaid. Semuanya itu tercatat dalam buku-buku hadits dan sejarah pegangan seluruh ummat Islam baik Syiah maupun Sunni.
Pembangkangan-pembangkangan itu tidak bisa dibantah telah menginspirasi Umayah bin Abu Sufyan dan keturunannya (Bani Umayah) untuk mencaci maki keluarga Rosul, yang oleh Allah telah disucikan sesuci sucinya dan kepada umat Islam diwajibkan bersholawat dan menghormatinya. Perlakuan keji itu berpuncak pada pembunuhan secara keji (dengan disembelih seperti binatang) cucunda Rosulullah Hasan bin Ali dan keluarganya di Karbala. Sebagian keluarga Rosul yang selamat (wanita dan anak-anak, semua laki-laki dewasa dibunuh) diperlakukan seperti budak dengan dirantai dan dicambuk sepanjang jalan antara Irak dan Syiria).
Generasi Islam setelah bani Umayyah seperti bani Abassiah tidak kurang kejinya terhadap keluarga keturunan Rosul hingga mereka terpaksa hidup terpencar-pencar menyelamatkan diri.
Sebagian besar orang mungkin juga akan menganggap tidak ada manfaatnya mengungkit-ungkit kembali persoalan kepemimpinan awal ummat Islam sepeninggal Rosulullah. Namun justru di sinilah masalah paling mendasar dalam Islam terjadi. Karena ummat Islam yang tidak memenuhi wasiat nabi untuk menjadikan keturunan nabi (ahlul bait) sebagai pemimpin umat, maka sekarang ummat Islam menjadi lemah dan terpecah-belah, karena semua orang berhak mengklaim sebagai pemimpin.
Dari sisi akidah, menjadikan seseorang yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin menyebabkan amal perbuatannya sia-sia atau justru membawa dosa karena pemimpin yang tidak berkualitas tidak menuntun ke arah kebaikan dan kebenaran. Lihatlah bagaimana Umar yang pertama kali menolak sunnah Rosul (dalam peristiwa Tragedi Hari Kamis) dan membuat ijtihad yang menolak nash (mengeluarkan kaum muallah sebagai golongan yang berhak mendapat bagian zakat serta beberapa ijtihad lainnya), menjadi inspirasi timbulnya faham ingkar sunnah dan faham Islam Liberal.
Sampai saat ini para tokoh Jaringan Islam Liberal selalu berdalih hanya meniru Umar saat mereka berijtihad menolak nash, seperti pendapat mereka yang membolehkan pernikahan beda agama, pembagian zakat sama rata laki-laki dan perempuan, hingga menghalalkan homoseksual. Padahal berkali-kali dalam Al Qur’an Allah memerintahkan ummat Islam untuk menetapi semua perintah Allah dan Rosulnya, tanpa menambah atau mengurangi. Ijtihad hanya boleh dilakukan untuk hal-hal yang tidak tercantum dalam nash Al Qur’an dan hadits Rosulullah.
Lihat pula bagaimana Usman memimpin ummat Islam. Pada waktu pemilihan jabatan khalifah ia bersumpah akan mengikuti sunnah-sunnah Abu Bakar dan Umar, hal yang ditolak Ali yang menyatakan hanya patuh pada sunnah Rosul sehingga Ali tidak terpilih menjadi khalifah. Kebijakan pertama Usman justru mengingkari sunnah Abu Bakar dan Ummar dengan memecat pejabat-pejabat yang diangkat kedua khalifah pendahulu dengan pejabat-pejabat dari kalangan kerabatnya sendiri. Inilah yang menjadi penyebab perpecahan ummat Islam hingga berujung pada pemberontakan yang mengakibatkan kematian Usman. Inilah pemberontakan (bughot) pertama dalam sejarah Islam, dan apa yang diucapkan Usman sebelum pengangkatannya menjadi khalifah merupakan kebohongan publik pertama.
Tapi tetap saja Abu Bakar, Umar dan Usman dianggap adil. Keadilan juga dinisbatkan kepada Khalid bin Walid, seorang sahabat yang dua kali membunuh seorang muslim dan memperkosa istrinya hingga dipecat dari jabatannya dan dipenjara oleh Umar. Keadilan bahkan juga dinisbatkan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, seorang sahabat yang memberontak kepada khalifah Ali, meracun cucunda Rosulullah Hasan bin Ali, mencaci maki keluarga Rosul dan menciptakan sistem kerajaan dalam Islam. Sementara Rosulullah justru dianggap tidak maksum dan sering berbuat salah hingga perlu dikoreksi oleh para sahabat. Na’udhubillah.
Tentu saja tidak semua sahabat adalah munafik. Ammar bin Yassir, Abu Dzar al Ghifari, Salman al-Farisi, Bilal, Adi bin Hatim dan anaknya Hujjur bin Adi (saya lega karena akhirnya menemukan nama yang baik yang berkaitan dengan nama saya), Muhammad bin Abu Bakar adalah sebagian sahabat yang mencintai Islam tanpa pamrih keduniawian. Namun justru nama-nama mereka tenggelam dalam sejarah.
Penutup
Ilmu agama yang kita terima secara tidak langsung diterima dari para penerus Rosulullah, baik itu sahabat, ulama penerus sahabat (tabi’in), serta ulama penerus penerus sahabat (taba’it tabi’in). Jika dari awal ilmu yang kita terima sudah melenceng, maka ilmu yang kita terima sekarang lebih besar lagi melencengnya karena telah melewati berbagai penafsiran dan pemahaman.
Rosulullah sendiri pernah mengancam orang-orang yang salah memilih pemimpin dengan api neraka. Mungkin karena itulah Rosul pernah bersabda bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan yang masuk surga. Mungkin karena itu pulalah maka janji Allah untuk memenangkan umat Islam atas umat yang lain dan menjadikannya pewaris dunia, belum dapat dipenuhi-Nya. Namun yang pasti, suka maupun tidak terhadap kepemimpinan ahlul bait, Rosul pernah bersabda bahwa pada akhir dunia nanti akan muncul Imam Mahdi yang akan memimpin ummat Islam menjadi ummat pewaris dunia. Orang itu adalah darah keturunan Rosulullah.
Lalu mengapa harus menunggu sampai menjelang kiamat agar kita mengakui kebenaran kepemimpinan umat Islam di tangan keturunan Rosulullah?
Kalau saya ditanya mengapa menolak dinisbatkan sebagai pengikut Syiah, saya akan menjawab: tidak ada Syiah atau Sunni dalam Islam sebagaimana Allah dan Rosulnya tidak pernah menciptakan umat yang terpecah-pecah.
Keterangan foto: Raja Saudi bersama George W. Bush bergandengan tangan.
tulisan yang bagus semoga di dapat dari sumber yang benar dan untuk tujuan kebenaran.amin. Tapi bukankah Syiah itu di buat oleh Yahudi dari Yaman ???
ReplyDeleteDari sini saja, saya lihat anda lebih pro terhadap Syiah dari pada Sunni, padahal Syiah adalah salah satu golongan yang akan diperangi umat Islam di akhir zaman nanti, dan jangan lupa Syiah adalah buatan seorang Yahudi bernama Abdullah bi Saba untuk menghancurkan Islam. Silahkan lihat eramuslim yg membahas tentang Syiah..... Saya salut dengan semua karangan ilmiah anda kecuali yg membahas tentang Syiah. Rasul sendiri pernah bersabda, nanti sepeninggalku akan ada orang2 yg mendewakanmu Ali, bahkan mereka jauh lebih cinta kepadamu daripada kepadaku. Imam Ali menjawab, kalau aku masih hidup saat itu, ya Rasulullah, pasti akan kupenggal leher mereka satu persatu... (hadist shahih)
ReplyDeletebaru 2 minggu terkahir ini sy menemukan blog mas cahyono yang berbobot, hampir semua tulisan sy baca semuanya di blog ini. sebelumnya saya ucapkan terima untuk tulisannya, karena sy mendapat banyak pencerahan. mas cahyono, agar tulisan mas bisa tersebar ke smua pembaca, gimana klo di blog nya ditambahkan widget Facebook, jadi bisa sy like dan sy post kan di dinding facebook sy, dan teman2 sy bisa liat. Terima Kasih
ReplyDeletemengapa mempertengkarkan hal yang telah berlalu.Adalah sebuah kenyataan bahwa Pemimpin pertama setelah Rosul adalah Abu Bakar, Bukan Ali. Ketika kita mulai berbicara kata "seharusnya", "seandainya", "kalau saja" misal, seandainya Ali yang menjadi pemimpin pertama pasti Islam lebih makmur...maka kita hanya akan terjebak pada angan2 kosong. Karena semua itu telah berlalu. Kita hanya bisa mengira2 dan berprasangka. Tentu mas Cahyo tau, prasangka tak akan membawa kita kemana-mana.
ReplyDeleteSedangkan kalau berbicara hak memimpin, maka menurut saya pendapat yang lebih masuk akal adalah siapapun dia, asal memiliki kemampuan berhak menjadi pemimpin.Kemampuan memimpin bukanlah hal yang dapat diwariskan begitu saja. Tiba2 si fulan menjadi pemimpin luar biasa, itu tidak mungkin. Hal itu hanya terjadi pada Nabi, dan sayangnya tak akan ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad. Selain itu, bukankah tak semua keturunan nabi akan menjadi nabi. Misal seluruh keturunan Ibrahim menjadi nabi, dari mulai anak, cucu, cicit dan seterusnya, atau seluruh keturunan Adam menjadi nabi..apakah itu mungkin?????
berbeicara keturunan, bukankah pembunuh pertama di bumi adalah putra nabi adam sendiri?????
lalu bisakah Anda menjamin bahwa seluruh keturunan Ibrahim adalah orang baik dan beriman serta berpengatahuan????
Saya sesungguhnya senang melihat ulasan mas cahyo tentang ekonomi. Namun saya kaget melihat mas Cahyo masih membeda-bedakan antara Sunni-Syiah...seakan ada jurang dalam yang memisahkan keduanya...dan akibatnya umat Islam tak akan bersatu...