Friday 7 August 2009
KISAH ANTARA ALI, ABU DZAR DAN UTSMAN
Ali bin Abi Thalib tengah galau memikirkan kondisi negara dan umat Islam yang dilanda kekacauan akhir-akhir ini yang disebabkan kepemimpinan khalifah Utsman bin Affan. Gaya kepemimpinannya yang sangat nepotis itulah yang menjadi penyebabnya. Cara hidup yang mementingkan kesenangan duniawi di kalangan keluarga penguasa, dan sistem kekuasaan yang berdasarkan kerabat dan keluarga, telah membangkitkan rasa tidak puas yang semakin merata di kalangan ummat Islam.
Beberapa waktu setelah terbai'at sebagai Khalifah, Utsman bin Affan mengangkat orang-orang dari kalangan keluaganya (Bani Umayyah) dan di tempatkan pada kedudukankedudukan penting atau lebih penting dibanding dengan orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi penting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai kepala daerah atau gubernur, mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan, atau diserahi tanah-tanah yang sangat luas.
Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman, ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya, seperlima dari hasil harta jarahan (ghanimah) yang didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara, banyak yang dihadiahkan oleh Khalifah Utsman kepada para pembantunya, terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adalah kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu. Pembagian ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Qur'an.
Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid I, halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman yang dikendalikan oleh kerabat dekatnya, Marwan bin Hakam dan kawan-kawannya, yang sangat meresahkan kaum muslimin.
Di antara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu, karena penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bahkan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yang terdahulu tidak ada yang berani melanggar keputusan yang telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.
Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yang dilakukan oleh Khalifah Utsman atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yang menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah, yang waktu itu terkenal dengan nama "Mazhur", oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam, saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.
Namun yang sangat menyakitkan Ali adalah pengambil-alihan tanah Fadak oleh khalifah dan kemudian diserahkannya kepada kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini memiliki arti yang sangat khusus di mata Ali dan mengingatnya selalu membuat hatinya sedih sekaligus marah.
Tanah fadak adalah tanah pampasan perang yang oleh Rosulullah telah diberikan kepada putri tercintanya, Fathimah az-Zahra sang bunga surga, yang juga istri tercinta Ali bin Abi Thalib. Tindakan Rosulullah memberikan tanah Fadak kepada Fathimah adalah mengikuti perintah Allah yang diturunkan dalam Al Qur'an: "Dan kepada kerabatmu, berikanlah akan haknya." Tanah ini sangat subur dan luas dan selama bertahun-tahun dalam masa pemerintahan Rosulullah telah memberikan banyak keuntungan bagi keluarga Ali dan Fathimah.
Saat Abu Bakar berkuasa sebagai khalifah, ia mengambil tindakan yang sangat menyakitkan Fathimah dan Ali, yaitu merampas tanah itu dengan dalih sebuah hadits yang sangat kontroversial. Abu Bakar berdalih bahwa Rosulullah pernah bersabda bahwa sebagai seorang rosulullah beliau tidak meninggalkan warisan. Atas dasar hadits itu maka Abu Bakar mengambil alih tanah fadak dan menyerahkannya sebagai harta kekayaan negara (baithul mal).
Fathimah dan Ali tidak pernah mendengar hadits tersebut tentu saja menolak klaim Abu Bakar. Bagaimana mungkin sebagai ahli waris, Fathimah tidak diberitahu oleh Rosulullah langsung kalau memang beliau pernah mengatahan hal itu. Selain itu hadits tersebut juga bertentangan dengan Al Qur'an yang menyebutkan para rosul juga meninggalkan warisan sebagaimana Nabi Daud memberi warisan kepada Nabi Sulaiman dan Nabi Zakaria memberi warisan kepada Nabi Yahya. Bahkan ketika Fathimah berdalih tanah tersebut bukan warisan karena telah diberikan Rosulullah beberapa tahun sebelum meninggal, Abu Bakar tidak bergeming. Dengan dalih sebagai amirul umat ia tetap mengambil alih tanah fadak sehingga membuat Fathimah marah dan membawa kemarahannya hingga ke liang kubur.
Abu Bakar telah membuat Ali marah karena merampas tanah fadak untuk kepentingan umat. Apalagi Usman yang telah merampasnya untuk diserahkannya kepada kerabatnya sendiri.
Khalifah Utsman juga mengeluarkan sebuah peraturan yang menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan, bahwa padang ilalang sekitar kota, yang secara tradisional sudah menjadi padang penggembalaan umum, dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.
Lebih dari itu, daerah Afrika Barat bagian utara, yang sekarang dikenal dengan wilayah-wilayah Marokko, Aljazair, Tunisia, Libya dan terus ke timur sampai Mesir, dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dengan wewenang penuh. Dengan kekuasaan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di daerah itu, seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.
Abdullah adalah saudara sesusuan Khalifah yang pernah dijatuhi hukuman mati oleh Rosulullah sewaktu Penaklukan Mekkah, karena kejahatannya yang luar biasa kepada Islam. Ia selamat setelah Utsman menghalang-halangi niat nabi untuk mengeksekusinya. Sebenarnya Nabi tidak pernah mengampuninya. Beliau hanya menghindari perselisihan dengan Utsman yang ngotot membela saudara sesusuannya meski Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk memenuhi perintah Rosulnya, tanpa reserve karena perintah Allah memang tidak untuk diperdebatkan.
Kepada Abu Sufyan, dedengkot Quraisy yang dulunya terkenal peranannya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w., dan baru masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin, oleh Khalifah Utsman diberi hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Aban, Khalifah Utsman membekalinya lagi dengan uang sebesar 100.000 dirham, juga diambil dari Baitul Mal.
Sebuah riwayat mengisahkan, ketika Khalifah Utsman mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal untuk diserahkan kepada menantunya, Marwan bin Al Hakam, datanglah pengurus Baitul Mal, Zaid bin Arqam (salah satu sahabat utama yang paling awal masuk Islam dan rumahnya dijadikan sebagai tempat dakwah awal Rosulullah), menghadap Khalifah. Ia datang sambil menangis untuk menyerahkan kunci Baitul Mal.
Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: "Mengapa engkau menangis? Apakah karena aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?"
"Tidak!", jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan mengusap air mata. "Aku menangis karena aku menduga anda mengambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yang dahulu anda infakkan di jalan Allah, yaitu pada masa Rasul Allah s.a.w. masih hidup. Demi Allah, uang 100.000 dirham yang anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak."
"Hai Ibnu Arqam, letakkan kunci itu!" hardik Khalifah dengan wajah merah padam. "Kami bisa mendapatkan orang lain yang tidak seperti engkau."
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yang sangat menyolok antara kebijaksanaan yang dilakukan Khalifah-khalifah terdahulu dengan penerusnya yang sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau menanggulangi, sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.
Ali dan banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yang heran menyaksikan tindakan-tindakan Khalifah Utsman. Sebab mereka tahu, ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yang taqwa dan shaleh, tidak pernah mementingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yang tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang untuk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Namun Ali kemudian ingat hadits Rosulullah, bahwa sebagian dari para sahabat yang dahulu iklhas berjuang menegakkan Islam, setelah kematian Rosulullah akan saling bertikai karena memperebutkan dunia. Ali juga ingat dengan peringatan Allah kepada Rosulullah mengenai "melencengnya" para sahabat dari jalan Allah sepeninggal beliau. Hingga di akhirat kelak Rosul akan bersaksi sebagaimana kesaksian Nabi Isa atas pengikut-pengikutnya: "Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka." (QS Al Maidah 117)
Betapa klalifah telah menyimpang dari ajaran Rosul. Ia bahkan berani menentang nash-nash yang telah jelas dalam Al Qur'an dan hadits, misalnya dalam hal pembagian ghanimah dan merehabilitasi musuh Rosulullah. Ali masih mengingat dengan jelas apa yang telah disumpahkan oleh Uthsman sebelum dilantik sebagai khalifah.
Saat itu, sidang majelis syoru yang dibentuk untuk memilih khalifah pengganti Umar bin Khattab sampai pada satu titik di mana kandidat khalifah telah mengerucut menjadi dua orang: Ali bin Abi Thalib dan Utsman bin Affan. Abdurrahman bin Auf kemudian mengambil inisiatif. Ia mendatangi Ali dan manyatakan bahwa ia dan anggota-anggota majelis lainnya akan membai'at Ali jika mau bersumpah akan menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur'an, sunnah Rosul dan sunnah Abu Bakar dan Umar.
Ali dengan tegas menolak permintaan tersebut dan hanya mau bersumpah menjalankan pemerintahan berdasar Al Qur'an dan hadits Rosul.
Kemudian Abdurrahman mendatangi Uthsman dan mengajukan permintaan yang sama. Dengan tegas Uthsman menyetujuinya. Maka terpilihlah Uthsman sebagai khalifah. Namun kebijakan pemerintahan pertama yang dilakukannya justru melanggar sumpahnya, yaitu mengganti para pejabat yang telah diangkat Abu Bakar dan Umar dengan pejabat dari kerabatnya sendiri.
Abu Dzar dibuang
Abu Dzar Al-Ghifari adalah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yang paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yang mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman seperti Marwan bin Al-Hakam, Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yang pada masa pra-Islam terkenal amat liar, kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yang lewat daerah pemukiman mereka menjadi sasaran penghadangan, pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani, terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yang menjadi pemikiran dan pendiriannya. Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da'wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lebih oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys hingga ia nyaris meninggal karena dikeroyok orang-orang Qureiys yang marah. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah, Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yang berdekatan, yaitu qabilah Aslam, berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih, berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam, sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam, Nabi Muhammad s.a.w. dengan bangga mengucapkan: "Ghifar…, Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam…, Allah menyelamatkan kehidupan mereka!"
Sejak menjadi orang muslim, Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yang akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yang mengangkangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: "Demi Allah, yang mengutusmu membawa kebenaran, mereka akan kuhantam dengan pedangku!"
Menanggapi sikap yang tandas dari Abu Dzar ini, Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yang bijaksana memberi pengarahan yang tepat. Beliau berkata: "Kutunjukkan cara yang lebih baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dengan aku di hari kiyamat kelak!" Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dengan senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w., Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar, gejala-gejala sosial ekonomi yang dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, berkat ketegasan dan keketatannya dalam bertindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin, penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, penyakit yang membahayakan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan sendiri tidak berdaya menanggulanginya. Nampaknya karena usia Khalifah Utsman sudah lanjut, serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yang terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yang hidup serba kekurangan, hanya karena mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yang menggadai, hanya sekedar untuk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para penguasa dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan makin bertambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu, para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yang bertentangan dengan ajaran Islam, Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah, walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Berjuang sajalah dengan lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngiang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesarungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dengan senjata lidah berjuang memperingatkan para penguasa dan orang-orang yang sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kembali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam, ia selalu memperingatkan orang dengan ayat-ayat Al Qur'an: "Barang siapa yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih pada hari kiamat."
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umumnya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yang hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yang menuntut ditegakkannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, sesuai dengan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan, yang menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam, memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yang dapat mengancam kedudukannya. Untuk membendung kegiatan Abu Dzar, Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana, sambil berseru kepada setiap orang: "Aku sungguh heran melihat orang yang di rurnahnya tidak mempunyai makanan, tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!"
Seruan Abu Dzar yang mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yang menjadi pendukungnya. Bersama dengan itu para penguasa dan kaum hartawan yang telah memperkaya diri dengan cara yang tidak jujur, sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dengan pedang, tetapi lidahnya pun dipergunakan untuk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajaran-ajaran kemasyarakatan yang pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: "Semua manusia adalah sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…," "Tak ada manusia yang lebih afdhal selain yang lebih besar taqwanya…", "Penguasa adalah abdi masyarakat," "Tiap orang dari kalian adalah penggembala, dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya...." dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yang bergelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar, tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nurani. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduhan. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dengan sengaja ia menghadap Muawiyah, penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yang ditinggalkan di Makkah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dengan tanpa rasa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiyyah yang sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: "Bukankah kalian itu yang oleh Al-Qur'an disebut sebagai penumpuk emas dan perak, dan yang akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dengan api neraka?!"
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yang terus terang itu! Muawiyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Namun meski membahayakan kekuasaan, Abu Dzar adalah sahabat Rosul yang mulia. Muawiyah tidak berani bertindak keras terhadapnya. Ia hanya harus disingkirkan dari daerah kekuasaannya.
Segera Muawiyah menulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar yang menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan kekayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya, kucilkan saja di pembuangan.
Khalifah Utsman melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pilihan: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu, Abu Dzar dengan singkat dan jelas berkata: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Khalifah Utsman masih terus menghimbau Abu Dzar. Dikemukakannya: "Tinggal sajalah di sampingku!"
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: "Aku tidak membutuhkan duniamu!"
Sebagai orang yang hidup zuhud dan taqwa, Abu Dzar berjuang semata-mata untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya menghendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan, seperti yang dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w., Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar. Memang justru itulah yang sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman, sebab ia harus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawahannya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. Akhirnya, atas desakan dan tekanan para pembantu dan para penguasa Bani Umayyah,Khalifah Utsman mengambil keputusan: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah, satu daerah di tengah padang pasir yang tidak berpenghuni dan tandus. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yang mengucapkan selamat jalan atau mengantarkannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak, bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman. Ia berkata: "Demi Allah, seandainya Utsman hendak menyalibku di kayu salib yang tinggi atau di atas bukit, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lebih baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus berjalan dari kutub ke kutub lain, aku akan taat, sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang, hal itu lebih baik bagiku. Dan seandainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati, aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lebih baik bagiku."
Itulah Abu Dzar Ghifari, pejuang muslim tanpa pamrih duniawi, yang semata-mata berjuang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yang dengan gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yang penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sangat mengejutkan kaum muslimin, khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yang mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam bukunya As Saqifah, berdasarkan riwayat yang bersumber pada Ibnu Abbas, menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman di atas: Khalifah Utsman memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yang berani mendekati Abu Dzar, kecuali Imam Ali r.a., Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a., yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya, Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dengan bengis menegor: "Hai Hasan, apakah engkau tidak mengerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dengan orang ini? Kalau belum mengerti, ketahuilah sekarang!"
Melihat sikap Marwan yang kasar itu, Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencambuk kepala unta yang dikendarai oleh Marwan: "Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka."
Sudah tentu unta yang dicambuk kepalanya itu meronta-ronta kesakitan. Marwan sangat marah, tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah untuk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap karena merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata mendorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucapkan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yang dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar, Ali bin Abi Thalib mengatakan: "Hai Abu Dzar engkau marah demi karena Allah! Orang-orang itu, yakni para penguasa Bani Umayyah, takut kepadamu, sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh karena itu mereka mengusir dan membuangmu. Demi Allah, seandainya langit dan bumi tertutup rapat bagi hamba Allah, tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah, pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar, tidak ada yang menggembirakan hatimu selain kebenaran, dan tidak ada yang menjengkelkan hatimu selain kebatilan!"
Atas dorongan Imam Ali r.a., Aqil berkata kepada Abu Dzar: "Hai Abu Dzar, apa lagi yang hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu, dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sajalah sepenuhnya kepada Allah, sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah, karena sabar sama dengan berbesar hati. Ketahuilah, tidak sabar sama artinya dengan takut, dan mengharapkan maaf dari orang lain sama artinya dengan putus asa. Oleh karena itu buanglah rasa takut dan putus asa."
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: "Jika seorang yang hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam, dan orang yang mengantarkan saudara yang berpergian harus segera pulang, tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit, sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri, banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang sajalah ingatan tentang kepahitan dunia, dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam, dan gantikan saja dengan harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dengan Nabi-mu, dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu."
Setelah Al Hasan, kini berkatalah Al Husein: "Hai paman, sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yang paman alami. Tidak ada sesuatu yang lepas dari pengawasan dan kekuasaan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yang hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dengan sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mempercepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda datangnya ajal!"
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: "Allah tidak akan membuat senang orang yang telah membuatmu sedih, dan tidak akan menyelamatkan orang yang menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka, tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengatakan seperti yang kaukatakan, hanyalah orang-orang yang merasa puas dengan dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yang berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yang menang. Oleh karena itu banyak orang "menghadiahkan" agamanya masing-masing kepada mereka, dan sebagai imbalan, mereka memberi kesenangan duniawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu, sebenarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukankah itu suatu kerugian yang senyata-nyatanya?!"
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: "Semoga Allah merahmati kalian, wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat karena Utsman, dan di Syam aku merasa berat karena Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku, lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah, di mana aku tidak akan mempunyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah, aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…"
Tutur Dzakwan lebih lanjut: Setelah semua orang yang mengantarkan pulang, Imam Ali r.a. segera datang menghadap Khalifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah bertanya dengan hati gusar: "Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku, yakni Marwan dan meremehkan perintahku?"
"Tentang petugasmu," jawab Imam Ali r.a. dengan tenang "ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh karena itu ia kubalas. Adapun tentang perintahmu, aku tidak meremehhannya."
"Apakah engkau tidak mendengar perintahku yang melarang orang bercakap-cakap dengan Abu Dzar?" ujar Khalifah dengan marah.
"Apakah setiap engkau mengeluarkan larangan yang bersifat kedurhakaan harus kuturut?" tanggap Imam Ali r.a. terhadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
"Kendalikan dirimu terhadap Marwan!" ujar Khalifah memperingatkan Imam Ali r.a.
"Mengapa?" tanya Imam Ali r.a.
"Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yang dikendarainya" jawab Khalifah.
"Mengenai untanya yang kucambuk," Imam Ali menjelaskan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman, "bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku, tiap satu kali dia memaki, engkau sendiri akan kumaki dengan makian yang sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!"
"Mengapa dia tidak boleh memakimu?" tanya Khalifah Utsman dengan mencemooh. "Apakah engkau lebih baik dari dia?!"
"Demi Allah, bahkan aku lebih baik daripada engkau!" sahut Imam Ali r.a. dengan tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Sikap Ali bukanlah cerminan kesombongan, melainkan cerminan integritas diri. Ali menyadari sepenuhnya keutamaannya dibandingkan Uthsman: Ali lebih dahulu masuk Islam, Ali lebih banyak jasanya dalam menegakkan perjuangan Islam, Ali kerabat dekat Rosul sekaligus suami dari anak kesayangan Rosul. Ia orang yang oleh Rosul dinyatakan sebagai "saudara Rosul sebagaimana Nabi Harun bagi Nabi Musa", "kunci kota ilmu", "orang yang diridhoi Allah dan Rosulnya" serta julukan-julukan bernada pujian lainnya yang tidak disandang orang lain. Dan lebih dari itu Ali adalah seorang ahlul bait yang oleh Allah telah dinyatakan suci.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu, Khalifah Utsman memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyatakan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan, para pemuka yang beliau ajak berbicara menasehatkan: "Anda adalah pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai, itu lebih baik."
"Aku memang menghendaki itu," jawab Khalifah Utsman. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu mengambil prakarsa untuk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: "Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan untuk meminta maaf?"
"Tidak," jawab Imam Ali r.a. dengan cepat. "Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya."
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t., Imam Ali r.a. berkata: "Yang kau ketahui tentang percakapanku dengan Abu Dzar, waktu aku mengantar keberangkatannya, demi Allah, tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputusanmu. Yang ku maksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yang telah diberikan Allah 'Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan, sama seperti dia menghalang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu, itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku, sehingga keluarlah marahku, yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya."
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut, Khalifah Utsman berkata dengan nada lemah lembut: "Apa yang telah kau ucapkan kepadaku, sudah ku ikhlaskan. Dan apa yang telah kaulakukan terhadap Marwan, Allah sudah memaafkan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yang tadi engkau sampai bersumpah, jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh karena itu ulurkanlah tanganmu....!"
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan, kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman dan dilekatkan pada dadanya.
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembuangannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan, sehingga batu pun turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraannya di tempat pembuangan, dituturkan sebagai berikut: Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya, ia bersama isteri bertahan hidup dengan sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya, ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia mengajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir untuk mencari tetumbuhan.
Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin kencang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak menemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat, padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya, mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik.
Isterinya menangis, kemudian ditanya oleh Abu Dzar: "Mengapa engkau menangis?"
"Bagaimana aku tidak menangis," jawab isterinya yang setia itu, "kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yang cukup untuk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yang akan mengurus pemakamanmu!''
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: "Cobalah lihat ke jalan di gurun pasir itu, barangkali ada seorang dari kaum muslimin yang lewat!"
"Bagaimana mungkin?" jawab isterinya. "Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!"
"Pergilah kesana, nanti engkau akan melihat," kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yang dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. "Jika engkau melihat ada orang lewat, berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun, tutup sajalah mukaku dengan baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat, katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar, sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal untuk menghadap Allah, Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!"
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-kemari dan tidak menemukan apa pun juga, ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana, tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat, tampak benda-benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari kejauhan rombongan kafilah itu melihat, lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya, kemudian bertanya: "Hai wanita hamba Allah, mengapa engkau di sini?"
"Apakah kalian orang muslimin?" isteri Abu Dzar balik bertanya. "Bisakah kalian menolong kami dengan kain kafan?"
"Siapa dia?" mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
"Abu Dzar Al-Ghifari!" jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mulanya mereka tidak percaya, bahwa seorang sahabat Nabi yang mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. "Sahabat Rasul Allah?" tanya mereka untuk memperoleh kepastian.
"Ya, benar!" sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: "Ya Allah...! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!"
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing, lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yang sudah dalam keadaan payah itu menatapkan pendangannya yang kabur kepada orang-orang yang mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata: "Demi Allah…, aku tidak berdusta…, seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan untuk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku, aku tidak akan minta dibungkus selain dengan bajuku sendiri atau baju isteriku.....Aku minta kepada kalian, jangan ada seorang pun dari kalian yang memberi kain kafan kepadaku, jika ia seorang penguasa atau pegawai."
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: "Hai paman, akulah yang akan membungkus jenazahmu dengan bajuku sendiri yang kubeli dengan uang hasil jerih payahku.
Aku mempunyai dua lembar kain yang telah ditenun oleh ibuku sendiri untuk kupergunakan sebagai pakaian ihram…"
"Engkaukah yang akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!" Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata, lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam keadaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yang amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yang sedang dilanda tofan.
Selesai dimakamkan, orang Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: "Ya Allah, inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w., hamba-Mu yang selalu bersembah sujud kepada-Mu, berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyrikin, tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dengan lidah dan hatinya, sampai akhirnya ia dibuang, disengsarakan dan dihinakan. Sekarang ia mati dalam keadaan terpencil. Ya Allah, hancurkanlah orang yang menyengsarakan dan yang membuangnya jauh dari tempat kediamannya dan dari tempat suci Rasul Allah!"
Mereka mengangkat tangan bersama-sama sambil mengucapkan "Aamiin" dengan khusyu'. Orang mulia yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari telah wafat. Semasa hidupnya Rosulullah pernah berkata kepadanya: "Engkau datang sendirin. Engkau pun akan maninggal dalam kesendirian." Sementara Abu Dzar pernah berpesan: "Kebenaran tidak meninggalkan pembela bagiku..."
Namun tragisnya, para musuh Abu Dzar masih terus berusaha mendeskreditkan manusia "mulia" ini. Misal adanya sebuah cerita bahwa Abu Dzar pernah meminta suatu jabatan pemerintahan kepada khalifah. Permintaan tersebut ditolak karena Abu Dzar dianggap sebagai orang yang lemah dan itu menjadi penyebab ia menentang khalifah.
Yah begitulah. Bahkan kepada para ahlul bait yang oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya pun, mereka masih berusaha mendeskreditkannya, sampai sekarang.
selama saya belajar sejarah, belum pernah saya dapatkan sejarah seperti ini, ironi memang, tapi sepanjang yang saya tahu, Ali maupun FAtimah tidak pernah sampai menyesalkan apa yang menjadi kebijakan para khalifah sebelum beliau, mereka ikhlas menerima apa yang telah menjadi keputusan khalifah, baik Abu bakar, umar maupun Utsman, dan begiulah para sahabat yang lain, adapun sebab mereka berselisih adalah karena fitnah yang dilancarkan oleh orang2 munafik yang ingin menghancurkan islam dan juga musuh2 islam yang berpura2 masuk islam utk mengocar-ngacir barisan islam, dan mohon untuk kisah2 kisah yang berkaitan dengan perselisihkan para sahabat tidak disalah artikan sehingga musuh2 islam kegirangan dan menjadikan kisah2 seperti ini untuk menjauhkan orang2 awam muslimin dari ajaran islam, alangkah baiknya seandainya anda lebih banyak menyebut kebaikan dan keutamaan para sahabat terutama khalifah hingga semangat kaum muslimin kembali dan mereka menjadikan Rasulullah dan para sahabat sebagai rujukan utama dalam kehidupan, adapun adanya perselisihan mereka adalah karena mereka juga manusia yang tidak terlepas dari hawa nafsu dan dosa, yang penting selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat maka silakan dikritisi.wallahuta'ala alam
ReplyDeletedi sebutkah oleh baginda, abu Dzar diusir dan meninggal dalam pengasingan di Rabadzah..tragis..sahabat nabi
ReplyDelete