Wednesday 21 October 2009
KABINET EKONOMI NORMATIF
Lebih baik mana, seorang dokter medis lulusan universitas lokal dengan doktor ekonomi lulusan sekolah elit Amerika seperti Wapres Boediono dalam menangangi masalah ekonomi makro? Saya katakan, jika dokternya adalah Mahathir Mohammad, ia lebih baik dibandingkan sepuluh orang doktor ekonomi lulusan Amerika seperti Boediono.
Mungkin pernyataan saya itu dianggap terlalu ekstrim. Tapi kalau mau jujur pernyataan tersebut benar. Mahathir Mohammad, seorang dokter, berhasil membangun Malaysia menjadi negara maju secara ekonomi. Adapun Boediono dan banyak doktor ekonomi lulusan Amerika lainnya telah bekerja puluhan tahun sebagai menteri-menteri ekonomi Indonesia, namun Indonesia tidak pernah beranjak dari status negara miskin. Saya tidak peduli parameter-parameter statistik ekonomi seperti pertumbuhan ekonomi, pendapatan per-kapita, laju inflasi, tingkat pengangguran, atau angka kemiskinan, menunjukkan Indonesia telah masuk dalam kelompok negara menengah. Faktanya adalah sebagian besar rakyat Indonesia masih sangat miskin dan pengangguran masih tinggi.
Saya sebenarnya memimpikan seorang pemimpin nasional yang mampu bertindak taktis dan strategis membangun ekonomi nasional sehingga Indonesia mampu bangkit dari keterpurukan dan tumbuh menjadi negara maju. Pemimpin tersebut berani melakukan kebijakan ekonomi yang progresif, yang langsung mengena pada permasalahan dasar ekonomi Indonesia. Saya katakan pemimpin yang progresif adalah seperti Prabowo Subiyanto yang berani menawarkan program rescheduling hutang luar negeri dan menggunakan APBN sepenuhnya untuk pembangunan. Sayang ia kalah dalam pemilu presiden baru lalu karena rakyat menjatuhkan pilihannya pada pemimpin yang "tidak tepat".
Tentu saja Prabowo belum seprogresif Hugo Chaves presiden Venezuela. Ia merenegosiasi kontrak eksplorasi minyak dengan perusahaan-perusahaan minyak asing. Dengan cara itu Venezuela mendapatkan tambahan pendapatan yang sangat besar untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Namun untuk Indonesia, kebijakan reskedul pembayaran hutang sudah cukup efektif untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan rakyat. Dengan menunda pembayaran hutang tiga tahun saja setidaknya pemerintah akan mendapatkan dana tambahan Rp300 triliun. Cukup untuk membangun infrastuktur jalan yang layak di luar Jawa termasuk jembatan Jawa-Sumatera sebagai akselerator pembangunan nasional yang signifikan.
Dan dalam konteks ini Mahathir Mohammad juga seorang pemimpin yang progresif. Ia tidak hanya bertindak dan berfikir dalam tataran normatif, tapi juga taktis strategis. Ia tidak hanya berfikir tentang bagaimana menekan laju inflasi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan mengurangi pengangguran. Tapi ia juga berfikir progresif dengan membangun infrastruktur secara besar-besaran, membuka lahan perkebunan, mensubsidi pengusaha dan petani kecil, membuka lahan-lahan perkebunan, mensubsidi dan memproteksi industri nasional, mempromosikan pariwisata secara besar-besaran dan menggelontorkan miliaran ringgit untuk sektor pendidikan dan sosial. Dan ketika spekulan asing mengacaukan pasar uang, ia langsung menetapkan kebijakan moneter fixed rate. Kebijakan terakhir ini langsung menghentikan dampak negatif krisis moneter tahun 1997. Sementara Indonesia dengan kebijakan bailout BLBI-nya masih harus menanggung beban bunga hutangnya hingga Rp30 triliun setahun.
Akhir-akhir ini kita dibuai oleh sebuah pertunjukan "reality show politik" pemilihan anggota kabinet. Saya katakan reality show karena "pertunjukan" ini tidak memberikan dampak riel kecuali membuai rakyat dengan harapan-harapan semu bahwa figur yang terpilih adalah figur idealnya. Bahkan saat figur-figur itu terpilih masyarakat juga belum mendapatkan apa-apa. Rakyat baru mendapatkan manfaat setelah figur-figur itu bekerja sungguh-sungguh untuk kesejahteraan rakyat, satu atau dua tahun ke depan. Atau sebaliknya, keadaan justru semakin memburuk.
Ketika isu pemilihan kabinet baru mulai bergulir di media massa, saya sudah menduga orang-orang seperti Sri "Perampok Bank Century" Muliani akan tetap dipilih sebagai menteri sementara Siti "Patriot Penentang NAMRU 2" Fadhillah akan terdepak dari kabinet baru. Ini karena Presiden SBY sudah mengisyaratkan kepada siapa ia akan bekerja. Dengan gaya kampanyenya, orang-orang di sekelilingnya, dan pidato bahasa Inggrisnya dalam menyambut kemenangan pemilu presiden, SBY telah menunjukkan ia lebih mengabdi kepada kepentingan asing daripada rakyat Indonesia sendiri yang telah memilihnya. Kasihan rakyat Indonesia yang cintanya bertepuk sebelah tangan.
Lihat saja bagaimana orang-orang seperti sang ikon neoliberal Indonesia Boediono dan Sri Mulyani beretorika tentang ekonomi Indonesia. Tidak ada satupun program riel, apalagi langkah progresif. Mereka hanya berputar-putar tentang program-program normatif. Itu semua tidak lain untuk menyembunyikan agenda ekonomi mereka sebenarnya yang neo liberal alias membela kepentingan asing. Saya berani bertaruh, mereka tidak akan pernah berbicara tentang bagaimana membebaskan negara dari jeratan hutang luar negeri, atau pembangunan proyek-proyek strategis seperti jalan tol lintas Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau Irian, atau pembangunan jembatan Jawa-Sumatera, atau pembukaan lahan perkebunan besar-besaran di luar Jawa. Dan jangan pernah bermimpi mereka akan berbicara tentang pembangunan proyek sumber energi alternatif.
Sebaliknya mereka tidak akan berpikir dua kali untuk menaikkan harga BBM demi mengurangi "subsidi" BBM, menambah hutang luar negeri secara diam-diam, mengurangi tarif pajak impor, atau mengeluarkan bailout untuk bank perampok uang rakyat seperti Bank Century (istilah "perampok" saya pinjam dari pernyataan Wapres Jusuf Kalla tentang kasus Bank Century).
Perlu menjadi perhatian bahwa neo liberalisme yang telah dijalankan kabinet presiden SBY periode lalu tampaknya akan semakin diintentifkan periode mendatang ke sektor-sektor politik dan keamanan. Ini tampak jelas dengan diplotkannya pos menteri pertahanan untuk Purnomo Yusgiantoro, seorang fundamentalis neo-liberal yang tidak tergoyahkan kedudukannya sebagai menteri pos-pos strategis sejak reformasi, yang telah sukses membuat korporasi-korporasi asing mengeksploitir sumber daya minteral Indonesia. Lihat juga bagaimana SBY menggantikan Siti Fadilah, menteri kesehatan yang berhasil dengan program-program pelayanan kesehatannya dengan Endang Rahayu Sedyaningsih, lulusan Amerika yang bekerja di NAMRU 2, laboratorium Amerika yang ditentang Siti Fadillah karena dianggap mengangkangi kedaulatan Indonesia dan oleh sebagian kalangan dianggap sebagai alat inteligen Amerika di Indonesia.
Indikasi lainnya kekhawatiran ini adalah dengan hadirnya Paul Wolfowits, penjahat perang Irak yang merupakan komisaris zionis wilayah Asia Tenggara, dalam pelantikan Presiden SBY kemarin.
Keterangan gambar: Presiden SBY bersalaman dengan Paul Wolfowitz. Di belakang SBY adalah Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani.
No comments:
Post a Comment