Tuesday 25 May 2010
Thailand, Korban Ilusi Demokrasi yang Malang
Kesan saya tentang Thailand adalah sebuah negeri yang aman damai, ... dan makmur. Sebuah kombinasi sifat yang sempurna. Saya pernah melihat sebuah film yang memperlihatkan, bahkan di sungai-sungai di tengah kota Bankok, orang bisa menjaring ikan dengan mudah untuk mendapatkan ikan-ikan segar yang "ranum". Dan jangan ditanya tentang buah-buahan dan sayurannya.
Namun yang lebih mengagumkanku adalah bahwa Thailand merupakan sebuah negeri yang rakyatnya sangat rukun yang dipersatukan oleh kecintaan mereka pada raja yang mereka hormati. Dengan itu semua Thailand menjadi negeri yang sangat dihormati, bahkan oleh bangsa-bangsa besar yang rakus dengan wilayah jajahan yang makmur. Itulah sebabnya Thailand adalah satu dari tiga negara Asia yang tidak pernah dijajah oleh bangsa-bangsa kolonialis barat pada saat faham kolonialisme dan imperalisme merajalela di seluruh penjuru dunia.
Tapi itu semua kini telah berubah. Thailand telah menjadi negara yang terpecah belah dengan sangat tajam. Satu bagian rakyat membenci mantan perdana menteri Thaksin Sinawatra. Sebagian lainnya sangat memujanya. Dan kedua golongan saling membenci karena perbedaan pandangan tersebut. Dan dengan kondisi ini masa depan rakyat Thailand tengah dalam ancaman besar: dijajah secara ekonomi oleh para kapitalis asing, hal yang tidak pernah mereka alami sebelumnya.
Sebagaimana rakyat Perancis yang dibuai ilusi oleh slogan-slogan: kebebasan, persamaan dan persaudaraan dalam Revolusi Perancis, yang membuat rakyat Perancis bersama raja dan para pemimpin kehilangan nyawanya jauh melebihi jumlah nyawa tentara Perancis yang berperang di luar negeri, rakyat Thailand kini dibuai oleh ilusi yang bernama demokrasi. Demokrasi yang esensinya adalah memecah belah rakyat melalui sebuah mekanisme dan sturuktur politik yang mapan. Dan saat kondisi ideal sebuah demokrasi tercapai, tidak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk membawa sebuah negara menjadi negara yang kuat. Negara demokrasi paling kuat sekalipun seperti Amerika, sejatinya tidak lagi dikuasai oleh rakyat atau pemerintahnya, melainkan oleh "kekuatan jahat asing internasional" yang menjalankan pemerintahan global secara rahasia. Saat muncul seorang pemimpin yang populer dan berwibawa yang sanggup menyatukan rakyat, demokrasi menjatuhkannya melalui parlemen atau pengadilan. Inilah yang disebut dengan "trias politika" atau pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Hanya orang yang tidak pernah belajar sejarah-lah yang mengatakan skeptisme terhadap demokrasi sebagai "teori konspirasi", karena hal ini telah terjadi di mana-mana sepanjang waktu. Termasuk di Indonesia yang dua orang pemimpin kharismatiknya dijatuhkan dari kekuasaan atas nama demokrasi. Ini terjadi dalam Perang Sipil Inggris yang mengantarkan raja Charles ke tiang gantungan hingga kini Inggris diperintah oleh bukan orang Inggris. Keluarga Windsor yang kini menjadi raja Inggris berasal dari Jerman. Hingga perang dunia I mereka masih menggunakan nama Jerman sebagai nama keluarga, yaitu Saxe-Coburg-Gotha. Mereka baru merubah nama keluarga setelah sentimen anti Jerman menguat sebagai dampak perang.
Kembali kita tengok Amerika sebagai negara demokrasi paling maju dan terbesar di dunia. Kini rakyat Amerika yang memperjuangkan hak-hak rakyat sebagaimana diperjuangkan para pendiri bangsa ini termarjinalisasi dalam kelompok "tea party". Bahkan kelompok ini pun masih diupayakan untuk dipecah belah dengan masuknya "kuda troya" Sarah Palin ke dalam kelompok ini (tidak tahu siapa Sarah Palin? Jangan baca blog ini). Dan bisakah Anda membayangkan para petani kulit putih di wilayah midland mengadakan aksi longmarch menuju ibukota Washington menentang perusahaan Monsanto dan Dupont (keduanya milik yahudi) yang telah menguasai lahan-lahan subur mereka dan membuat mereka terbelit hutang yang mencekik? Media massa Amerika langsung mencap mereka sebagai "ku klux klan", "neo nazi", "ekstremis kanan", "ultranasionalis" atau bahkan mungkin "teroris", dan polisi memperlakukan mereka dengan sangat represif. Percayalah, Perdana Menteri Abhisit jauh lebih demokratis daripada Obama "mambo-dumbo" maupun Bush "idiot maniak".
Namun justru kondisi seperti Amerika-lah yang kini diinginkan para petani miskin dan intelektual sosialis Thailand yang tergabung dalam kelompok "kaos merah". Untuk itu, dengan naifnya mereka berani melawan polisi dan tentara. Jika mereka menang, dan tampaknya demikian mengingat "kekuatan jahat asing internasional" berada di belakang mereka, mereka akan merubah Thailand menjadi negara budak asing sebagaimana saat ini terjadi di Islandia, Portugal, Yunani dan negara-negara barat lainnya yang telah mendahului.
Memang sebagian rakyat Thailand di wilayah utara dan timur (basis kaos merah) miskin-miskin. Tapi demikian juga rakyat di negara-negara lain di Eropa, Amerika, India dan Indonesia. Hal itu tidak bisa menjadi alasan untuk membangkang pemerintah dengan mengatasnamakan demokrasi. Cina, negara yang paling maju pertumbuhan ekonominya itu bahkan bukan negara demokratis. Termasuk juga Singapura, Malaysia semasa Mahathir Muhammad dan Indonesia semasa Soeharto.
Semua negara demokratis di seluruh dunia pada dasarnya telah menjadi negara jajahan kapitalis internasional (baca: yahudi, blogger). Jika tidak terjerat oleh hutang luar negeri yang mencekik leher dan perampasan aset-aset strategis nasional, negara-negara demokratis terjerat oleh regim represif yang memenjarakan rakyatnya hanya karena ekspresi "anti semit" atau "ultra-nasionalisme". (Di Indonesia sempat dimunculkan istilah "nasionalisme kebablasan" atau "nasionalis sempit" untuk mendeskreditkan para nasionalis yang membela kepentingan nasional).
Saat massa "kaos merah" itu mendapatkan apa yang diinginkannya, yaitu tumbangnya pemerintahan nasionalis (bukan demokratis) termasuk pada akhirnya tumbangnya sistem kerajaan, mereka juga akan kehilangan persatuan nasional di bawah kepemimpinan raja yang berwibawa yang selama ratusan tahun menjaga mereka dari jarahan bangsa-bangsa rakus di dunia. Seperti Indonesia setelah reformasi, mereka akan melibaralisasikan semua sektor ekonomi dan menghapuskan subsidi untuk rakyat (dengan akibat harga barang-barang kebutuhan vital naik terus menerus, termasuk juga biaya pendidikan yang oleh konstitusi justru diwajibkan menjadi tanggungjawab negara). Negara akan diperintah oleh para pengusaha dan birokrat kepanjangan kepentingan asing.
Persatuan nasional adalah pertahanan paling ampuh bagi rakyat Thailand dari incaran srigala-srigala jahat kapitalis internasional. Sebagai bangsa yang bersatu, rakyat Thailand berhasil mengarungi sejarahnya selama 700 tahun setelah nenek moyang mereka meninggalkan Yunnan di Cina Selatan dan pindah ke Siam (sekarang Thailand) yang subur dan kaya dengan sumber alam. Secara alama tentu saja timbul perbedaan antara mereka yang mendapatkan kelebihan rejeki dengan masyarakat kebanyakan. Tapi selama seluruh rakyat mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasarnya, hal itu tidak menjadi masalah. Apalagi jika itu semua disertai dengan kesadaran bahwa hanya dengan persatuan seluruh rakyat, bangsa Thailand bisa bertahan hidup.
Para pengikut "kaos merah", tanpa sadar sebenarnya tengah mengacung-ngacungkan bendera kaum kapitalis asing. Merah adalah lambang komunisme yang juga merupakan ilusi para kaum kapitalis, tidak begitu akrab dengan warna simbol bangsa Thailand. Warna merah pula yang telah dikibar-kibarkan para petani dan buruh Rusia yang bodoh dan terbuai dengan agitasi orang-orang komunis, hanya untuk dibayar oleh nyawa puluhan juta rakyat Rusia paska Revolusi Bolshevik tahun 1917.
Rakyat Thaiand pengikut "kaos merah", Anda telah tertipu. Pulanglah ke rumah dan jangan dengarkan pidato Thaksin Sinawatra. Saat Anda dan teman-teman Anda berkubang darah, ia tengah berpesta di hotel mewah di New York, London atau Paris bersama George Soros, Mittal, Ambani, Rothschild, Bronfman, Rockefeller, dan orang-orang kaya lainnya yang makan malamnya bisa untuk membiayai hidup seorang petani miskin sepanjang tahun. Ia sama sekali tidak peduli kepada negara dan rakyatnya. Yang ia pedulikan adalah harta kekayaannya. Katakan kepada para ilusionis demokrasi itu: "Kami telah cukup dengan apa yang ada pada kami. Kami mungkin miskin, tapi kami adalah bangsa Thailand yang merdeka dan kami bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan kepada kami."
No comments:
Post a Comment