Mari kita ringkas semua peristiwa yang terjadi di Syria dalam 18 bulan terakhir ini, menurut kacamata barat sebagaimana disampaikan oleh media-media massa barat:
Terinspirasi oleh gerakan "Arab Springs", rakyat Syria menuntut kehidupan yang lebih demokratis, namun pemerintah menjawab tuntutan itu dengan tindakan keras sehingga mendorong rakyat Syria melakukan revolusi. Pemerintahan Presiden Bashar al Assad menumpas revolusi dengan kejam dengan membunuhi ribuan rakyat sipil tak bersenjata. Negara-negara barat dan Arab menginginkan dilakukan intervensi militer asing untuk menghentikan pembantaian oleh pemerintahan Syria namun ditentang oleh Rusia dan Cina.
Namun berbeda dengan gambaran itu, pertikaian yang kini melanda Syria dan telah menelan korban hampir 20.000 rakyat Syria itu sebenarnya telah dirancang Amerika bertahun-tahun yang lalu. Rancangan pertama adalah menggunakan "tangan" negara-negara sekutu Amerika yang menjadi tetangga Syria seperti Turki, Saudi dan Qatar untuk mengacaukan Syria. Tahap selanjutnya adalah mengirimkan milisi bersenjata asing sebagaimana model gerilyawan "CONTRA" di Nicaragua di tahun 1980-an. Namun dengan minimnya dukungan rakyat Syria serta faktor Rusia dan Cina yang menentang intervensi asing, membuat skenario Amerika itu berantakan.
Saat tulisan ini dibuat para pemberontak oposisi baru saja mengalami kehancuran dalam pertempuran Damaskus dan saat ini kekuatan utama mereka di Aleppo tengah menghadapi ancaman yang sama. Satu-satunya harapan mereka bisa selamat adalah melalui intervensi NATO, atau menggunakan tangan Turki membentuk zona pengaman di perbatasan dengan dalih menghentikan serangan gerilyawan Kurdi. Namun kedua skenario itu dipastikan akan membuat konflik Syria semakin membara karena memberi legitimasi sekutu-sekutu Syria seperti Hizbollah, Iran, Rusia bahkan Cina untuk turun gelanggang. Iran telah membuat pernyataan terbuka dengan mengancam akan menyerang musuh-musuh Syria jika melakukan intervensi. Sementara berita terakhir menyebutkan China, untuk pertama kalinya telah mengirimkan kapal perangnya ke Syria.
Pemberontak Syria sebenarnya tidak berjuang untuk membela demokrasi, mereka justru berperang untuk menghancurkannya. Hingga saat ini pun mereka tidak bersedia melakukan dialog dengan pemerintah Syria dan menolak semua upaya reformasi politik yang dilakukan pemerintah, termasuk reformasi mendasar yang hanya menjadi impian di kebanyakan negara Arab.
Interpretasi pemberontakan Syria sebagai bagian dari "Arab Spring" adalah sebuah ilusi karena tidak memiliki realisasi mendasar. "Arab Spring" sendiri hanyalah slogan buatan untuk memberi gambaran positif atas fakta-fakta kosong. Meski benar terjadi revolusi rakyat di Tunisia, Yaman dan Bahrain, hal ini tidak terjadi di Mesir, Libya dan Syria. Di Mesir aksi-aksi demonstrasi hanya terjadi di beberapa kota besar dan diikuti oleh kalangan menengah. Di Libya bahkan tidak terjadi aksi-aksi demonstrasi menentang reformasi politik, melainkan gerakan separatis masyarakat Caesaria (Benghazi dan sekitarnya) melawan pemerintahan pusat di Tripoli.
Televisi Lebanon "NourTV" tengah menayangkan film seri dokumenter “The Arab Spring, from Lawrence of Arabia to Bernard-Henri Levy.” Siaran itu berhasil menggambarkan dengan tepat bahwa fenomena “Arab Spring” yang tengah melanda negara-negara Arab merupakan pengulangan dari skenario yang sama yang disebut “Arab Revolt” antara tahun 1916-1918, yang merupakan gerakan pemeberontakan Arab terhadap kesultanan Turki Ottoman yang dirancang oleh Inggris. Gerakan inilah yang melahirkan negara-negara Arab modern seperti sekarang ini. Dan kalau "Arab Revolt" berhasil membentuk negara-negara Arab pro-Inggris, kini "Arab Spring" berhasil membentuk negara-negara Arab yang pro ekonomi liberal dan politik zionisme alias pro-Israel/Amerika/Uni Eropa. (Indonesia telah jauh mendahului dengan gerakan Reformasi-nya tahun 1997-1998).
Kali ini Israel/Amerika/Uni Eropa sukses mengganti diktator-diktator Arab dengan kepemimpinan "Persaudaraan Muslim" yang di satu sisi mengkampanyekan kebersihan rokhani (Islam) namun diam-diam melindungi kepentingan Israel/Amerika/Uni Eropa. Kita akan membuktikannya nanti saat para pemimpin "Persaudaraan Muslim" yang kini memimpin Maroko, Tunisia, Libya, Mesir dan bahkan Gaza (HAMAS), gagal memerdekakan Palestina dan membebaskan Al Quds (Jerussalem).
(Kita sudah bisa melihat tanda-tandanya. Kebijakan pertama Presiden Mesir Mursi adalah menuntut kantor berita Iran, "Fars" karena mempublikasikan wawancaranya tentang "peningkatan hubungan Mesir-Iran" yang dibuat beberapa saat sebelum pengumuman kemenangannya sebagai Presiden Mesir. Ia juga menolak undangan Presiden Iran untuk menghadiri KTT Non-blok yang diselenggarakan di Iran. Kunjungan internasional pertamanya adalah ke Arab Saudi. Lalu kita melihat sikap dan pernyataan HAMAS yang "lepas diri" dari konflik Iran-Israel dan konflik Syria-Amerika/Israel/Saudi. Padahal Iran dan Syria lah yang selama ini menjadi penyantun dan pendukung utama HAMAS saat ia ditinggalkan negara-negara Arab. Mursi boleh jadi bakal mengangkat blokade atas Gaza, namun sangat terbatas dan sampai pada tingkat "sekedar rakyat Palestina tidak mati kelaparan". HAMAS pun pada akhirnya akan mengakui negara Israel dan berunding dengan Israel demi sekedar menjadi "wilayah otonom").
Tidak mengada-ada jika penulis Syria, Said Hilal Alcharifi, mempelesetkan "Arab Spring" sebagai "NATO spring”.
Selain itu para pemimpin apa yang disebut Syrian National Council (SNC) sebagaimana juga Free Syrian Army (FSA) sama sekali bukan para pemimpin demokratis dalam arti berjuang demi “pemerintahan rakyat". Pemimpin pertama SNC adalah akademisi Perancis keturunan Syria Burhan Ghalioun. Ia bukan seorang oposan yang ditindas pemerintah Syria karena bebas bepergian masuk keluar Syria. Ia juga bukan seorang sekuler sebagaimana ia selama ini mengklaim, karena ia adalah penasihat bagi Abbassi Madani, pemimpin partai Islam Aljazair Islamic Salvation Front (ISF), yang kini tinggal di Qatar.
Pengganti Burhan, Abdel Basset Syda diplot Amerika untuk menjadi pemimpin SNC dan langsung menduduki jabatan puncak untuk melayani kepentingan Amerika. Tidak lama setelah terpilih, ia menyatakan bahwa tugasnya adalah mengimplementasikan "Rencana Washington" untuk Syria, bukan melayani kepentingan rakyat Syria.
Demikian juga para komandan Free Syrian Army dengan penasihat spiritualnya yang menyerukan penggulingan Bashar al Assad bukan karena masalah demokrasi melainkan karena ia seorang Alawit. Kepada orang-orang Alawit pendukung Bashar al Assad, sang Sheikh Salafi/Wahabi yang tinggal di Saudi ini mengancam di hadapan pemirsa televisi Arab Saudi: "Jika menang, kami akan memotong-motong tubuh Anda dan melemparnya sebagai makanan anjing".
Padahal Rosulullah melarang orang untuk merusak jasad mayat, meski mayat musuh yang dibenci sekalipun.
"Pengadilan Revolusi" yang dibentuk FSA menjatuhi hukuman mati para pendukung Bashar al Assad hanya karena alasan politik, tidak saja orang-orang Sunni, Alawit, Druze, namun juga Kristen. Mereka juga memenggal kepala "orang-orang kafir" di jalanan. Tujuan mereka hanya satu, mengganti regim sekuler dengan regim baru yang Salafis/Wahabis.
(bersambung)
Ref:
"The Syrian opposition: who’s doing the talking?"; Charlie Skelton; Guardian.co.uk; 12 Juli 2012
"Who is Fighting in Syria?"; Thierry Meyssan; Information Clearing House; 25 July 2012
No comments:
Post a Comment