21 bulan lebih konspirasi Amerika dan zionis internasional gagal menumbangkan regim Bashar al Assad, dan NATO masih bersabar untuk tidak melakukan intervensi langsung. Mengapa? Salah satu jawabannya adalah sistem pertahanan udara Syria yang dipasok Rusia.
Rusia diketahui telah mengirimkan sistem-sistem pertahanan udara canggih ke Syria sejak pecahnya kerusuhan bulan Maret 2011 lalu. Dan karena personil militer Syria belum memiliki keahlian untuk mengoperasikan peralatan-peralatan itu, personil militer Rusia bahkan berada di Syria untuk mengoperasikannya. Tidak heran jika seorang analis militer Syria menuduh Rusia-lah yang sebenarnya telah menembak jatuh pesawat tempur Turki yang masuk ke wilayah Syria beberapa waktu lalu.
Jatuhnya pesawat tempur Turki itu mungkin saja membawa implikasi serius bagi rencana intervensi NATO terhadap Syria sehingga sampai saat ini rencana tersebut tidak pernah direalisasikan. Padahal negara-negara sekutu Arab Amerika seperti Qatar dan Saudi begitu "ngebet" untuk dilakukannya intervensi. Baru-baru ini Amerika berada pada satu titik terdekat bagi dilakukannya serangan udara dengan mengirimkan 2 kapal induknya ke perairan Syria setelah menuduh Syria menggunakan senjata kimia. Namun kemudian kapal-kapal induk itu ditarik kembali.
Salah seorang petinggi AU Rusia Mayjend Alexander Leonov, baru-baru ini mengatakan, "Pertahanan udara Syria bukanlah omong kosong. Itulah sebabnya tidak satupun yang pernah serius untuk melakukan serangan udara terhadapnya."
Pernyataan itu juga bukan "omong kosong". Pertahanan udara Syria terdiri dari 2 divisi yang berkekuatan 50.000 personil militer atau 2 kali kekuatan udara Libya. Secara keseluruhan Syria memiliki ribuan meriam udara dan 130 battere pertahanan udara yang setiap batterenya terdiri dari selusin peluncur rudal.
Tidaklan mengherankan jika Rusia sangat serius mempertahankan Syria karena selain sekutu yang menguntungkan ekonomi, Syria juga menjadi garda depan Rusia dalam menghadapi kekuatan militer Amerika dan sekutu-sekutunya. Rusia telah menempatkan peralatan elektronik canggihnya di Latakia dan Tartus. Tartus bahkan menjadi pangkalan laut satu-satunya Rusia di perairan Mediterania dari sedikit pangkalan yang tersisa dari era Uni Sovyet.
Menurut Jeremy Binnie dari LSM analis militer yang berbasis di Inggris, Jane’s Terrorism and Security Monitor, senjata-senjata anti-udara buatan Rusia yang dimiliki Syria termasuk Buk-M2 dan Pantsyr-S1 (SA-22) yang bisa dipindah-pindahkan. Belum ada konfirmasi mengenai keberadaan rudal pertahanan udara yang lebih canggih S-300, namun kapal-kapal perang Rusia yang bolak-bolak balik ke Syria kemungkinan telah mengirimkan rudal canggih itu. Tidak hanya Syria, Iran pun kemungkinan juga telah mendapatkannya setelah 2 kali kapal perangnya datang ke Tartus. Rusia secara resmi memang membatalkan pengiriman senjata S-300 ke Iran yang telah dibeli Iran, demi menghormati larangan PBB, namun tidak ada jaminan jika Rusia tidak mengirimkannya secara diam-diam. Amerika dan sekutu-sekutunya menyadari betul hal itu.
Guy Ben-Ari analis militer dari "Strategic and International Studies" dari Washington Amerika, Rusia tidak hanya menjual senjata-senjata itu, melainkan juga melatih personil-personil militer Syria untuk mengoperasikannya.
Setiap serangan udara atau penerapan "zona larangan terbang" terhadap Syria mengharuskan dilakukannya serangan udara besar-besaran terhadap sistem pertahanan udara Syria. “Untuk melakukannya tidak cukup pada tingkatan Libya, Anda memerlukan serangan yang jauh lebih besar terhadap Syria," tambah Ben-Ari.
Dengan kondisi keuangan Uni Eropa yang kurang baik, operasi semacam itu tentu saja sangat tidak populer karena besarnya biaya yang dibutuhkan. Maka peran terbesar akan ditanggung Amerika. Padahal setelah "kekalahan" di Irak dan Afghanistan Amerika mengalami trauma untuk melancarkan perang besar lagi. Dan dengan Obama dari kubu Demokrat yang memegang kursi kekuasaan, Amerika tampak semakin jauh dari kemungkinan melibatkan diri dalam konflik yang jauh lebih besar di Syria. Apalagi Obama baru saja melakukan pembersihan terhadap aparat inteligen dan militer yang dianggap sebagai pendukung serangan militer termasuk Direktur CIA Jendral David Petraeus.
REF:
"Russian military presence in Syria poses challenge to US-led intervention"; Julien Borger; Guardian.co.uk; 26 Desember 2012
No comments:
Post a Comment