Menjelang Pemilu 1999, saat saya masih menjadi wartawan di Batam, saya mendapatkan tugas dari pimpinan saya untuk mengajukan satu "pertanyaan kunci" kepada Amien Rais saat beliau "berkampanye" di Masjid Raya Batamindo, Muka Kuning-Batam.
"Apalah Bapak mendukung Pak Habibie menjadi presiden mendatang?"
Demikian "pertanyaan kunci" tersebut saya ajukan kepada Amien Rais begitu kesempatan yang sangat sulit akhirnya datang kepada saya. Amien Rais tidak menjawab pertanyaan saya. Sebaliknya saya melihat wajahnya memerah menahan marah. Sesaat kemudian ia memegang pundak saya dan menekannya keras-keras sambil berlalu.
Saya menyembunyikan peristiwa ini kepada atasan dan rekan-rekan kerja karena menganggapnya sebagai sebuah "aib" tidak saja bagi saya namun juga bagi Pak Amien. Bertahun-tahun saya pun mencoba memahami mengapa Pak Amien Rais marah kepada saya karena pertanyaan tersebut di atas. Hingga akhirnya saya mendapatkan jawabannya.
"Bodoh aku! Siapa yang tidak ingin jadi presiden?" kata saya dalam hati setelah berhasil menemukan jawaban atas kemarahan Pak Amien Rais tersebut.
Ya, siapa tidak ingin jadi presiden? Terlebih bagi seorang yang merasa paling berjasa dalam gerakan reformasi yang sukses menumbangkan regim Orde Baru pimpinan Pak Harto. Pak Amien Rais tentu juga ingin menjadi presiden. Namun sayang realitas politik tidak memihaknya, Amien Rais telah menjadi "kartu mati", dan hal itulah yang membuatnya marah saat disinggung tentang prospek Habibie menjadi presiden.
Boleh saja Pak Amien sukses menumbangkan Soeharto. Namun secara de-facto Pak Harto masih menjadi orang paling berpengaruh di Indonesia. Kalau tidak di kalangan politisi, setidaknya Pak Harto masih berpengaruh besar di kalangan birokrat dan terlebih lagi TNI. Ditambah kekayaan yang melimpah, tidak ada yang tidak bisa dilakukan Pak Harto kecuali bertahan menjadi presiden. Anaknya saja, Tommy, bisa membunuh seorang hakim agung dan masih bisa mendapatkan remisi dan bisnisnya masih lancar sampai kini. Siapa saja yang berani mendukung Pak Amien menjadi presiden sama saja dengan melempar kotoran ke muka Pak Harto dan keluarganya. Dan tidak ada orang waras di Indonesia yang berani melakukan hal itu. Maka Amien pun gagal menjadi presiden, tidak saja pada tahun 1999, namun juga tahun 2004 dan 2009.
Hal lain lagi yang baru saya ketahui kemudian adalah hubungan gelap antara Amien Rais dengan para tokoh zionis-neokonservatif Amerika. Adrian Napitupulu, tokoh gerakan mahasiswa "Forum Kota" dalam acara diskusi "Apa Kabar Indonesia Pagi" hari Rabu (22/5) lalu menuduh Amien Rais bersama elit-elit politik telah menelikung gerakan reformasi yang digerakkan para mahasiswa dan baru benar-benar bergabung dengan gerakan reformasi 70 hari sebelum lengsernya Pak Harto tgl 21 Mei 1998. Saya masih ingat benar karena diberitakan oleh media massa saat itu, bahwa pada bulan April atau saat gerakan reformasi tengah mencapai momentumnya, Amien Rais pergi ke Amerika. Media massa memang tidak menyebutkan apa saja yang dilakukan Amerika saat itu. Namun kini saya yakin, beliau menemui para tokoh zionis-neokonservatif. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan instruksi-instruksi dan dukungan dana.
Kebiasaan Amien Rais menemui para gembong zionis ini juga terkonfirmasi oleh tulisan Christianto Wibisono di Harian Suara Pembaharuan tgl 29 Mei 2007 berjudul "AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ". Harap diperhatikan bahwa tulisan tersebut menyebut pertemuan-pertemuan Amien Rais dengan tokoh-tokoh zionis seperti Paul Wolfowitz (arsitek perang Afghanistan dan Irak), George Soros (tangan kanan keluarga Rothchild pendiri negara Israel), Al Gore (mantan wapres Amerika agen provokator isu pemanasan global untuk kepentingan globalis yahudi) serta Henry Kissinger (arsitek perang Vietnam).
Berikut adalah tulisan tersebut:
AMIEN RAIS DAN PAUL WOLFOWITZ
Bola liar aliran dana DKP memuncak menjadi “adversarial contest” antara Presiden Yudhoyono yang setelah bersabar 2,5 tahun menyebut nama Amien Rais sebagai opponent “penyebar fitnah”.
Mantan menteri Rokhmin Dahuri barangkali akan tercatat dalam sejarah sebagai "whistleblower" pengungkap gunung es skandal KKN yang menggoncangkan jantung kekuasaan NKRI pasca Reformasi. Saya baru mendarat di Kennedy Airport New York City Rabu siang 23 Mei, ketika Andi Malarangeng menelpon tentang berita Amien Rais menyatakan pernah ditawari dana oleh Paul Wolfowitz dan dalam berita itu Amien Rais menyebut salah satu yang menyaksikan pertemuan adalah saya dan Bambang Sudibyo.
Saya berangkat dari Jakarta Minggu malam 20 Mei dan tidak membaca berita tsb. Karena itu saya menyatakan bahwa pertemuan Amien dan Paul Wolfowitz yang dimaksud mungkin salah satu dari acara Amien Rais sebagai Ketua Umum PAN bulan Maret 1999. Waktu itu belum ada pilpres langsung, dan pendamping Amien waktu itu adalah Bambang Sudibyo sedang “manager” yang mengatur perjalanan Amien ke Washington DC ialah Bara Hasibuan. Paul Woffowitz waktu itu berada diluar kabinet dan menjabat Dean School of International Affairs, John Hopkins University.
Membicarakan hubungan bilateral AS dengan pelbagai negara dunia termasuk RI, harus memahami pelbagai tingkatan, jalur dan dimensi dari "multi-track diplomacy" secara cermat. Bila tidak, akan terjadi kerancuan dan campur aduk yang membingungkan karena "factor conflict of interest" pada tingkat individu, institusi maupun "inter-state" (hubungan antar Negara)
Baik Paul Wolfowitz maupun Edward Masters menyatakan bahwa USINDO adalah lembaga netral dan bukan "lobbyist" dalam arti “spesifik” dan karena itu tidak dalam posisi untuk “mengatur atau mengusahakan pertemuan antara Amien Rais yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PAN dengan Wapres Al Gore. Dalam "euphoria" demokrasi itu maka National Endowment for Democracy (NED) adalah lembaga AS yang mempunyai missi membantu mengembangkan proses re-demokratisasi bekas negara otoriter, termasuk Indonesia. Partai Republik mempunyai International Republican Institute (IRI) sedang Partai Demokrat mendirikan National Democratic Institute (NDI). USINDO bisa menghubungi IRI dan NDI agar Amien Rais bisa bertemu dengan senator dan "congressmen" baik dari Demokrat maupun Republik. Secara umum juga ditekankan bahwa AS berkepentingan melihat suksesnya reformasi demokratis di Indonesia setelah keluar dari krismon dan perubahan dari rezim otoriter ke demokrasi parlementer.
Saya mengikuti beberapa pertemuan rombongan inti Amien Rais, Bambang Sudibyo dan Bara Hasibuan serta Yahya Muhaimin (waktu itu Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI). Sepanjang ingatan saya pembicaraan dengan Paul dan elite AS serta Michael Camdessus dari IMF adalah pada tingkat hubungan bilateral, institusional dan juga harapan suksesnya demokrasi RI pada tingkat operasional dengan pemberdayaan lembaga lembaga demokrasi seperti parpol dan LSM. Di New York, Amien Rais juga sempat bertemu George Soros dan Henry Kissinger. Itulah satu satunya agenda “resmi” karena posisi saya sebagai anggota Majelis Pertimbangan Pusat PAN.
Setelah itu, pemilu 1999 menghasilkan multipartai dengan PDIP sebagai fraksi terbesar tapi bukan mayoritas dan manuver Poros Tengah melahirkan paradox bahwa Megawati harus puas jadi Wapres karena Amien Rais menjadi arsitek Poros Tengah yang mengorbitkan Gus Dur sebagai Presiden. Bambang Sudibyo kemudian memperoleh posisi strategis sebagai Menteri Keuangan.
Gus Dur ternyata tidak bisa dikendalikan oleh Poros Tengah dan konspirasi ini hanya berumur 2 tahun karena Gus Dur di-"impeach" oleh MPR digantikan oleh Megawati.
6 minggu sebelum "impeachment" Gus Dur menawarkan jabatan Menko Perekonomian sekitar 10-12 Juni 2001. Saya menyatakan bisa menerima bila Gus Dur dan Megawati rujuk sehingga pekerjaan sebagai Menko selesai separo bila dua atasan bersatu. Tapi kalau Menko harus bekerja dibawah Presiden dan Wapres yang saling bersaing, maka Menko itu pasti habis waktunya untuk memahami sebetulnya kabinet dan pemerintah itu mau dibawa kemana, bila RI 1 dan RI2 ber-oposisi satu sama lain.
Melaju ke pilpres 2004, Amien Rais sudah menjadi ketua MPR dan kunjungan ke Washington tentu sudah diatur oleh protokol Senat dan KBRI. Paul Wolfowitz sudah jadi deputy Menhan dan sibuk soal Iraq dan saya hanya menghadiri ceramah umum Amien di depan USINDO. Karena jaringan yang saya bina di Washington DC, banyak tim sukses capres yang menghubungi saya mengenai persepsi AS terhadap capres dan hubungan bilateral bila terpilih sebagai presiden. Saya tekankan perlunya hubungan bilateral yang strategis antara kedua negara. Ini bukan masalah sumbangan dana kampanye, melainkan hubungan bilateral yang melembaga dan transparan seperti hubungan AS-Rusia, AS-RRT, AS- Arab Saudi, AS-India dst dsb. Bobotnya ialah "mutual strategic interest" dua negara dan wawasan kenegarawanan capres ybs.,
Dana kampanye capres RI tentu harus berasal dari dalam negeri berdasar mekanisme regulasi yang berlaku. Dana kampenya capres AS juga ketat menyeleksi dan menghukum pelanggaran setoran dana kampanye oleh orang atau lembaga asing non AS. Ketika John Huang dari Partai Demokrat menyalurkan sumbangan dari group Lippo ke dana kampanya Bill Clinton, maka delik pidana ini disidangkan dan John Huang serta Charlie Trie dijatuhi pidana kurungan dan denda. Karena itu Mahathir yang sudah belajar dari kasus John Huang, memakai pola yang lebih rumit. LSM Malaysia menyalurkan donasi ke LSM AS, jadi suatu aliran dana terbalik dari Negara Dunia ketiga malah disumbangkan ke mbahnya kapitalis AS. Lalu LSM AS itu yang mengatur dana itu yang statusnya sudah menjadi dana LSM AS, disalurkan ke dana kampanye Bush, secara legal dan afdol. Kisah ini tetap menarik dan disorot karena sempat menyinggung "lobbyist" Jack Abramoff.
Secara "explicit" dan terbuka pada peluncuran GNI 10 April 2007 saya telah mengusulkan UU pencegahan "conflict of interest" penguasa merangkap pengusaha. Politisi terutama ex pengusaha harus menyerahkan pengelolaan asset bisnis kepada "blind trust management", perusahaan independen pengelola assets ketika pengusaha politisi tersebut menjabat menteri atau sampai Presiden. Tidak ada larangan pengusaha jadi menteri atau presiden. Yang harus diatur adalah "conflict of interestnya" bila terjadi amburadul dana pribadi dan dana kampanye.
Capres atau politisi kemudian harus mengumumkan dua macam buku yang transparan. Buku pertama ialah harta, bisnis dan penghasilan pribadi serta pajak yang dibayar. Buku kedua ialah buku dana kampanye yang jumlahnya bisa lebih besar dari harta milik dan penghasilan pribadi. Buku ini juga diaudit secara transparan untuk mengetahui apa dan siapa donator dan berapa jumlah donasi yang tidak boleh melanggar ketentuan maksimal perorangan dan perusahaan.
Semua usulan ini sudah saya sampaikan kepada Presiden Yudhoyono 10 April sore itu juga. Ketua DPR yang Senin malam 9 April datang makan malam sudah mendengar begitu pula Ketua DPD hari Rabu 11 April. Ketua Mahkamah Konstitusi hari Jumat 13 April dan kemudian Ketua MPR menjelang heboh usul amandemen. Jadi GNI sudah memberi peringatan dini bahwa masalah amburadul "conflict of interest" penguasaha dan dana kampanye harus ditanggulangi dengan sistematis.
Masih belum terlambat bila kita melaksanakan sistem itu agar tidak ditelan wabah “dana kampanye model Joyoboyo”. Tragis bahwa baik Amien maupun Paul menjadi korban kasus dan isu bernuansa moral KKN. Joyoboyo ternyata tidak mengenal batas Jawa, Indonesia atau Yahudi Amerika Serikat.
Artikel ini ditulis Oleh Christianto Wibisono di Harian "Suara Pembaharuan" tgl 29 Mei 2007
No comments:
Post a Comment