Akhir pekan lalu Israel melakukan beberapa serangan udara terhadap beberapa sasaran militer Syria termasuk di ibukota Damaskus. Israel mengklaim serangan tersebut ditujukan pada penyimpanan rudal-rudal Iran yang hendak dikirimkan kepada sekutunya di Lebanon, gerilyawan Hizbollah.
Serangan tersebut mendapat kecaman dari berbagai negara karena dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan negara berdaulat. Namun pemerintah Indonesia, yang pernah menyarankan persiden Syria untuk mundur dan mengklaim sebagai negara yang menjaga perdamaian dunia, diam membisu. Demikian juga Turki dan negara-negara Arab sekutu Amerika seperti Saudi, Qatar dan negera-negara Teluk. Amerika dan Inggris membenarkan tindakan Israel tersebut.
Syria menyatakan serangan tersebut sebagai tindakan perang dan menyatakan akan menentukan waktu dan bentuk balasan yang tepat. Sekutu Syria, Hizbollah, menyatakan siap membantu Syria berperang melawan Israel. Sedangkan Iran menyebut serangan tersebut sebagai tindakan yang akan "mempersingkat umur negara Israel".
Ada banyak analisis yang memcoba mencari alasan mengapa Israel melakukan tindakan berbahaya tersebut. Berbahaya, karena aksi tersebut bisa memicu peperangan besar antara Israel dan pendukung-pendukungnya melawan blok "Perlawanan" anti-zionisme yang dipimpin Iran. Sebuah analisis menyebutkan bahwa tindakan Israel tersebut merupakan bentuk keputus-asaan Amerika dan zionis internasional atas perkembangan krisis Syria yang tidak sesuai harapan mereka setelah selama 2 tahun lebih berbagai upaya untuk menumbangkan regim Bashar al Assad, dilakukan.
Israel telah sejak lama mengancam akan melakukan serangan terhadap sasaran-sasaran yang mengindikasikan adanya pengiriman senjata terhadap Hizbollah atau "kelompok-kelompok teroris lain" atau upaya penyelundupan senjata Syria ke Lebanon yang bisa mengancam Israel. Namun dalam kenyataannya "kelompok-kelompok teroris" yang disebutkan Israel tidak lain adalah kelompok-kelompok yang didukungnya bersama Amerika dan Arab Saudi untuk menggulingkan regim Syria dan Iran.
Jurnalis pemenang hadiah Pulitzer Seymour Hersh dalam artikelnya yang dimuat di New Yorker tahun 2007 berjudul "The Redirection", menyebutkan:
“Untuk melemahkan Iran yang penduduknya dominan Shiah, pemerintahan Bush memutuskan untuk merekontruksi prioritas kebijakan luar negerinya di Timur Tengah. Di Lebanon, Amerika bersekutu dengan Saudi Arabia yang Sunni, melakukan operasi rahasia guna melemahkan Hezbollah, kelompok Shiah yang didukung Iran. Amerika juga terlibat operasi rahasia yang ditujukan terhadap Iran dan sekutunya Syria. Produk dari kebijakan-kebijakan tersebut adalah kelompok-kelompok ekstremis Sunni yang memiliki pandangan agama ekstrim yang memusuhi Amerika dan bersimpati pada al-Qaeda.”
Terkait dengan Israel, artikel tersebut menyebutkan:
"Perubahan kebijakan tersebut membuat Saudi dan Israel terikat pada satu persekutuan erat yang didasarkan pada pandangan yang sama yang melihat Iran sebagai musuh bersama. Mereka telah terlibat dalam perundingan-perundingan langsung, dan Saudi, yang melihat stabilitas politik antara Israel dan Palestina membuat pengaruh Iran menjadi semakin kecil, semakin akrab dengan Israel."
Sebagai tambahan, para pejabat Saudi menganggap bahwa hubungan yang tampak terlalu dekat antara Amerika dengan Saudi akan membuat Saudi kehilangan kredibilitas terutama di mata negara-negara kawasan dan dunia Islam. Pangeran Bandar, kepala inteligen Saudi dan salah seorang kandidat raja dianggap terlalu dekat hubungannya dengan keluarga Bush hingga oleh media massa dijuluki sebagai Bandar Bush. Maka Saudi lebih menyukai Israel yang menyerang Iran atau sekutu-sekutunya daripada Amerika yang melakukannya. Inilah yang menjadi salah satu dasar serangan-serangan Israel terhadap Syria, setelah upaya-upaya untuk menggulingkan regim Bashar al Assad mengalami kegagalan.
Di sisi lain serangan Israel diharapkan bisa mengurangi tekanan yang dilancarkan pasukan Syria terhadap pemberontak yang kini dalam posisi terdesak di berbagai front. Skenario melibatkan Israel dalam konflik di Syria telah jauh hari disarankan oleh lembaga kajian Amerika Brookings Institution. Dalam kajiannya tentang Syria berjudul “Assessing Options for Regime Change” lembaga ini menyebutkan:
“Sebagai tambahan, inteligen Israel memiliki pengetahuan mendalam tentang Syria termasuk unsur-unsur di dalam pemerintah yang bisa dimanfaatkan untuk mensubversi kekuatan regim dan menekan Assad untuk jatuh. Israel bisa menempatkan pasukan di dekat Dataran Golan yang akan dapat mengalihkan pasukan pemerintah dari tekanannya terhadap para pemberontak. Kehadiran pasukan itu akan bisa menimbulkan ketakutan pada regim Assad untuk menghadapi peperangan di beberapa front, apalagi jika Turki juga melakukan hal yang sama di perbatasannya dengan Syria. Pergerakan-pergerakan pasukan itu mungkin akan mendorong para komandan tentara untuk menggulingkan Assad demi menjaga keselamatan mereka sendiri."
Namun serangan udara tentu lebih dari sekedar "gertakan" sebagaimana disarankan Brookings Institution. Aksi ini lebih menunjukkan keputusasaan Amerika dan NATO atas perkembangan di Syria, dan selanjutnya menginginkan Israel sendiri yang terjun ke medan perang sebagaimana mereka menginginkan Israel sendiri yang menyerang Iran. Pilihan Amerika ini tercantum dalam kajian Brookings Institution tentang Iran berjudul "Which Path to Persia?", yang menyebutkan:
"Israel tampak telah melakukan rencana intensif dan pesawat-pesawat tempurnya mungkin bahkan telah ditempatkan pada posisi-posisi terdekat dengan Iran. Dalam kondisi ini Israel mungkin akan siap melakukan serangan dalam hitungan minggu atau bahkan hari, tergantung pada cuaca dan laporan inteligen yang diterimanya. Lebih jauh, mengingat Israel tidak terlalu membutuhkan dukungan regional untuk melakukan serangan, Jerussalem mungkin akan merasa kurang termotivasi untuk menunggu provokasi dari Iran untuk melakukan serangan. Secara singkat, Israel bisa bergerak cepat untuk mengimplementasikan opsi ini jika Israel dan Amerika sama-sama menghendaki opsi (serangan) ini terjadi."
Bagi Amerika, sebuah serangan dari Israel akan membuka pintu terjadinya konflik yang lebih besar yang akan memberi alasan bagi Amerika dan NATO untuk "turun tangan" menyerang Syria dan Iran sebagaimana telah lama direncanakan. Sebaliknya bagi Syria dan Iran, serangan Israel harus disikapi dengan hati-hati. Sejauh mungkin menghindari perang terbuka, namun cukup membuat Israel untuk berfikir 2 kali untuk mengulangi aksinya. Serangan artileri balasan secara terbatas yang dilakukan bersama oleh Syria dan Hizbollah mungkin adalah aksi balasan yang tepat.
"Israel’s airstrikes against Syria prove West’s desperation"; Tony Cartalucci; Press TV; 4 Mei 2013
No comments:
Post a Comment