"Dirut PLN Nur Pamudji hanya diam dan sesekali "cengengesan" saat dikonfirmasi soal "biarpet" pasokan listrik di Sumut, Selasa (25/6)."
Demikian tulis media Tribun Medan tgl 26 Juni lalu pada "headline"-nya yang berjudul "Dirut PLN Hanya Terdiam". Tulisan tersebut adalah tentang pertanyaan wartawan kepada Dirut PLN mengenai sering matinya aliran listrik di Provinsi Sumut, khususnya saat berlangsung pertemuan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan ratusan delegasi APEC di Medan, yang tidak ditanggapi dengan semestinya.
Saya tidak bisa membayangkan seorang pejabat tinggi negara (Dirut BUMN) bersikap tidak "gentleman" seperti itu. "Cengengesan", cerminan orang yang tidak percaya diri dan tidak bertanggungjawab. Namun saya tidak terlalu menyalahkannya. Ia hanya mengikuti pendahulunya yang kini menjadi Meneg BUMN Dahlan Iskan, yang "cengengesan" saat dimintai pertanggungjawabannya atas kasus pemborosan PLN selama dipimpin olehnya hingga puluhan triliunan rupiah --- kasus mega korupsi ini seolah menghilang ditelan awan, dan KPK hanya bisa memburu kasus-kasus korupsi "recehan". Terlebih lagi saya tidak terlalu menyalahkannya karena ia (mungkin terpaksa) hanya menjalankan agenda besar yang telah ditetapkan atasan-atasannya: liberalisasi PLN yang berujung pada swastanisasi dan destruksi perekonomian nasional demi kepentingan pemodal asing.
"Jaman edan, yen ora edan ora keduman", begitu kira-kira bunyi ramalan Joyoboyo, sastrawan dan filsuf Jawa beberapa ratus tahun lalu. Artinya adalah: pada jaman gila, orang-orang menjadi gila agar mendapatkan bagian. Begitulah yang terjadi pada para pejabat Indonesia kini: rela menjadi orang gila demi mendapatkan jabatan. Maka tidaklah heran jika seorang Dirut PLN dan Meneg BUMN hanya "cengengesan" saat dimintai pertanggungjawabannya.
Dan inilah salah satu dampak kenaikan harga BBM yang tidak pernah disinggung-singgung para pejabat pemerintah yang menghabiskan puluhan milir uang rakyat (APBN) hanya untuk mensosialisasikan kenaikan harga BBM: biaya operasional PLN membengkak yang mengakibatkan PLN harus menurunkan kualitas pelayanannya dengan melakukan pemadaman bergilir, atau dengan sengaja menurunkan daya listrik meski akibatnya ribuan peralatan rumah tangga milik masyarakat menjadi rusak. Sama seperti tidak bertanggungjawabnya pemerintah atas dampak kenaikan harga BBM terhadap angkutan massal yang merembet pada semua sektor ekonomi. Hanya untuk mengurangi beban APBN (katanya sih, padahal sebenarnya merupakan aspirasi asing yang menginginkan harga BBM di Indonesia menjadi menarik agar para pengusaha asing bisa turut "bermain" di sektor bisnis minyak domestik), pemerintah rela membuat seluruh rakyat menderita.
Di wilayah sekitar tempat tinggal saya di daerah Pasar Merah, Medan, para pengguna jasa layanan internet "Speedy" Telkom, terutama para pengusaha warnet yang menggunakan jasa produk ini, tengah dilanda kegalauan yang serius akhir-akhir ini. Selain listrik PLN yang sering mati sehingga mengganggu kegiatan bisnis mereka, PT Telkom seolah tidak mau kalah untuk membuat masyarakat menderita. Perusahaan telekomunikasi raksasa nasional ini tidak bisa menyediakan mesin genset yang mencukupi demi menjaga layanan "Speedy" dari gangguan pemadaman listrik.
Akibatnya para pengguna "Speedy" mengalami "pemadaman" 2 kali: saat giliran pemadaman di daerah mereka dan saat giliran pemadaman di daerah kantor Telkom yang menyimpan server layanan "Speedy". Kerugian tidak terhitung pun kembali dialami masyarakat akibat naiknya harga BBM.
Liberalisasi telah membuat pemerintah dan BUMN-BUMN lebih banyak menjadi aspirator kepentingan pemodal daripada rakyat.
Kini, setelah keadaan menjadi kacau balau dan rakyat yang cerdas mulai mengacungkan jari telunjuknya ke arah pemerintah, berbagai tingkah polah pengalih perhatian pun dilakukan para elit penguasa, mulai dari "festivalisasi" (meminjam istilah yang digunakan PKS, namun bukan berarti blogger pendukung PKS) kasus Fathanah hingga kasus pencurian ratusan dinamit yang "katanya" mengancam keamanan istana negara.
Kita akan melihat, jika dalam waktu satu minggu polisi tidak bisa mendapatkan pencuri dinamit-dinamit itu (selain orang-orang yang disebut sebagai teroris), maka benarlah apa yang saya perkirakan.
No comments:
Post a Comment