Ketika Mohammad Moersi, dan juga Tayyep Erdogan, berhasil meraih kekuasaan di dua negara Islam terbesar di Timur Tengah, yaitu Mesir dan Turki, keduanya memiliki kesempatan sangat berharga untuk menjadikan kedua negara sebagai kekuatan besar yang dihormati dan dicintai oleh seluruh penduduk Timur Tengah dan bahkan dunia Islam.
Kita melihat, misalnya, ketika Erdogan berani "menghardik" Presiden Israel dalam konperensi internasional di Davos Swiss karena serangan biadab Israel terhadap penduduk Palestina di Gaza akhir pada tahun 2008 dan awal tahun 2009, seluruh masyarakat Islam di seluruh dunia dan terutama di negara-negara Arab, langsung mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Apalagi dengan keberhasilan Erdogan membangun negeri Turki, membuatnya menjadi idola di kalangan umat Islam di seluruh dunia.
Demikian juga dengan Moersi, atau setidaknya harapan besar umat Islam terhadapnya. Berhasil meraih kekuasaan melalui pemilu yang demokratis paska tergulingnya diktator antagonis Hoesni Mubarrak, ia menjadi harapan bagi jutaan umat Islam untuk bisa membangkitkan kebanggan umat Islam terutama bangsa-bangsa Arab.
Namun baik Moersi maupun Erdogan ternyata "mengkhianati" harapan umat Islam di seluruh dunia. Setelah delapan tahun berhasil membangun Turki, Erdogan menghancurkan reputasinya sendiri dalam sekejap setelah ia memerintahkan polisi melakukan tindakan keras terhadap sekelompok kecil demonstran damai yang menentang proyek pembangunan Lapangan Taksim yang diketahui merupakan proyek milik kroni-kroni Erdogan. Kini, tidak hanya reputasinya yang hancur di mata rakyatnya dan di mata bangsa-bangsa di dunia, kekuasaan Erdogan terancam oleh aksi-aksi demonstrasi yang berubah menjadi aksi-aksi menuntut pengunduran dirinya sebagai perdana menteri.
Lebih tragis lagi adalah Moersi, yang hanya bisa bertahan menjadi presiden Mesir selama setahun. Padahal yang harus dilakukannya sederhana saja: melakukan kompromi terhadap semua kekuatan politik sebagaimana hukum politik yang berlaku di seluruh dunia, apalagi dengan Mesir yang demokrasinya baru saja tumbuh. Namun ia menolak jalan itu dan lebih memilih jalan "antagonis" yang dibenci rakyat.
Lengsernya Moersi dan tergoncangnya kekuasaan Erdogan, yang keduanya merupakan tokoh gerakan Ikhwanul Muslimin, menurut Presiden Syria Bashar al Assad merupakan bukti kegagalan dari apa yang disebutnya sebagai "politik Islam". Maksudnya adalah politik yang menggunakan simbol-simbol Islam untuk meraih kekuasaan, namun pada dasarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam.
Melihat apa yang terjadi di Mesir dan Turki, memang sulit untuk menolak klaim Bashar al Assad. Bagi saya (blogger) sendiri Moersi, Erdogan dan Ikhwanul Muslimin-nya hanyalah pion yang dimainkan oleh para zionis penyembah berhala penguasa dunia yang berkuasa di balik layar.
(Jangan sinis dulu dengan "teori konspirasi" ini. Sebuah studi yang digelar University of Kent dan dipublikasikan tgl 8 Juli lalu berjudul "What about Building 7? A social psychological study of online discussion of 9/11 conspiracy theories” mengungkapkan bahwa mayoritas penduduk Amerika dan Inggris kini percaya dengan adanya "teori konspirasi" dan mereka yang menolak adanya "teori konspirasi". Studi tersebut juga menyebutkan bahwa orang-orang yang menolak "teori konspirasi" di tengah-tengah bukti-bukti rasional yang melimpah tentang hal itu cenderung menjadi defensif, emosional dan mengalami kecenderungan masalah kejiwaan. Jadi jika Anda masih ingin dianggap waras, percayalah pada "teori konspirasi").
Naik-turunnya Moersi dari kekuasaan menunjukkan hal itu. Meski awalnya melihat diktator Hoesni Mubarak dan model pemerintahan Mesir yang sentralistis sebagai penghalang yang harus dihancurkan demi memperlancar agenda liberalisasi Mesir, berubahnya Mesir dari negara diktatorial menjadi negara demokratis yang kuat bisa mengancam kepentingan Amerika dan zionis internasional. Bahkan meskipun Moersi adalah pemimpin yang pro-Amerika dan zionis internasional, yang lulus sekolah insinyur di Amerika dan membangun karier di negara itu, ia bukan harga mati yang harus dibela mati-matian. Maka ketika rakyat Mesir menuntut Moersi mundur dan militer berada di samping mereka, Amerika pun memberi lampu hijau pada militer Mesir untuk melakukan kudeta dan membuang jauh-jauh ide tentang "demokrasi".
Lalu mengapa Moersi, dan juga Erdogan, berani memainkan peran "antagonis" hingga mengundang kudeta dan mengabaikan kesempatan dirinya menjadi tokoh yang dihormati dan dicintai? Tidak lain karena ia hanya memainkan peran yang diinginkan Amerika menjadikan Mesir tetap sebagai negara lemah.
Al-Sisi Ungkap Penyebab Kudeta
Menhan dan pemimpin militer Mesir Jendral Abdel Fattah al-Sisi yang memimpin kudeta terhadap Moersi akhirnya mengungkapkan penyebab militer melakukan aksinya. Menurutnya, Mohammad Moersi menolak melakukan kompromi dengan menyelenggarakan referendum pemilihan umum yang dipercepat. Inilah salah satu peran antagonis yang dimainkan Moersi.
Menurut al-Sisi, sebagaimana ditulis oleh beberapa media Arab, beberapa hari sebelum kudeta ia telah mengajukan proposal kepada Mohammad Moersi untuk mengadakan referendum penyelenggaraan pemilu yang dipercepat. Hal ini dianggap sebagai jalan keluar terbaik untuk menghindari perang saudara antara pendukung dan anti-Moersi setelah tgl 30 Mei para penentang Moersi berhasil menggalang puluhan juta tandatangan petisi penolakan Moersi. Namun usulan tersebut ditolak Moersi.
Menurut pengakuan Sisi, militer menghormati hasil pemilihan umum bulan Juni 2012 yang mengantar Moersi ke kursi kekuasaan. Militer juga telah mencoba untuk menjauhkan diri dari politik. Namun ketika jutaan rakyat Mesir turun ke jalanan menuntut pengunduran diri Moersi, militer tidak bisa lagi berdiam diri.
"Tidak ada yang bisa menjadi pengayom masyarakat, dan tak seorang pun yang bisa memaksakan jalan atau pemikiran yang tidak diterima rakyat. Militer secara jujur menerima pilihan yang dikehendaki rakyat (Moersi), namun kemudian pemerintahan mengalami keruntuhan dan militer melihat bahwa setiap perbaikan atau penyesuaian harus melalui satu sumber, yaitu legitimasi rakyat," kata Sisi.
Kepemimpinan Ikhwanul Muslimin Baru
Ikhwanul Muslimin Mesir, paska lengsernya Moersi dari kekuasaan hanya memiliki 2 pilihan: menolak kudeta dan berperang melawan militer dan oposisi dengan resiko kehancuran organisasi, atau melakukan kompromi dengan kekuatan yang telah mengkudeta mereka dengan harapan organisasi tetap berdiri dan bisa berbagi kekuasaan.
Bagi tokoh-tokoh senior yang tidak mungkin lagi bisa mengelak dari konsekuensi politik yang telah mereka lakukan meski jalan kompromi dipilih, yaitu dipenjara atau diasingkan secara politik, pilihan kedua tentu bukan yang mereka inginkan. Namun bagi para pemimpin di level yang lebih rendah, inilah pilihan yang terbaik. Dan inilah yang mulai terjadi.
Baru-baru ini muncul petisi dari 1.400 pemimpin muda Ikhwanul Muslimin yang menolak kepemimpinan pemimpin tertinggi Ikhwanul Muslimin Mesir Mohamed Badie. Mereka menamakan diri sebagai "Ikhwan Tanpa Kekerasan". Media-media barat menyebut mereka "bagaikan 1.400 pendeta Katholik yang menuntut pengunduran diri Sri Paus".
Pada tgl 12 Juli lalu, melalui wawancara dengan satu televisi Mesir, Ahmed Yehia, seorang pengacara yang menjadi koordinator kelompok ini menyebutkan alasan kelompoknya melakukan hal itu,
"Setelah mereka (Moersi dan para pemimpin Ikhwanul Muslimin) berkuasa, mereka berubah dan melupakan Islam dan toleransi serta seruan kepada jalan Islam, mereka hanya berfikir bagaimana melindungi kepentingan diri sendiri dan menemukan jalan yang aman demi meraih kekuasaan."
Yehia juga mengungkapkan bagaimana para pemimpin Ikhwanul Muslimin memerintahkan para pendukungnya untuk membebaskan Moersi dari tahanan, apapun risikonya. Dan saat tentara menembaki para demonstran yang menyerbu markas pasukan Pengawal Republik tempat Moersi ditahan hingga puluhan di antara mereka tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka, para pemimpin Ikhwanul Muslimin tidak berada di samping mereka.
Yehia percaya bahwa militer telah mengetahui rencana "bunuh diri" pengikut Ikhwanul Muslimin ini dan kini hanya soal waktu sebelum para pemimpin Ikhwanul Muslimin itu mempertanggungjawabkan tindakannya. Bahkan Amerika dan zionis internasional pun tidak akan bisa membela mereka saat militer dan pemerintahan sementara Mesir mengeluarkan bukti --- di antaranya berupa transkrip pembicaraan telepon--- bahwa para pemimpin Ikhwanul Muslimin telah membunuhi pengikutnya sendiri.
REF:
"Mursi Rejected Early Elections Referendum"; almanar.com.lb; 15 Juli 2013
"New studies: ‘Conspiracy theorists’ sane; government dupes crazy, hostile";
Dr Kevin Barrett; Press TV; 12 Juli 2013
"Arab oil cash to kill democracy in Egypt"; Finian Cunningham; Press TV; 11 Juli 2013
"New MB leadership emerging in Egypt"; Jim W. Dean; Press TV; 16 Juli 2013
-
ReplyDeletehttp://www.moqavemat.ir/?a=content.id&id=68127
Pemikiran terkonyol yang pernah saya baca...
ReplyDeletePenulis menukil pendapat pendapat tokoh yang ucapannya tidak bisa dipercaya.
Konyol sekali ingin menjadikan issue sebagai fakta...
Sungguh, lawakan yang lucu..