Bisnis minyak merupakan salah satu bisnis yang paling menggiurkan di Indonesia. Dengan kebutuhan minyak yang mencapai 1,5 juta barrel per-hari dan sepertiganya dipenuhi oleh impor, nilai nominal bisnis ini sulit untuk dibayangkan.
Dengan asumsi di atas, serta harga minyak pasaran (premium) sebesar Rp 6.500 per-liter, maka nilai nominal impor minyak INdonesia adalah Rp 516 miliar per-hari, atau Rp 188 triliun per-tahun. Jika para importir (di luar Pertamina) mendapat jatah margin keuntungan 1% saja, maka keuntungan mereka mencapai Rp 1,88 triliun per-tahun. Kalau marginnya 10% maka kalikan saja dengan 10.
Namun modus "suap menyuap" tidak seberapa dibandingkan modus "korupsi kebijakan" di sektor ini, tidak saja dari nilainya, namun juga dampaknya bagi kesejahteraan rakyat. Misalkan kebijakan tentang "lifting" minyak Indonesia yang akan berpengaruh langsung pada APBN dan pada akhirnya mempengaruhi kesejahteraan rakyat. ADa juga kebijakan penetapan "cost recovery", atau kebijakan penetapan kuota impor migas yang juga berpengaruh langsung pada keuangan negara, dlsb.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa bisnis impor minyak ini dikuasai oleh sekelompok kecil pengusaha (kartel) yang sudah bercokol di bisnis ini sejak lama. Dan sudah menjadi pengetahuan umum pula bahwa dalam bisnis ini, sebagaimana bisnis yang berurusan dengan birokrasi pemerintah lainnya, dipenuhi dengan praktik-praktik korupsi, sebagaimana kasus impor daging sapi yang melibatkan elit-elit PKS. Modusnya sederhana saja, pengusaha meminta "jatah" impor dan oknum pejabat pemerintah mendapat imbalan "upeti" atas ijin yang diberikan. Dan karena nilai bisnisnya besar, upetinya pun tentu juga besar. Biasanya di antara pengusaha dan birokrat ini ada juga "makelar"-nya.
Saya (blogger) percaya, dengan kewenangan dan fasilitas yang dimilikinya, sebenarnya KPK telah mengetahui banyak tentang modus korupsi dalam bisnis ini. Mengapa Ketua SKK Migas Rudi Ribiandiri yang menjadi sasaran dan mengapa baru sekarang, adalah pertanyaan yang menarik untuk dianalisa.
MENGAPA RUDI?
Rudi Rubiandiri adalah "pemain baru" dalam dunia bisnis minyak tanah air. Sebelumnya ia hanyalah seorang dosen perminyakan ITB yang kritis terhadap kasus Lapindo. Mungkin karena kekritisannya itu ia "diamankan" dengan mengangkatnya sebagai staff ahli otoritas pengelola migas BP Migas (sebelum pembubaran oleh MK). Dalam waktu relatif singkat kariernya pun melejit menjadi deputi ketua otoritas BP Migas, Wamen ESDM dan setelah otoritas migas dibubarkan MK, ia ditunjuk sebagai kepala SKK Migas, lembaga baru di bawah Kementrian ESDM yang dibentuk untuk menggantikan BP Migas yang inkonstitusionil.
Selama menjabat sebagai birokrat bidang migas tersebut Rudi menjadi sosok yang sangat vokal membela kepentingan asing yang banyak terlibat dalam bisnis migas di Indonesia, yang mengindikasikan kuat keterlibatan kuat Rudi dalam tindak korupsi yang melingkupi dunia migas Indonesia. Di antara kepentingan asing yang dibelanya adalah perusahaan migas Perancis Total yang berambisi merebut kembali pengelolaan Blok Mahakam yang habis kontrak pengelolaannya.
Munculnya Rudi sebagai pejabat yang "pasang badan" patut menjadi pertanyaan, apakah ia sengaja dikorbankan untuk melindungi mafia migas Indonesia. Pertanyaan itu terkonfirmasi setelah ia tertangkap tangan KPK menerima suap senilai $400 ribu dari seorang eksekutif perusahaan migas.
MENGAPA SEKARANG?
Saat ini KPK tengah galau oleh tuntutan publik agar kasus Hambalang dan Century segera diselesaikan karena sudah cukup lama kedua kasus mega korupsi itu terkatung-katung tidak jelas statusnya.
Penangkapan Rudi Rubiandini setidaknya telah memberi kesempatan kepada KPK untuk melepaskan diri dari tuntutan tersebut sampai waktu yang tidak diketahui. Bukankah pemimpin KPK terdahulu juga gagal menyelesaikan kasus Century dan masih bisa dipilih lagi sebagai pemimpin KPK (Bushro Muqoddas)?
KESIMPULAN
Indonesia adalah contoh negara yang "bermain-main" dalam pemberantasan korupsi. Kelihatan serius memberantas korupsi namun implementasinya sangat tidak sesuai. Membentuk lembaga superbodi KPK dan Pengadilan Tipikor yang menguras keuangan negara, KPK pun sibuk membuat aksi "reality show wanita-wanita cantik Fathanah", namun UU Tipikor hanya memberikan sanksi yang tidak bisa menimbulkan efek jera bagi para pelaku korupsi (Angelina Sondakh hanya dihukum 2 tahun tanpa harus mengembalikan hasil korupsinya). Bandingkan dengan Cina yang menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dengan nilai Rp 150 juta dan penjara 2 tahun untuk korupsi senilai Rp 750.000.
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete