Ketika Jonathan Pollard, warga Amerika keturunan yahudi yang bekerja di AL Amerika, ditangkap aparat keamanan setelah ketahuan melakukan kegiatan mata-mata untuk kepentingan Israel tahun 1985, pemerintah Amerika melalui menlu George Schultz menelepon perdana menteri Israel Shimon Peres menyampaikan protes keras Amerika dan meminta penjelasan pemerintah Israel tentang hal itu. Tidak perlu waktu yang lama, Simon Peres pun langsung menyatakan permintaan ma'af.
"Memata-matai Amerika Serikat adalah sangat bertentangan dengan kebijakan kami. Kegiatan seperti ini, sejauh yang telah terjadi, adalah salah, dan pemerintah Israel meminta ma'af." Demikian pernyataan resmi yang disampaikan langsung oleh Simon Peres terkait insiden penyadapan yang dilakukan Pollard.
Tidak hanya itu, dalam pernyataan resmi yang disiarkan ke seluruh dunia itu Peres juga berjanji akan memberi sanksi keras kepada pihak-pihak di dalam negeri Israel yang terlibat dalam kegiatan mata-mata itu, termasuk membubarkan secara permanen lembaga-lembaga yang terlibat demi menjamin kegiatan seperti itu tidak terulang lagi.
Itu adalah sikap Amerika kepada Israel ketika Israel ketahuan melakukan kegiatan mata-mata di Amerika. Padahal Israel adalah "anak emas" Amerika. Ketika terungkap sebuah tindakan ilegal yang dilakukan Israel terhadap Amerika, maka mau tidak mau Amerika harus melakukan tindakan keras kepada Israel. Demikian pula sebaliknya dengan Israel, sang anak emas. Israel bisa saja berdalih macam-macam untuk menolak tuduhan Amerika, toh Israel tahu, pemerintah Amerika tidak akan benar-benar "menghukum" Israel. Namun Israel juga tahu, jika Israel mengelak, maka pemerintah Amerika akan menjadi korban kemarahan rakyatnya yang pada akhirnya akan merugikan Israel sendiri. Misalnya saja, bisa-bisa rakyat, melalui Congress atau melalui aksi-aksi demonstrasi melakukan tekanan politik yang bisa merugikan hubungan Israel dengan Amerika.
Maka Israel pun terpaksa meminta ma'af. Tidak peduli apakah permintaan ma'af serta janji melakukan berbagai tingakan pencegahan itu serius, atau tidak. Dan pemerintah Amerika pun terpaksa menuntut penjelasan dan permintaan ma'af Israel, tidak peduli apakah Israel akan bersungguh-sungguh memenuhi tuntutannya, karena kalau tidak melakukan tuntutan itu pemerintah akan dikecam dan diolok-olok rakyatnya, atau bahkan dikudeta rakyatnya.
Lalu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden SBY, setelah terbukti Amerika dan Australia melakukan kegiatan mata-mata di Indonesia?
Berbeda dengan pemerintah Amerika dalam kasus Pollard, Presiden SBY justru menunjukkan sikap yang sangat tidak wajar yang justru menimbulkan kebingungan rakyat Indonesia. Atas pelanggaran serius terkait kedaulatan negara itu Presiden SBY hanya meminta Amerika dan Australia untuk "tidak mengulangi perbuatannya". Tidak ada sekedar tuntutan permintaan ma'af, apalagi sanksi diplomatik yang dikeluarkan oleh SBY.
Saling memata-matai antar negara, bahkan antar sesama negara sahabat, adalah hal yang wajar. Namun kalau ketahuan, maka negara yang dimata-matai "berkewajiban" untuk menuntut penjelasan dan permintaan ma'af, dan "kewajiban" negara yang memata-matai adalah meminta ma'af.
Maka sangat wajar jika sebagian rakyat curiga bahwa Presiden SBY "terlibat" dalam aksi spionase tersebut. Sebagaimana dikatakan beberapa narasumber dalam acara talkshow di TVOne hari Kamis malam (7/11) yang membahas isu penyadapan Amerika dan Australia di Indonesia. Jika Presiden Indonesia "diam" atas kasus penyadapan itu, maka hanya ada 2 kemungkinan pada diri presiden: kharakter yang lemah, atau terlibat dalam penyadapan tersebut alias menjadi pengkhianat bangsa untuk melayani kepentingan Amerika dan Australia.
Saya (blogger) tidak ingin turut menuduh Presiden SBY dengan tuduhan yang sangat serius itu, namun saya tidak bisa mengelak untuk mengkritik beliau sebagai "pemimpin yang tidak berkharakter". Saya rindu dengan sosok pemimpin seperti Bung Karno yang berani berkata "Go to hell with your aids!", ketika harga diri bangsa dilecehkan Amerika.
rantau yang didominasi oleh pemimpin pengecut mereka masih di bawah bendera imperialis dulu dan sekarang,...rakyatlah yang harus menyadarkan mereka,pemuda iran telah bangun 3dekad lalu merobek sarang pengintipan ini..
ReplyDelete