Indonesian Free Press -- Surat terbuka ini saya dapatkan dari status teman di Facebook kemarin (23 April). Sebagai orang yang bertahun-tahun tinggal di Medan, saya merasa sangat lucu membacanya. Namun, yang paling menarik adalah isi surat ini secara esensi adalah sama dengan yang dirasakan orang-orang yang berakal di negeri ini, menyaksikan 'fenomena' korupsi RS Sumber Waras dan kasus-kasus korupsi di Indonesia lainnya yang berkaitan dengan Jokowi dan Ahok.
Silakan membacanya sendiri.
-----------------------
Udah lama kian aku nggak sor (suka) sama KPK. Entah cemana-cemana (bagaimana) orang itu kutengok. Lama-lama jadi naik pitam jugak aku nengok komisioner KPK itu. Bukan apa-apa. Jelek-jelek kaek (seperti) gini tamat jugaknya aku dari fakultas hukum USU.
Nggaknya dongok-dongok (bodoh) kali aku. Kolok aku longor, mana mungkin pulak aku bisa masok USU. Payah kian masok USU itu. Kolok dipiker-piker, udah masuknya payah, masak pulak udah bisa masok mesti cepet-cepet tamatnya.
Kali-kalinya nggak betol kolok gitu kaaan ? Hehehe… Kolok kuliah aku sampek 7 taon, karena sukak beter-beter (barter) cewek dulu aku. Tapi nggaknya aku dulu sampek tenggen-tenggen minum Tuak di kantin. Cumak awak sukak cinto-cinto kelapo. Awak cinto, dio tak apo-apo. Hehehe……
Kolok soal pelajaran hukum pidana, kecik la sama aku. Masik ingatnya aku kuliah Pidana II sama dosen kami, Pak Muchtar namanya. Kata dosen aku dulu, hukum pidana itu katanya ada 2. Pidana formil, pidana materil.
Kolok pidana formil itu, kata dia, harus ada kian unsur-unsur formilnya. Kukasih contoh, misalnya kaek (seperti) pidana pencurian. Satu perbuatan baru bisa dibilang pidana pencurian kolok semua unsurnya lengkap.
Misalnya harus ada unsur barang yang dicuri, ada perbuatan mengambil, ada perbuatan melawan hukum. Jadi kolok barang lae aku ambel, lae nggak bisa langsung nuduh aku mencuri barang lae.
Lae harus membuktikan dulu ada unsur perbuatan melawan hukumnya. Entahnya kupinjam barang lae. Cumak belon aja kubilang sama lae kolok aku pinjam. Jadi lae jangan cepet-cepet lapor polisi.
Tapi kolok pidana materil tak pala begitu-begitu kali. Karena akibat dari perbuatannya itulah yang membuat kenapa dia dilarang. Kukasih contoh. Misalnya kaek pidana pembunuhan.
Pembunuhan itu dilarang karena berakibat kematian orang lain. Kek yang dibuat si Mirna itu la ecek-eceknya (contoh kecilnya). Jadi kata dosen aku, pidana materil itu tidak membuktikan unsur-unsur formilnya tapi pada akibat dari perbuatan itu.
Nah..sekarang kubilang sama kau. Cemana (bagaimana) la aku nggak naek pitam sama orang KPK itu. Dalam kasus dugaan korupsi sumber waras si A Hok, dibilang orang itu pulak harus yakin dulu ada unsur niat jahatnya.
Kolok kubilang yaa, KPK itu tak mesti membuktikan unsur niat jahat si A Hok. Cemana pulak mau membuktikan niat. Malaikat aja nggak tau.
Udah senget kutengok yang bilang itu. Buktikan aja ada atau tidak unsur kerugian negara. Kolok nggak ada, udaaaah….bilang sama orang-orang :“Wooi… nggak ada kerugian negara la wooi. BPK ajanya itu yang salah periksa”
Bilang kek gitu. Aku pun mau nanti ikot membilang-bilangkannya sama orang-orang. Beres laaa…tak pala mintak duet aku sama kelen (kalian).
Takot aku, nanti banyak pulak maleng-maleng anggaran itu bilang :
“Pak Jaksa, aku nggak ada niat jahat untuk jadi maleng Pak…”
Ooo..alaaa.
Kapeka kapekaaa…kek jadi orang longor-longor kutengok kelen. Cemana laa pengamat-pengamat itu selama ini tak nuduh kelen “tebang pilih”. Kek gitu la pulaknya kelen.
Kolok sama bupati, anggota DPR, ganas-ganas kali kelen kutengok. Apalagi sama yang tak punya basis Preman.
Kolok sama si Mega, lembek kelen kutengok. Udah cemana kasus BLBI itu kelen buat ? Diamnya congor kelen semua.
Gitu juga sama si Jokowi. Kok nggak kelen usut itu bus Trans Jakarta yang sereng kebakar itu ? Kok nggak kelen tengok berapa yang mangkrak busnya ?
Nggak pernah rupaknya kelen jalan-jalan ke Sunggal nengok bus 'dabel dekker' yang ke Aceh tuuu ?Paten (hebat) kali busnya. Kek kapal terbang tempat dudoknya. Malah kolok kubilang, lebih paten lagi dari tempat dudok kapal terbang.
Udah la paten, mereknya Mercedes, harganya 3,5 milyar. Nggak kelen bandingkan rupaknya sama harga bus Trans Jakarta itu ? Apalagi kolok beliknya banyak-banyak, kek (seperti) Trans Jakarta. Harusnya kan harga beliknya jadi semakin murah kaaan ? Berapa itu potensi kerugian negara kolok dipiker-piker? Nggak miker rupaknya kelen?
Entah cemana-cemana kelen kutengok. Semakin kesini, semakin sedeng kelen kutengok. Takot kelen rupaknya sama si A Hok itu ? Biar kelen tau yaaa… si A Hok itu pernah ikot Pilgub di Medan. Sama orang Medan tak ditergenya (dilirik) dia. Orang Jakarta aja entah apa. Kek udah paten (hebat) aja dia. Kolok di Medan dibuatnya kek gitu, udah lama dia digonikan (dibunuh, mayatnya dimasukkan ke dalam karung goni dan dilempar ke sungai) orang Medan.
Udah laa…naek pulak nanti darah tinggi aku. Kolok sempet saket aku, aku jugak yang susah. Iuran BPJS udah 3 bulan pulak nggak kubayar. Kek mana nanti kolok sempat aku saket gara-gara mikerin kelen. Binikku jugak nanti yang merepet kek rel keretapi.
Udah yaaa…tapi kau dengar la pulaaaak curhat aku niiii. Pokoknya kolok kelen ke Medan…beres la kelen kubuat. Kolok cumak duren Ucok, masik bisanya aku trakter kelen.
Oke yaaaa…tapi jangan la pulak kelen marah sama aku. Kek gitu la kami anak Medan. Kolok sor, kami bilang sor. Kolok udah nggak sor, nggak bisa pulak mukakku kupasang manis-manis di mukak kelen. Tapi, baeknya sebenarnya hati kami. Kek lagu anak Medan itu la aku.
Udah ya woooi..
Haha Humoris ny kntel bgt.. Bnyk kasus besar yg msh mnjdi PR bgi KPK.
ReplyDeletebanyak ga ngerti bahasanya bang :D
ReplyDelete"Ijin share bang.
ReplyDelete