Indonesian Free Press -- Sekitar bulan Maret lalu ulama Shiah kharismatik Irak Muqtada al Sadr memimpin aksi demonstrasi besar-besaran menentang pemerintahan Perdana Menteri Abedi di kawasan 'Green Zone' Baghdad. Meski ia dan pengikut-pengikutnya melakukan aksi di daerah terlarang, tentara yang bertugas mengamankan wilayah itu menyambut Al Sadr dengan hangat dengan ciuman di tangan Al Sadr.
Al Sadr adalah ulama yang menjadi sekutu dekat Iran. Ketika ia terdesak dalam perlawanannya melawan pendudukan Amerika dan regim Nuri Al Maliki tahun 2008, Iran menyelamatkannya dengan menawarkan perlindungan. Selain ulama, Al Sadr juga menjadi salah seorang politisi paling berpengaruh di Irak dengan partai bentukannya menjadi salah satu partai berpengaruh di Irak. Ia adalah representasi pengaruh Iran saat ini di Irak.
Menurut laporan Veterans Today, 17 Agustus lalu, dengan mengutip pernyataan para pejabat militer Amerika, kekuatan milisi Shiah Irak dukungan Iran kini telah mencapai angkat 100.000, menjadi kekuatan paling signifikan dalam kampanye melawan terorisme-ISIS di negara itu. Namun, keberadaan mereka sangat mengkhawatirkan Amerika dan Saudi Arabia.
Sejumlah pernyataan negatif telah dikeluarkan pejabat Saudi Arabia terkait keberadaan milisi bersenjata itu sehingga memicu ketegangan diplomatik dengan Irak yang menganggap hal itu sebagai campur tengan Saudi di Irak. Awal tahun ini, Saudi dan koalisi yang dipimpinnya menggelar latihan perang besar-besaran di dekat perbatasan Irak sebagai simbol kekhawatiran Saudi atas pengaruh Iran yang semakin kuat di Irak, setelah milisi-milisi Shiah berada di wilayah Anbar yang berbatasan dengan Saudi dan secara tradisi berada di bawah pengaruh Saudi Arabia.
Laporan tentang jumlah tersebut pertama kali disampaikan komandan US Central Command, Jendral Joe Votel, akhir Juli lalu, seperti dilaporkan Tampa Bay Times. Jubir militer Amerika Kolonel Chris Garver, bulan lalu dalam wawancara dengan Fox News.
Meski demikian, menurut Garver tidak semua anggota Popular Mobilization Forces (PMF), milisi bersenjata yang aktif memerangi ISIS yang jumlahnya sekitar 80.000 orang, tidak semuanya adalah pendukung Iran. Selain itu juga ada milisi-milisi Sunni yang mengangkat senjata melawan ISIS, terutama di Provinsi Anbar di barat Irak dan Nineveh di utara Irak. Di kedua provinsi, mayoritas penduduknya adalah Sunni. Orang-orang Shiah mayoritas tinggal di wilayah timur dan selatan Irak.
Namun, selain melalui PMF, Iran juga menancapkan pangaruhnya di Irak melalui Quds Force, satuan elit Pasukan Pengawal Revolusi Iran, yang aktif membantu PMF.
Keberadaan kekuatan Iran ini menjadi perhatian serius Amerika sekutu-sekutunya yang merasa berkepentingan di Irak, setelah muncul laporan bahwa komandan senior Al Quds, Jendral Qassem Soleimani, telah memindahkan sejumlah pasukannya dari medan perang Suriah, ke pinggiran kota Mosul untuk memperkuat kampanye pembebasan kota itu dari ISIS.
Hal ini dilaporkan oleh Long War Journal, mengutip laporan media Iran Fars News Agency.
Namun, meski Amerika dan Iran berkepentingan untuk mengusir ISIS dari Mosul, Kolonel Garver menegaskan bahwa Amerika tidak bekerjasama dengan Iran.
"Kami tidak bekerjasama dengan mereka (Iran) dalam semua hal. Pemerintah Irak datang kepada kami dengan sebuah rencana, dan kami mendukung rencana mereka membebaskan Mosul,” katanya kepada Fox News.
Soleimani sendiri mengatakan akan bekerjasama dengan pasukan pemerintah Irak dan juga PMF dalam operasi pembebasan Mosul.
Selain Iran, Amerika dan Turki adalah faktor eksternal yang berkepentingan dan terlibat aktif dalam rencana pembebasan Mosul dari ISIS. Turki sebagaimana diketahui telah mengirim kontingen militer ke utara Mosul, sementara Amerika juga dilaporkan telah mengirimkan ratusan pasukan khususnya ke kota terbesar kedua Irak yang jatuh ke tangan ISIS sejak tahun 2014.(ca)
Irak akan membara kembali sbg proxy antar kepentingan dunia..
ReplyDelete