Oleh Dr. Ichsanuddin Noorsy B.Sc., SH., M.Si
Indonesian Free Press -- Sukar diingkari bahwa unjuk rasa 4 Nopember 2016 adalah tekanan masyarakat Islam menolak Ahok dan menolak Presiden Joko Widodo melindungi Ahok. Penistaan terhadap Al Qur’an surat Al Maidah 51 merupakan pintu masuk penolakan yang sempurna karena memenuhi syarat filosofis, sosiologis, dan yuridis formal (hukum yang berpijak pada dogma dan kekuatan berpikir rasional dan dibukukan, hukum positif).
Penolakan masyarakat ini bertentangan dengan transaksi politik yang sudah dilakukan partai politik. Pengertian transaksi ini berpijak pada teori pertukaran, apapun pertukaran itu. Boleh pertukaran cita-cita, atau kepentingan sesaat (maaf, bisa juga kepentingan sesat walau tidak disadari). Singkatnya, pertukaran dalam pengertian ada pihak-pihak yang saling memberi dan menerima.
Dalam model berpikir yang saya bangun sejak pemilu 2004, politik uang di pemilu legislatif akan melahirkan keterwakilan semu (false representative) karena suara diperoleh melalui transaksi finansial. Ada transaksi modal sosial, tetapi lebih merupakan sarana untuk terjadinya pertukaran kekuasaan dengan finansial. Produk dari keterwakilan semu atau keterwakilan palsu ini adalah perwujudan otoritas semu. Ini juga terjadi pada pemilu eksekutif.
Otoritas semu ini merujuk pada rendahnya bobot keterwakilan yang diindikasikan dengan tidak menjalankan, mengubah atau menolak aspirasi masyarakat luas. Dalam proses lebih lanjut, kebijakanpubliknya membuahkan kepastaian semu. Itu tercermin pada keputusan pemerintah yang berbeda dengan kepentingan masyarakat. Atau sebagaimana banyak keputusan peradilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan. Itu berarti kepastian hukum hanya berlaku pada pihak tertentu. Keadilan hanya milik orang kaya. Keadilan yang ada terasa hambar dan tidak menghangatkan jiwa interaksi sosial.
Pergelaran itu terjadi pada perilaku politik Presiden Joko Widodo saat demonstrasi dua juta masyarakat Islam. Sebutan pengecut, penakut, menghindar atau perilaku buruk lainnya muncul di media sosial untuk melukiskan sikap menolak Joko atas tekanan masyarakat Islam menolak Ahok. Simpulnya menjadi, sikap masyarakat menolak Ahok disambut dengan sikap Presiden menolak tekanan masyarakat.
Sikap menolak masyarakat tentu mempunyai alasan panjang. Perilaku arogannya Ahok, mulutnya yang kasar, kebijakan yang tidak adil, kebijakan anggaran yang off budgeter, dan banyak lagi yang lain. Yang terpenting adalah kasus Rumah Sakit Sumber Waras, kasus Reklamasi, dan kasus penistaan Al Maidah 51. Sementara penolakan penguasa dan penegak hukum berpijak pada hukum formal dan diskresi.
Sebagaimana artikel saya tentang “Negara Kekuasaan dan Provinsi Gagal”, penguasa dan penegak hukum menggunakan bukan lagi standar ganda, tapi sudah memakai standar yang aman dan nyaman bagi mereka (suitability standard). Itu tercermin pada kata-kata Presiden yang memerintahkan Wapres, Menkopolhukam, Menag, Panglima TNI dan Kapolri untuk menjumpai perwakilan pengunjuk rasa. Sementara yang bersangkutan pergi memeriksa proyek kereta api cepat Kota-Bandara Cengkareng. Joko menolak bisa jadi karena menyadari demonstrasi 4 November ini pun mengarah ke posisi dirinya.
Serta merta masyarakat membandingkan respon Presiden terhadap persoalan Kodok, Warteg, pungli recehan dan pembakar masjid di Tolikara, atau sebagaimana dia suka blusukan dan tanggap bahkan hingga masuk ke gorong-gorong. Kenapa ada dua juta lebih masyarakat Islam yang ingin menjumpainya, Presiden malah pergi dan mewakilkannya ?
Dalam perspektif sistem pemerintahan, mendelegasikan kewenangan tidak salah. Tapi dalam perspektif interaksi sosial politik, saya menyebut Joko Widodo bukan representasi muslim, tidak menghargai keyakinan dan aspirasi muslim, tidak peduli pada penistaan Al Qur’an, tidak memahami perjalanan haji dan umrohnya, serta secara terbuka mengambil jarak psikologi dan sosial dengan muslim dan ajaran Islam.
Memang Joko Widodo adalah representasi bangsa Indonesia yang 15-17 persen bukan muslim dan Indonesia bukan negara agama sepenuhnya. Jika pemegang kekuasaan dan penegak hukum bersikap arif bijaksana, sepatutnya dan sepantasnya rasa keadilan masyarakat mewujud dalam sikap politik kekuasaan. Diterima atau tidak, penolakan dari Presiden Joko Widodo berakibat dia sedang mempermalukan diri dan keluarganya, walau itu tidak dirasakan, menurunkan bobot wibawanya sebagai Presiden, dan hilangnya penghargaan dan penghormatan masyarakat terhadap lembaga kepresidenan dan pribadinya.
Mestinya, Joko Widodo ingat bagaimana Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono ditolak hadir di berbagai kampus akibat kasus Bank Century. Walau mengakhiri jabatan sesuai dengan agenda ketatanegaraan, namun penolakan itu sendiri sudah bermuatan penghinaan terselubung. Itulah risiko demokrasi liberal.
Pada demonstrasi 4 November 2016, orang kemudian berpendapat bahwa Joko Widodo adalah Presiden pertama di dunia yang lari saat rakyat berniat baik menjumpainya. Artinya, ummat Islam yang sudah diperangkap dengan demokrasi liberal masih mematuhi suatu sistem sosial politik berbasis kebebasan individu. Dalam kepatuhan itu, tuntutan kelayakan dan kepantasan mereka ditolak.
Kalangan pembela Joko Widodo pasti menyatakan, sistem sudah berjalan. Wapres dan sejumlah menteri sudah mewakili Presiden Joko Widodo. Masyarakat kembali merespon, rupanya Presiden tidak mampu membuat skala prioritas. Memeriksa fisik pekerjaan yang bisa diwakilkan dan pantas dilaksanakan menurut sistem organisasi modern, ternyata jauh lebih penting dari pada menghargai dan menghormati masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Jelas, kilah berkilah untuk membela posisi diri pasti dilakukan. Maka saya mencoba menelusuri kenapa Ahok demikian berarti baik bagi Joko Widodo maupun bagi Parpol pendukung dan pengusungnya.
Ahok pernah menyatakan bahwa Joko Widodo menjadi Presiden berkat dukungan pengembang (developer). Pernyataan ini mengejutkan karena memberi makna bahwa Ahok mengerti mengenai transaksi ini, jika memakai kacamata teori pertukaran. Maka kemelut reklamasi menjadi seru saat Sanusi dan Ariesman menjadi terpidana sementara Aguan tercekal dan datang ke Istana.
Peristiwa tindak pidana korupsi inilah yang menodorong terbitnya surat Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi SH tertanggal 19 Apr 2016 No.: 345/-071.78 yang menghentikan pembahasan Raperda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Prov DKI dan menunggu hasil proses hukum yang sedang berlangsung. Beberapa saat setelah copotnya Rizal Ramli sebagai Menko Maritim dan ESDM yang menolak reklamasi, terbitlah surat Gubernur DKI tertanggal 3 Oktober 2016 No.: 4511/-075.61 tentang Proses Pembahasan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Surat Gubernur Basuki T Purnama ini memohon kiranya DPRD dapat segera menjadwalkan rapat paripurna untuk dua Raperda tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sebelum dua surat ini terbit beredar foto isteri Anggota DPRD dan seorang anggota DPRD dalam pesawat jet pribadi. Dokumen yang saya posting di berbagai grup media sosial itu memunculkan pertanyaan, dalam rangka apa digunakan jet pribadi, jet pribadi milik siapa, dari mana dan mau kemana jet pribadi dengan penumpang khusus itu. Sayangnya pertanyaan ini sulit terjawab.
Namun dua surat itu mengindikasikan, Ahok mempunyai posisi tawar yang kuat. Justru dengan posisi tawar ini maka Ahok telah memerangkap Joko Widodo. Mudah-mudahan bukan hal ini yang membuat Joko Widodo kehilangan peluang emas untuk membuktikan kedekatan dirinya dengan rakyat. Muslim Indonesia dan dunia mencatat, demonstrasi damai paling dahsyat itu telah melukai perasaan masyarakat Islam sekaligus membuahkan komitmen proses hukum yang sarat dengan kepentingan penguasa.
Menyebut bahwa ada aktor politik dalam kerusuhan di Monas justru menunjukkan sikap yang membangun masyarakat yang terkotak-kotak (separate society) dan mencari kambing hitam sambil memainkan model playing victim. Akankan ini berlanjut ? Jawabnya ya, karena hukum demokrasi liberal adalah pertarungan bebas untuk saling menyingkirkan satu sama lain. Inilah Indonesia hasil reformasi. Padahal demokrasi tunduk pada hukum, hukum tunduk pada konstitusi. Dan berdasarkan perintah konstitusi Joko Widodo yang disumpah dengan menggunakan Al Qur’an.(*)
Sumber: teropongsenayan.com, Sabtu, 5 November 2016
Rezim yg berdiri atas kekuasaan yh bertumpu pada rakyat pada akhirnya hanya akan dianggap semu oleh rakyat nya sendiri
ReplyDeletePublik wait n see, apkah rasa keadilan dpt dirasakan umat muslim nasional