Oleh : Nasrudin Joha
Rezim Jokowi tak benar-benar tulus ingin rekonsiliasi. Yang mereka butuhkan itu hanya legitimasi kemenangan yang diperoleh secara curang. Bukan ingin rekonsiliasi.
Saat Dahnil Anzar Simanjuntak menyampaikan usul agar rekonsiliasi Jokowi-Prabowo Subianto dimanfaatkan untuk membawa pulang Habib Rizieq Syihab (HRS) ke Indonesia. Kubu TKN Jokowi melalui Hendrawan Supratikno menolak, alasannya rekonsiliasi yang sehat adalah yang memikirkan kepentingan bangsa. Jadi, HRS tidak dianggap sebagai bagian dari aset dan kepentingan bangsa, bahkan boleh jadi HRS dianggap bagian dari musuh bangsa.
Bagi kubu TKN Jokowi, BPN Prabowo bisa menyampaikan syarat apapun, termasuk konsesi berbagi kekuasaan. Dan hal ini, jelas sudah dipersiapkan oleh kubu rezim untuk memuluskan rencana rekonsiliasi untuk melegitimasi Kemenangan Jokowi. Tapi untuk HRS, untuk membebaskan semua tokoh dan ulama yang dikriminalisasi, No way !
Hal ini justru membuka aib rezim, bahwa senyatanya mereka memang tak butuh rekonsiliasi. Rekonsiliasi hanya dalih saja agar kekuasan yang mereka peroleh secara curang mendapat pengakuan, mendapat legitimasi.
Apa yang disebut oleh Pratikno sebagai Rekonsiliasi yang sehat yang muncul dari ketulusan dan komitmen untuk bersama sama memberikan yang terbaik bagi kepentingan dan kemajuan bangsa, bukan dengan berhitung untung rugi jangka pendek atau pakai sistem barter, quid-pro-quo, itu dalih saja. Buktinya, kubu TKN Jokowi juga bagi-bagi kursi, bagi-bagi menteri, bahkan sudah ada yang meminta jatah 10 pos menteri, pos menteri jalur NU, dll.
Juga dusta apa yang dikatakan Hendrawan ihwal rekonsiliasi dilakukan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Bukan pertemuan yang sifatnya transaksional. Buktinya, rezim ini masih mendendam kepada HRS, kepada ulama yg dikriminalisasi, kepada aktivis yang ditangkapi. Karenanya, syarat rekonsiliasi dengan memulangkan HRS mereka tolak mentah-mentah.
Anggota TKN Jokowi-Ma'ruf yang lain, Eva Kusuma Sundari juga bersikap sama. Eva mengatakan rekonsiliasi memang hal yang penting untuk diwujudkan. Namun, menurut dia, bukan berarti rekonsiliasi mengorbankan keadilan.
Jadi, kubu rezim masih menganggap perburuan terhadap HRS, penangkapan ulama, kriminalisasi aktivis Islam, sebagai bagian dari penegakan hukum. Ketika syarat pembebasan diajukan agar terjadi rekonsiliasi, mereka ogah menyepakati dengan dalih tak mau intervensi proses hukum. Hanya fokus rekonsiliasi. Omong kosong !
Wahai umat, perlu untuk diketahui realitas politik secara mendalam, agar umat ini tak terjebak pada meja rekonsiliasi untuk dimangsa dagingnya, setelah sebelumnya disembelih secara beringas oleh rezim :
Pertama, perlu dipahami motif utama rekonsiliasi bukan untuk membangun perdamaian demi terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa, namun ikhtiar untuk mencari legitimasi kekuasaan dari proses legalisasi kekuasaan yang telah mendapat stempel kemenangan dari MK. Rezim tak butuh perdamaian, bahkan rezim telah siap untuk menindas umat lebih kejam lagi jika dibutuhkan.
Rezim hanya membutuhkan pengakuan dari umat, bahwa mereka pemimpin. Mereka, butuh legitimasi agar dapat menjalankan kekuasaan tanpa gangguan. Ikhtiar itu mereka tempuh, dengan menggiring sebagian tokoh yang dianggap merepresentasikan umat ke meja perundingan.
Kedua, mereka hanya menetapkan syarat untuk berbagi kekuasan, berbagi jatah remah remah kekuasan, jatah menteri, posisi wantimpres, dll. Namun, mereka menutup rapat syarat rekonsiliasi yang akan mengantarkan pada perdamaian subtantif yakni memulangkan HRS dan menbebaskan semua tokoh dan ulama yang dikriminalisasi.
Fakta ini cukup untuk menyimpulkan, bahwa rezim memang tak mau damai. Rezim hanya mau pengakuan atas kekuasan yang mereka peroleh secara curang. Jika mereka, emoh berdamai untuk memulangkan HRS ke Indonesia, lantas apa alasan kita mau tunduk hadir dan duduk di meja rekonsiliasi ?
Ketiga, sungguhpun mereka memenuhi syarat pemulangan HRS belum tentu itu dipenuhi. Rezim ini terkenal tukang boong, ingkar dan khianat.
Kita masih ingat, bagaimana rencana rezim yang berkomitmen untuk membebaskan Ust ABB. Pada faktanya, dengan berbagai dalih Ust ABB batal bebas, padahal sebelumnya telah dijanjikan bebas tanpa syarat.Lantas, apa jaminan keyakinan kita mengikat komitmen rekonsiliasi dengan rezim ingkar ? Apa jaminannya, kita tidak diperlakukan sebagaimana Diponegoro ditangkap kompeni saat terkecoh mau mendatangi meja rekonsiliasi ?
Keempat, siapapun yang datang menghadiri meja rekonsiliasi baik kubu Prabowo atau elit politik yang lain tidak atau bukan representasi umat. Mereka hanya merepresentasikan kubu 02. Jadi, jika Prabowo dan kubu 02 tunduk, menyerahkan leher datang ke meja rekonsiliasi, apapun kesepakatan yang dibuat tidak akan pernah mengikat bagi umat.
Kelima, sesungguhnya kekuatan umat ini ada pada Islam, terikat pada akidah Islam. Islam mengajarkan hanya boleh menjalin kerjasama dalam kebaikan dan menolak untuk mengikat komitmen dalam rangka melegitimasi kecurangan dan meneguhkan penindasan.
Hakekat rekonsiliasi adalah upaya untuk melegitimasi kekuasaan curang, kekuasan zalim, agar memiliki kepercayaan politik untuk bertindak lebih zalim lagi. Karena itu, rekonsiliasi model seperti ini diharamkan menurut Islam.
Wahai kaum muslimin, wahai umat, tetaplah sabar dan kuatkanlah diri akan kesabaran. Tetaplah siaga dan selalu terjaga di parit-parit perjuangan. Tidak boleh kalian lengah, dengan menyerahkan leher ikut-ikutan latah, membenarkan apalagi ikut terikat dengan politik culas yang dibungkus dengan istilah 'Rekonsiliasi'.
Alhamdullilah, Cahyono adi masih survive n eksis..
ReplyDelete