Saturday 19 October 2019
Mesin Politik di Belakang Greta Thunberg
Indonesian Free Press -- Beberapa tahun lalu saya melihat berita di teve tentang kunjungan mantan PM Inggris Tony Blair di Indonesia. Dalam sebuah acara ternyata orang yang bertanggungjawab atas Perang Irak yang menelan nyawa ratusan ribu rakyat tak berdosa itu ditemani oleh artis pendatang baru Maudy Ayunda. Saat itu juga saya berkata kepada istri saya bahwa Ayunda bakal menjadi selebritis top Indonesia. Dan benar saja, saat ini tidak ada bintang iklan yang lebih sering muncul di televisi ketimbang Ayunda.
Gambar: Greta Thunberg dan pose mata dajjal
Dan ketika muncul fenomena sosok 'pejuang lingkungan' Greta Thunberg saya langsung bisa merasakan adanya 'kekuatan besar tidak terlihat' di belakangnya. Hanya berbekal aksi protes di depan gedung parlemen Swedia, dalam waktu singkat Greta menjadi sosok fenomenal: muncul di kover muka majalah-majalah utama dunia, menjadi subyek bagi ribuan artikel di media-media massa, berpidato di sidang PBB hingga menjadi nominator pemenang Nobel Perdamaian. Ribuan pejuang lingkungan di dunia yang menghabiskan seluruh hidupnya tidak mendapatkan keberuntungan seperti itu meski hanya seper-seratusnya.
Di tengah-tengah dunia yang dilanda konflik-konflik politik sosial, ketimpangan sosial-ekonomi karena eksploitasi sumber-sumber alam secara semena-mena, Greta mengalihkan perhatian publik dari sumber masalah yang sebenarnya yaitu elit penguasa modal global yang mengendalikan dinamika sosial-politik dunia melalui pemimpin-pemimpin yang dipilih secara 'demokrasi'.
Kemunculan Greta bisa dijelaskan sebagai suatua 'agenda setting' yang bisa dijelaskan sbb: Suatu rekayasa 'kesadaran publik' oleh media-media massa. 'Agenda setting' menjelaskan bagaimana media-media massa secara bersama-sama berusaha membentuk opini publik dan sekaligus membentuk hirarki prevalensi berita.
Dua hal penting yang harus menjadi perhatian kita yaitu: media massa tidak mencerminkan kenyataan karena merupakan bentukan, dan konsentrasi pada satu isyu membuat suatu obyek tampak lebih penting di mata publik.
Semua media utama, termasuk di Indonesia, dimiliki oleh para pemilik modal yang saling jalin menjalin. INi memungkinkan media massa satu suara dalam membentuk satu berita atau isyu. Meski kecurangan pilpres lalu sangat massif tapi hal itu menjadi terlupakan begitu saja karena media massa menyembunyikannya. Namun isyu KPK menjadi booming karena media-media massa yang kebetulan adalah proksi kepentingan Amerika menggenjotnya dengan keras. Dan isyu 'buku merah Jendral polisi' kembali memanas karena proksi-proksi Amerika itu terhalang oleh eksistensi pemimpin polisi dalam penyusunan kabinet.
'Agenda Setting' Greta Thunberg dimulai dengan keluarganya. Sebagaimana fenomena Malala gadis pejuang pendidikan perempuan dari Afghanistan, orang tua Greta adalah proksi elit global. Ayahnya, Svante Thunberg, adalah seorang aktor dan kakeknya juga aktor sekaligus sutradara Olof Thunberg. Ibunya adalah penyanyi opera Swedia terkenal Malena Ernman yang menjadi bintang dalam acara Eurovision Song Contest 2009 dan setahun kemudian diangkat sebagai penyanyi kerajaan oleh Raja Carl XVI Gustaf of Sweden.
Harus dicatat bahwa Eurovision juga menjadi alat propaganda elit global. Ajang ini pernah melahirkan seorang 'cross-gender' sebagai pemenangnya. Wajah Ernman pernah muncul di sampul muka majalah populer Swedia 'Vi' dimana dalam wawancaranya ia mengatakan 'Kita semua menjual jiwa kita kepada iblis' (“We all sell our souls to the devil”).
Pada tahun 2017 Ernman memenangkan penghargaan WWF “Environmental Hero” karena “keterlibatan dalam isyu lingkungan dalam beberapa tahun”. Setahun kemudian putrinya, Greta melakukan aksi protes di depan gedung parlemen Swedia. Aksi ini mulai dilakukan Greta pada 20 Agustus 2018 dengan membawa spanduk bertuliskan, “mogok sekolah untuk perubahan cuaca (climate)”. Empat hari kemudian buku 'Scenes From the Heart' yang ditulis Ernman resmi dirilis ke publik. Buku ini berperan besar bagi setingan Greta.
Ditulis sebagai 'otobiographi keluarga', buku ini menyinggung tentang penyakit 'Asperger’s syndrome' yang diderita Greta, yang oleh Ernman disebut sebagai sebuah “superpower”. Dalam buku itu Ernman 'membual' tentang bagaimana putrinya, Greta, mampu melihat karbon dioksida keluar dari kendaraan dan bangunan-bangunan.
Sementara itu pada hari pertama aksi Greta di gedung parlemen, wajahnya muncul di halaman Facebook bernama 'We Don’t Have Time'. Ini adalah sebuah 'jaringan sosial tentang iklim' yang dikelola oleh Ingmar Rentzhog seorang spesialis marketing keuangan.
Rentzhog juga menjadi pimpinan dari 'Global Utmaning Board' suatu lembaga kajian yang mengklaim "mempromosikan pembangunan berkelanjutan dalam dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan”. Lembaga ini didirikan oleh politisi-ekonom Swedia Kristina Persson, yang tidak lain adalah putri dari jutawan-politisi Sven O.Persson.
Dengan latar belakang inilah popularitas Greta dimulai. Setelah beberapa bulan melakukan aksi mingguan di depan gedung parlemen, Greta pun keluar dari sekolahnya untuk berkonsentrasi pada kampanyenya. Ia melakukan tour ke kota-kota di Eropa dimana di sela-sela kegiatan itu sering terlihat seorang wanita memberi pengarahan padanya. Wanita itu adalah Luisa-Marie Neubauer.
Neubauer adalah anggota kelompok ONE Campaign yang didirikan dan dikelola oleh boss Microsopt Bill Gates dan vokalis band terkenal U2 Bono. Selain itu organisasi yang didirikan oleh George Soros, Open Society Foundation, juga menjadi pendukung One Campaign. Brooke Havlik, pejabat humas Open Society Foundations pernah mengatakan kepada Associated Press bahwa organisasinya menyumbang $10 juta kepada One Campaign since sejak 2011.
Semoga saja Greta terlalu polos untuk mengetahui setingan di belakangnya dan agenda-agenda buruk di baliknya.(ca)
Dunia yang dikendalikan oleh para agendaris..
ReplyDelete