Sunday, 20 July 2008

Drama Komedi Krisis Minyak

Selama beberapa bulan terakhir ini masyarakat dunia, dari warga miskin di Indonesia hingga Sekjend PBB Ban Ki Moon, dunia dipusingkan dengan dampak kenaikan harga minyak dunia. Ban Ki Moon pun yang biasanya mengurusi urusan keamanan & politik internasional, harus berubah peran menjadi makelar bisnis dengan mengunjungi Arab Saudi dan mendesak pemerintah negara itu untuk meningkatkan produksi minyaknya demi mengurangi krisis minyak dunia.

Akhir-akhir para pejabat dan pers Amerika menuduh Arab Saudi, produsen minyak terbesar dunia, sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kenaikan harga minyak dunia karena terlalu pelit menaikkan produksinya. Karena itu pulalah, Sekjen PBB tergopoh-gopoh melobi pemerintah Saudi untuk meningkatkan produksinya. Sedangkan beberapa organisasi kerjasama ekonomi dunia “pura-pura” meminta diadakan penyelidikan atas penyebab kenaikan harga minyak dunia.

Berbicara soal harga minyak dunia sebenarnya terdapat satu hal fundamental yang sangat kontradiktif, yaitu tidak berlakunya lagi hukum ekonomi. Sejak tahun 2003 harga minyak dunia mengalami kenaikan hingga 380% (tahun 2003 harga minyak dunia $ 27 per-barrel, saat ini mencapai $ 130-an per-barrel) sedangkan jumlah penduduk dunia pengkonsumsi minyak hanya naik +<5%>

Opini masyarakat dunia yang dibentuk oleh media-media massa ataupun statemen para pejabat di berbagai belahan dunia umumnya menganggap kenaikan harga minyak dunia karena terjadi kenaikan permintaan yang tidak diimbangi dengan produksi. Kenyataannya tidak seburuk itu. Ralph Nader, aktivis hak-hak konsumen & mantan kandidat presiden Amerika dengan mengutip majalah Wall Street Jornal dalam artikelnya di situs internet Counterpunch 28 Mei lalu mengatakan bahwa sejak awal tahun 2007 kenaikan permintaan minyak dunia hanya sebesar 1,3 persen. Amerika sebagai pemakain minyak terbesar dunia bahkan mengalami penurunan permintaan sebesar 1%.

Nader juga mengutip pernyataan menteri perminyakan Iran, Hossein Ardebili bahwa Iran terpaksa menyimpan kelebihan cadangan minyak hingga 25 juta barrel. Ardebili mengatakan, “tidak ada lagi pembeli minyak karena pasar sudah terlalu jenuh.” Sedangkan menteri perminyakan Arab Saudi Ali al-Naimi belum lama ini dengan tegas mengatakan, “Tidak ada alasan yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga minyak.” George Soros, seorang tokoh spekulan internasional bahkan terang-terangan mengatakan kenaikan harga minyak dunia saat ini adalah disebabkan ulah para spekulan.

Yang tidak terpikirkan masyarakat adalah adanya laporan-laporan bahwa Amerika, negara yang paling gerah dengan kenaikan harga minyak, sebenarnya memiliki jauh lebih banyak sumber minyak dan gas dibandingkan negara-negara lain, hatta Arab Saudi, negara yang disalahkannya sebagai penyebab kenaikan harga minyak.

Menurut laporan pemerintah Amerika c/q Department of Interior kepada lembaga legislatif US Congress, bulan February 2006, jumlah cadangan minyak dan gas Amerika adalah mencapai 115 miliar barrel minyak dan 633.6 trillion cubic feet gas. Sebagai perbandingan Arab Saudi sebagai negara produsen minyak terbesar dunia memiliki cadangan minyak sebanyak 210 miliar barrel, dan Irak sebagai negara produsen minyak terbesar kedua memiliki jumlah cadangan minyak yang sama dengan Amerika, yaitu 115 miliar barrel. Laporan lainnya dari Office of Naval Petroleum and Oil Shale Reserves Dept of Energy tahun 2004 bahkan lebih mengejutkan lagi. Menurut laporan tersebut jumlah cadangan minyak Amerika bahkan mencapai 2 triliun barrel dan hal itu sudah diketahui para ahli sejak abad lalu.

Lalu mengapa Amerika tidak menggunakan saja cadangan minyaknya sendiri daripada kebingungan dan menyalah-nyalahkan negara lain? Kalau pun harus menyalahkan orang lain mengapa harus Arab Saudi, negeri yang berjarak ribuan mil, daripada Kanada, negara tetangganya yang selama ini menjadi eksportir terbesar minyak ke Amerika? Di sinilah kepentingan bisnis berbalut politik bicara, tidak lagi logika dan akal sehat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa harga minyak tidak lagi ditentukan oleh faktor permintaan dan penawaran, melainkan oleh motif-motif spekulasi para pemilik modal global yang bekerja untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengorbankan kepentingan masyarakat umum.

Penggunaan minyak fosil sendiri sebagai sumber utama energi dunia perlu dipertanyakan. Jauh sebelum minyak menjadi sumber energi motor, energi batere telah menjadi sumber energi utama dengan kelebihan: murah dan ramah lingkungan.

Menurut ensiklopedia Wikipedia, pada awal abad 20 mobil batere dan kereta api listrik merupakan kendaraan yang paling umum. Di kota-kota besar dunia angkutan massal didominasi dengan kereta api listrik dan trem listrik. Swiss, negara yang paling makmur di dunia dengan pendapatan per-kapita di atas 35.000 dolar, sampai sekarang pun masih mengandalkan trem dan kereta api listrik yang nyaman, aman dan ramah lingkungan, sebagai sarana transportasi massal hingga relatif sedikit rakyatnya yang memiliki mobil. Bapak listrik Thomas Alva Edison dengan bangga selalu mengendarai mobil bertenaga batere-nya yang bisa di-recharge. Teknologi trem listrik bahkan memungkinkan pengemudi mobil batere tetap menjalankan mobilnya sembari me-recharge (mengisi ulang) baterenya, memungkinkan mobil berjalan dengan jarak tak terhingga, tanpa bahan bakar setetespun.

Dengan performa yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan mobilitas publik (menurut Wikipedia mobil listrik antik La Jamais Contente, mampu berlari dengan kecepatan 100/jam pada tahun 1899 dan memegang rekor kecepatan kendaraan bermotor selama bertahun-tahun setelahnya. Mobil bertenaga batere modern standar seperti Toyota RAV4 EV mampu melaju dengan kecepatan 130 km/jam hingga jarak 140 km tanpa recharge. Mobil sport listrik Tesla Roadster mampu melaju 210 km/jam dan menempuh jarak 350 km tanpa recharge. Mobil listrik prototype Eliica bahkan mampu berlari dengan kecepatan 370 km/jam hingga jarak 320 km tanpa recharge. Kereta api listrik seperti TGV, Shinkansen, dan ICE bahkan tidak tertandingi kecepatannya dibandingkan kereta api diesel) ditambah kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak dimiliki kendaraan berbahan bakar minyak seperti dalam hal akselerasi kecepatan, efisiensi energi dan keramahan lingkungan, sebenarnya tidak ada alasan untuk memproduksi alat transportasi berbahan bakar minyak secara massal.

Namun semuanya berubah saat raja minyak Rockefeller “turun gunung”. Pada tahun 1930 ia membentuk perusahaan konsorsium National City Lines (NCL) yang merupakan gabungan beberapa anak perusahaan miliknya: General Motors, Firestone, & Standard Oil. Melalui proses kotor bergaya mafia NCL mengakuisisi perusahaan-perusahaan operator trem dan kereta api listrik di seluruh Amerika, dan menutupnya satu-per satu. Ia juga mengganti trem dan kereta listrik dengan bus-bus buatan General Motors. Selain itu melalui anak perusahaannya yang lain, Ford Motor Company, ia memproduksi secara massal mobil kompak berbahan bakar bensin yang dikenal sebagai mobil model-T. Untuk melunakkan Thomas Alva Edison yang telah dikenal luas sebagai tokoh besar, Rockefeller mendirikan perusahan General Electric dengan Edison sebagai CEO-nya.

Karena praktek yang kotor dan vulgar itu NCL dihukum denda oleh pengadilan Amerika. Namun pengadilan hanya sandiwara belaka. Dengan keuntungan luar biasa besar yang telah diraih, masing-masing perusahaan pembentuk konsorsium: General Motors, Firestone, & Standard Oil hanya didenda 5.000 dolar saja. Adapun para direkturnya hanya didenda 1 dolar saja.

Pemerintah Amerika pun turut bertanggung jawab atas ketergantungan dunia terhadap minyak selain memuluskan langkah Rockefeller di negerinya sendiri. Segera setelah berakhir Perang Dunia II, dengan program Marshall Plant-nya, pemerintah Amerika memaksakan pembangunan jaringan jalan raya dan penutupan jalur-jalur kereta api di negara-negara penerima bantuan di Eropa dan Asia. Ingat, produsen mobil utama selain Amerika yaitu Jerman dan Jepang adalah negara-negara taklukan Amerika dalam Perang Dunia II yang konstitusinya didiktekan oleh pemerintah Amerika.

Kini dunia telah tergantung pada minyak dimana sebagian besar perusahaan minyak dunia dimiliki oleh keluarga Rockefeller: Esso and Mobil (Exxon-Mobil), Arco & Amoco (British Petrolium), Pennzoil (Shell), Chevron dan Conoco. Tidak hanya itu, iapun mengembangkan bisnisnya hingga menguasai sektor perbankan dan pers. Dengan dananya ia membentuk yayasan-yayasan dan LSM-LSM, yang bersama-sama pers secara efektif mampu membentuk opini publik yang dikehendaki, termasuk opini bahwa tidak ada sumber energi alternatif yang bisa menggantikan minyak meski terbukti sumber utama polusi adalah minyak. Dengan kekuatan uang-nya ia bahkan mampu “mengendalikan” kebijakan publik Amerika bahkan dunia.

Indonesia pun ikut “tenggelam” dalam arus pusaran kepentingan bisnis para kapitalis asing. Alih-alih memilih cara cerdas untuk mengatasi kenaikan harga minyak, pemerintah SBY rela “mengkhianati” rakyatnya dengan ikut-ikutan menaikkan harga minyak. Sementara sebagian rakyatnya sendiri yang termakan dengan kampanya anti nuklir oleh LSM-LSM, yayasan-yayasan dan pers asing, ikut menentang pengembangan energi nuklir meski terbukti nuklir adalah sumber energi paling efektif dan efisien.

Mungkin ini adalah sebuah drama komedi yang tidak lucu dari krisis minyak dunia.(Dimuat di Harian Waspada, Juni 2008)

No comments:

Post a Comment