Apa saja yang bisa dilakukan Mukesh Ambani (orang yang menurut berbagai media massa merupakan orang terkaya di India bahkan dunia)?. Apa saja yang tidak pernah Anda bayangkan. Contohnya ia bisa membeli pesawat jet airbus seharga 60 juta dolar (hampir setara Rp 600 miliar) hanya untuk hadiah ulang tahun istrinya. Contoh lainnya adalah ia bisa membangun rumah blok setinggi gedung 60 lantai seharga 1 miliar dolar (hampir senilai Rp 10 triliun) setelah menganggap rumah lamanya, rumah mewah berlantai 14 bernilai ratusan miliar rupiah, tidak layak lagi dihuni. Jadi Anda yang sudah merasa kaya dengan kekayaan yang Anda miliki dan merasa berhak diistimewakan oleh orang-orang di sekitar Anda, silahkan malu kepada Ambani. Menurut berita surat kabar The Times India yang dirilis Oktober 2007 lalu, Mukesh menduduki posisi tertinggi daftar orang terkaya dunia dengan kekayaan senilai 63 miliar dolar setelah harga saham-saham perusahaannya, Reliance Group mengalami booming sebagai dampak pertumbuhan ekonomi India yang mencapai 9% lebih. Kekayaan Ambani mengalahkan Bill Gates, boss Microsoft yang selama bertahun-tahun menduduki posisi tertinggi orang terkaya dunia versi media massa terutama majalah Forbes yang terkenal. Bill Gates diperkirakan “hanya” memiliki kekayaan 62 miliar dolar. Orang-orang terkaya dunia lainnya yang dilewati Mukesh adalah jutawan Mexico Carlos Slim Helu dan jutawan Amerika Warren Buffett.
Sikap Ambani yang “sok pamer” itu tentu saja banyak dikecam oleh warga India yang sebagian besar hidup di bawah garis kemiskinan. Di kota Mumbai (dulu Bombai) di mana Ambani tinggal, lebih dari separoh penduduknya bahkan masih tinggal di gubuk-gubuk kumuh. Di kalangan orang-orang kaya India lainnya yang cenderung menjauhi publikasi karena faktor budaya di samping menghindari pajak, Ambani juga sangat jauh berbeda. Bandingkan misalnya dengan Azim Pramji, seorang muslim, bos Wipro Ltd, yang juga tercatat sebagai salah seorang terkaya dunia. Dengan kekayaan yang dapat untuk membeli beberapa mobil paling mewah atau pesawat jet, ia memilih mobil Toyota Corolla sebagai mobil pribadi. Ia juga lebih memilih menumpang pesawat penumpang kelas bisnis untuk menjalankan bisnisnya di luar kota atau luar negeri.
Kalau pun ada jutawan India lain yang sok pamer kekayaan itu adalah Laksmi Mittal, konglomerat industri baja yang salah satu bisnis awalnya berada di Sidoarjo, Jawa Timur. Itupun dilakukan di luar negeri karena memang Mittal tinggal di Inggris. Contohnya ia tinggal di istana seharga 60 juta dollar. Ia juga pernah membuat sensasi dengan menyewa istana Mersailles di Perancis untuk pesta perkawinan anaknya.
Sebagaimana telah disebutkan kenaikan kekayaan Ambani secara besar-besaran terjadi karena adanya kenaikan harga saham perusahaan-perusahaannya. Hal yang sama juga dialami oleh jutawan-jutawan dunia lainnya. Bill Gates misalnya. Hanya dalam waktu satu bulan, antara Agustus 2007 dan September 2007, kekayaannya bertambah 3,29 miliar dolar (sekitar 32 triliun rupiah) karena harga saham Microsoft naik 6,58 dolar per-saham di bursa saham New York.
Inilah paradoks transaksi derivatif. Tanpa melakukan kerja apapun kecuali menjual-beli kertas-kertas saham atau mata uang, seseorang dapat menikmati tambahan kekayaan berlipat-lipat. Padahal sebagai transaksi, derivatif adalah zero sum game alias sebuah permainan yang tidak memberikan nilai tambah apapun (tidak memproduksi apapun). Bila seseorang mendapat keuntungan, maka orang lain pasti mengalami kerugian. Dan yang mengalami kerugian itu pasti adalah sektor riel, yaitu para pengusaha, pekerja, petani dan para profesional yang pekerjaannya adalah menciptakan nilai tambah barang dan jasa.
Ketidak adilan karena transaksi derivatif saat ini sebenarnya sedang terjadi secara massal di Amerika dan berimbas ke seluruh dunia dalam bentuk krisis keuangan sub-prime mortgage. Krisis ini terjadi karena dana-dana pensiunan dan asuransi yang mestinya digunakan untuk membangun perumahan bagi kalangan pekerja telah digunakan untuk melakukan transaksi derivatif, dan menghilang entah kemana. Akibatnya ribuan pekerja Amerika kehilangan impiannya memiliki rumah yang telah dicicilnya bertahun-tahun. Sebagian dana-dana yang hilang itu sangat boleh jadi mengalir ke tangan Bill Gates dan Mukesh Ambani atau orang-orang kaya lainnya yang hidup dari perjudian transaksi derivatif.
Fenomena “pencurian” kekayaan karena transaksi derivatif juga dialami secara massal di seluruh dunia, yaitu di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tidak perlu bukti otentik untuk mengetahuinya, cukup melihat fenomenanya saja. Secara umum, meski semangat kerja rakyatnya tidak pernah turun, negara-negara berkembang mengalami fenomena dimana di satu sisi kehilangan aset-aset nasional dan di sisi lainnya hutang luar-negerinya semakin mengelembung tinggi.
Kembali ke soal orang terkaya di dunia. Benarkah Ambani, Bill Gates, Carlos Slim, dan Warret Buffett adalah benar-benar orang terkaya di dunia sebagaimana digembar-gemborkan media massa? Bukankah asset perusahaan mereka hanya sekuku hitam dibanding perusahaan-perusahaan keuangan dunia semacam Citicorp yang asset “resmi”-nya saja di atas 1 triliun dolar. Bagaimana dengan para bankir internasional: keluarga Morgan, Hill, Baker, Stilman, Rockefeller, Schiff yang menguasai saham Federal Reserve (bank sentral Amerika) sejak tahun 1913?. Lalu bagaimana pula dengan keluarga Rothschild yang menguasai Bank of England (bank sentral Ingris), Federal Reserve dan beberapa bank sentral di Eropa lainnya. Sebagian “kecil” saja kekayaan mereka berupa piutang atas pemerintah Amerika telah mencapai 9 triliun dolar yang bunga per-tahunnya saja mencapai ratusan miliar dolar. Kekayaan mereka sudah terkumpul puluhan hingga ratusan tahun lalu dan terus mengalir bak air bah berupa bunga hutang, keuntungan transaksi derivatif serta laba perusahaan-perusahaan sektor riel mereka. Padahal pada tahunan 1980-an Bill Gates masih merengek-rengek kepada IBM minta diberi proyek, dan Mukesh Ambani baru mewarisi perusahaan ayahnya yang tidak begitu besar.
Perlu juga diperhatikan, bahkan seorang Mukesh Ambani pun tidak bisa menahan para bankir dunia itu untuk menguasai saham perusahaannya. Buktinya Ambani tidak memiliki selembar saham pun di Reliance Petrolium, salah satu anak perusahaan Reliance Group yang didirikannya.
Perlu diperhatikan, meski pun Ambani dan para pengusaha besar India semakin kaya dan pertumbuhan ekonomi India mencapai 7 persen setahun, ratusan juta rakyat India masih tetap hidup di gubuk-gubuk kumuh tanpa tersentuh kue pertumbuhan ekonomi.
Penulis lahir di kota Pekalongan, sebuah kota kecil yang terkenal dengan industri tekstilnya dan telah banyak melahirkan tokoh besar. Ketua PAN Sutrisno Bachir, sastrawan Taufik Ismail, politisi Adi Sasono, Kapolri Hoegeng dan Sutanto, Jaksa Agung Abdurrahman Saleh, Jendral AR Dharsono dan Ali Murtopo, pejuang hukum Garuda Nasution, wartawan senior Gunawan Mohammad, ulama besar Hamka hingga mantan Deputi Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, pernah berhutang jasa kepada kota kecil ini.
Pada tahun 1960-an hingga 1980-an kota ini merupakan sebuah kota yang sangat dinamis. Bunyi merdu ribuan mesin tenun bukan mesin (ATBM) menghiasi hari-hari penduduknya setiap hari. Pagi dan sore jalan-jalan ramai dengan para pekerja yang berangkat dan pulang kerja. Dan setiap malam Jum’at dimana para pekerja industri tekstil yang umumnya suka jajan menghabiskan malam liburan, pusat kota bak pasar malam.
Namun kini kota ini bagaikan kota mati. Jalan-jalan sepi. Warung-warung makan tutup karena tidak ada pembeli. Ini semua terjadi karena industri tekstil Pekalongan telah mati karena kalah bersaing dengan industri tekstil luar negeri, dan hanya tersisa beberapa gelintir pengusaha yang bertahan hidup dengan kreatifitasnya, di antaranya mengalih-fungsikan ATBM-nya menjadi pembuat kerajinan akar-akaran dan tenun ikat. Puluhan ribu pekerja tekstil itu telah berurbanisasi ke Jakarta atau beremigrasi ke Malaysia dan Arab Saudi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Pekalongan, namun juga sebagian besar kota-kota di Indonesia.
Laporan BPS menyebutkan selama tahun 2007 terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik yaitu 6,3%. Majalah Forbes juga menyebutkan semakin tingginya kekayaan para pengusaha papan atas Indonesia. Menkeu dan Gubernur BI pun dipuji-puji oleh media massa asing dan domestik. Namun anehnya sektor riel justru lumpuh yang indikator nyatanya adalah bangkrutnya industri tekstil dan tempe/tahu. Di sisi lain ratusan triliun dana segar justru “nonggrok” di Bank Indonesia. Artinya adalah tidak ada korelasi positif antara sektor moneter dan riel. Pertumbuhan ekonomi hanya terjadi di sektor moneter yang fiktif. Kalaupun ada sektor riel yang tumbuh itu terjadi pada industri yang dikuasi oleh modal asing seperti ritel, pertambangan dan komunikasi.
Tahun 2007 output produksi barang-jasa global ditaksir mencapai 40 triliun dolar. Dengan kata lain pendapatan perkapita dunia mencapai sekitar 7.000 dolar. Jika ditambahkan pendapatan lain-lain yang tidak resmi dan tidak tercatat, maka pendapatan per-kapita penduduk dunia jauh lebih tinggi lagi. Jika pendapatan tersebut terdistribusikan dengan baik, maka dipastikan tidak ada penduduk dunia yang miskin. Namun faktanya sebagian besar penduduk dunia masih terus mengalami kemiskinan, termasuk penduduk Indonesia, negeri yang kaya dengan sumber daya alam.
Keterangan gambar: rancangan rumah Mukesh Ambani.
luar biasa mas, analisis yg mindblowing sekali, bisa diresap oleh otak saya yang awam masalah moneter ini..
ReplyDelete