Wednesday, 17 December 2008
Nasib Palestina yang Terlupakan
Enam puluh tahun lalu, tepatnya tgl. 11 Desember 1948 Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi penting tentang Palestina dan Israel. Resolusi nomor 194 tersebut menetapkan pembentukan dua negara di tanah Palestina, yaitu Palestina dan Israel. Resolusi tersebut juga menetapkan pembentukan sebuah Komisi Konsiliasi untuk
mengimplementasikan resolusi tersebut serta kewajiban repatriasi (hak kembali) rakyat Palestina yang terusir oleh Israel.
Bagi rakyat Palestina, membagi tanah airnya dengan pendatang baru yang dengan paksa menduduki wilayahnya, merupakan sebuah pengorbanan yang luar biasa besar. Namun pengorbanan tersebut bahkan masih kurang banyak di mata Israel dan dunia, rakyat Palestina masih belum memiliki negara sendiri yang berdaulat. Jutaan rakyatnya masih berserak di negara-negara lain sebagai pengungsi, 1 1/2 juta penduduknya diblokade secara total oleh Israel di Jalur Gaza, dan sisanya yang tinggal di Tepi Barat terus menerus dihantui oleh serangan bersenjata Israel.
Jauh dari implementasi, resolusi tersebut saat ini justru dinilai sebagai “tidak realistik” atau bahkan “menghalangi perdamaian”. Dan bukannya diimplementasikan, resolusi ini justru menjadi alat politik oleh pihak-pihak yang terlibat langsung, Palestina dan Israel, maupun pihak lain yang paling sering melibatkan diri, Amerika. Terkadang resolusi tersebut digunakan sebagai senjata politik untuk “menyerang”, dilain waktu untuk “bertahan”. Lebih sering lagi untuk “tawar-menawar”.
Dalam hal permainan politik, Palestina dan juga negara-negara Arab pendukungnya, selalu saja berada di pihak yang kalah di hadapan Israel yang didukung secara total oleh Amerika. Pelan namun pasti mereka rela melepaskan hak-haknya hanya demi mencari perdamaian dengan Israel. Kekalahan terakhir mereka tampak jelas dalam Rencana Perdamaian Liga Arab menyangkut hubungan Palestina-Israel yang ditetapkan tahun 2002 di Lebanon.
Dalam rencana tersebut Israel dituntut menarik diri ke perbatasannya sebelum tahun 1967 ---tahun dimana Israel melancarkan Perang Enam Hari atas Arab yang memperluas wilayah Israel hingga Jalur Gaza, Tepi Barat Sungai Jordan, Jerussalem dan Dataran Tinggi Golan Syria. Itu berarti seruan tersebut berarti juga melegitimasi ekspansi Israel selama tahun 1948-1966. Negara-negara Arab juga menuntut pendirian negara Palestina, dan penetapan Jerussalem sebagai ibukota Palestina dan Israel. Rencana tersebut juga menyerukan pengembalian pengungsi Palestina, namun masih tidak jelas dalam tuntutan itu apakah pengungsi Palestina harus dikembalikan ke wilayah pendudukan Israel atau ke negara Palestina yang akan dideklarasikan. Di samping itu juga tidak disebutkan dengan jelas mekanisme pengembalian pengungsi Palestina.
Saat Israel dideklarasikan Mei 1948, negara-negara barat memandangnya sebagai sebuah solusi yang baik atas masalah Yahudi (Jewish Question) di Eropa, terutama setelah penindasan Hitler. Dalam beberapa jam saja setelah deklarasi, Amerika dan Sovyet mengakui kemerdekaan Israel, diikuti negara-negara Eropa beberapa hari kemudian. Setahun kemudian PBB bahkan mengakui Israel sebagai anggota.
Namun kebalikan dengan nasib orang-orang Yahudi, rakyat Palestina justru mengalami kejahatan kemanusiaan yang tidak terkira. Pada tahun 1948 sebanyak 750 ribu rakyat Palestina, atau 90% dari populasi rakyat Palestina saat itu, telah diusir dari rumah dan tanahnya dan menjadi pengungsi di negara-negara tetangga Arab. Sebanyak 250 ribu di antara mereka bahkan telah diusir oleh orang-orang Yahudi sebelum tahun 1948. Rakyat Palestina menyebut peristiwa pengusiran itu sebagai “Nakba”, dan memperingatinya setiap tahun dengan penuh kepahitan.
Secara hukum, Israel wajib menerima kembali rakyat Palestina yang terusir atau setidaknya mengganti kerugian. Hal itu pun menjadi syarat keanggotaan Israel di PBB tahun 1949. Namun Israel menolak, bahkan untuk sekedar mengakui kesalahan. Ketika Utusan Khusus PBB di Palestina, Count Bernadotte, terus mendesak Israel menerima kembali rakyat Palestina yang terusir, organisasi teroris Israel Irgun pimpinan Menachen Begin (kemudian menjadi Perdana Menteri Israel) membunuhnya.
Saat ini ada sekitar 5 juta rakyat Palestina yang menjadi pengungsi di Jordan, Lebanon, Syria, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Israel melarang mereka kembali ke tanah airnya yang diduduki Israel. “Kita harus melakukan segala hal untuk menjamin mereka kembali. Mereka yang sudah tua akan segera mati. Yang muda akan segera lupa,” kata David Ben-Gurion, Perdana Menteri Israel pertama pada tahun 1948. Untuk memenuhi tekad tersebut Israel menerapkan tindakan tembak di tempat atas rakyat Palestina yang berani kembali ke tanah airnya yang diduduki. Ribuan rakyat Palestina meninggal karena “kebijakan” itu.
Namun ramalan Ben-Gurion meleset jauh. Rakyat Palestina, tua-muda, pria-wanita, dewasa-anak-anak, tidak pernah melupakan “Nakba”. Setiap anak-anak Palestina masih mengingat dengan jelas tempat dimana leluhurnya pernah tinggal di Palestina, dan mereka semua bertekad untuk kembali suatu saat.
Semua rencana penyelesaian masalah Palestina-Israel selalu berakhir mengambang terkait dengan masalah pengungsi ini. Dan kini orang-orang Palestina itu, para penyandang status pengungsi terlama di dunia, masih harus menatap masa depannya yang serba tidak jelas. Padahal para pengungsi di tempat lain, termasuk Kosovo, telah kembali ke tanah airnya.
Kengototan Israel menolak hak kembali pengungsi Palestina membuat masa depan Timur Tengah terus-menerus dinaungi awan mendung. Negara-negara barat pernah berupaya mencari solusi lain seperti pemberian kompensasi, naturalisasi oleh negara-negara penampung pengungsi serta emigasi ke negara-negara barat. Namun rakyat Palestina menolak tegas samua upaya mengalihkan rakyat Palestina atas haknya.
Hanya dengan implementasi Resolusi PBB nomor 194 perdamaian di kawasan Timur Tengah dapat terwujud. Di ulang tahunnya yang ke 60, kini adalah saatnya mengimplementasikan resolusi tersebut melalui resolusi PBB baru yang sejiwa dengan semangat hak kembali rakyat Palestina. Bukan mengabaikan resolusi itu sebagaimana dilakukan Israel.
Namun harapan itu mungkin tinggal harapan. Israel tidak pernah tulus menunjukkan niat untuk berdamai. Sebaliknya tindakan keji Israel semakin menjadi-jadi, bahkan di era modern seperti sekarang, seperti memblokade wilayah Jalur Gaza yang membuat rakyat Palestina semakin menderita.
No comments:
Post a Comment