Sunday, 15 March 2009
Narsisisme Barrack Obama
Sebenarnya saya sudah merasa cukup "mendiskreditkan" Barrack Obama di tengah-tengah puja-puji yang melimpah ruah kepadanya. Puja-puji terakhir yang saya baca adalah tulisan Hazairin Pohan (wartawan senior, dubes RI di Polandia) di harian Waspada bulan Februari lalu. Tidak tanggung-tanggung, puja-puji itu ditulis dalam dua artikel opini yang bersambung.
Singkat kata saja, saya menilai puja-puji terhadap Obama dalam tulisan tersebut yang menurut saya sangat berlebihan. Misalnya, pujian terhadap Obama sebagai seorang diplomat ulung. Faktanya adalah Obama tidak pernah menjadi seorang diplomat sepanjang hidupnya, kecuali hidup berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lainnya mengikuti ibunya yang kawin dengan beberapa laki-laki asing. Sebagai presiden yang baru menjabat satu dua bulan, Obama juga belum menunjukkan satupun prestasi di bidang diplomasi.
Namun membaca artikel di situs berita dan essai terkenal truthseeker.co.uk tgl 12 Maret lalu, saya tidak dapat mencegah untuk menuliskan tentang satu sisi lain kehidupan Barrack Obama yang menarik. Namun, lagi-lagi, bernada negatif. Artikel tersebut adalah sebuah analisis kejiwaan seorang ahli kejiwaan Dr. Sam Vaknin, yang populer dengan bukunya yang berjudul "Malignant Self Love", atas sosok pribadi Barrack Obama.
Berkat buku "Malignant Self Love", Dr Vaknin dikenal sebagai pakar nomor satu tentang narsisisme, atau penyakit kejiwaan berupa rasa bangga diri yang berlebihan. Dalam artikel tersebut dikatakan mengenai Dr Vaknin sebagai orang yang mengerti benar mengenai narsisisme dan mampu menjelaskan jalan pikiran penderita narsis dengan tepat. "Saat ia bicara tentang narsis, semua orang mendengarkan," tulis truthseeker.
Mengenai Barrack Obama, Dr. Vaknin mengatakan, "Harus saya akui, saya terkesan dengan Barack Obama pada saat pertama bertemu. Mulanya saya tertarik dengan sosoknya sebagai seorang kulit hitam yang menjadi kandidat presiden. Ia tampak mudah, pandai berbicara, percaya diri, sosok yang sangat cocok untuk menjadi presiden. Namun pandangan saya segera berubah, bukan karena kedangkalan pikirannya, namun juga karena adanya aura kesombongan dalam tingkah lakunya yang tidak terkontrol. Postur dan bahasa tubuhnya lebih keras dibanding kata-kata kosongnya."
Lebih jauh Dr. Vaknin mengatakan ,"Pidato-pidato Obama tidak sama dengan pidato-pidato politik yang pernah ada sepanjang sejarah Amerika. Tidak ada seorang politisi pun di negeri ini memiliki pengaruh "agama" atas begitu banyak manusia. Kenyataan bahwa sosok Obama adalah sebuah penyamaran sempurna tanpa kecakapan sedikitpun, membuat hal ini sebagai sebuah bahaya yang tidak dapat diterangkan. Obama bukan orang biasa. Namun ia juga bukan jenius. Kenyataannya ia orang yang tidak peduli dengan hal-hal yang sangat penting."
Dr. Vaknin yang menganalisa Obama berdasar pengamatan langsung juga wawancara dengan orang-orang dekat Obama menyimpulkan Obama tidak hanya sekedar menderita narsis biasa, namun juga narsissistic personality disorder (NPD), varian narsis yang lebih berbahaya. Penderita narsis melihat hal-hal besar namun keliru memproyeksikan diri sendiri. Stalin, Mao Ze Dong, Kim Jong Ill, Hitler, Pol Pot, Napoleon, dan tokoh-tokoh kharismatis lainnya kebanyakan menderita narsisisme. Dengan kharismanya mereka memperalat pemujanya yang naif demi kepuasan diri.
Kabanyakan penderita narsis mengalami masa kecil yang kurang bahagia. Hal ini juga berlaku atas Obama. Orang tuanya melakukan perkawinan campuran yang kala itu masih sangat jarang dan mengundang cibiran orang-orang kulit putih, untuk kemudian bercerai saat Obama masih bayi. Obama hanya sekali melihat ayahnya sebelum meninggal karena kecelakaan mobil. Kemudian ibu Obama menikah lagi dengan laki-laki asing lainnya dan pindah ke Indonesia, sebuah negeri dengan budaya yang sangat berbeda untuk dibesarkan oleh ayah tiri. (Saat itu Barrack Obama menyandang status warga negara Indonesia dengan nama Barry Soetoro). Pada umur sepuluh ia harus menjalani hidup dengan kakek neneknya yang kulit putih. Ia hanya sekali-kali bertemu ibunya untuk kemudian sama sekali tidak pernah lagi bertemu sejak tahun 1979. Pada tahun 1995 ibunya meninggal karena kanker.
Orang tidak boleh menyepelekan keahlian menipu para penderita narsis. Terpesona dengan kharisma penderita narsis, orang-orang hanya menjadi obyek permainannya. Penderita narsis membentuk dunia di sekitarnya, mengecilkan orang lain untuk kemasyuran diri. Penderita narsis tidak peduli dengan segala persoalan kecuali yang dapat mengangkat harga dirinya. Dalam hidupnya ia hanya fokus pada satu hal, yaitu kekuasaan. Semua hal tidak berarti baginya dan ia tidak mau menghabiskan sedetik pun waktunya untuk hal-hal kecil.
Ini juga menjelaskan mengapa Obama menolak bertemu Presiden SBY di Amerika saat SBY berkunjung ke negara tersebut akhir tahun lalu (Barrack telah resmi menjadi pemenang pemilu, namun belum dilantik). Ketika bertemu dengan Wapres Jusuf Kalla di acara National Prayer Breakfast, ia pun hanya "melengos". Di mata Obama, SBY dan JK hanya pemimpin negara miskin yang tidak terlalu penting. Namun orang-orang liberal Indonesia naif sudah sangat berbesar hati saat menlu Hillary Clinton mampir ke Indonesia dalam muhibahnya ke negara-negara Asia. "Ini menunjukkan Indonesia dianggap penting oleh Amerika," kata mereka.
Saat terpilih menjadi ketua Harvard Law Review, ia menerima tawaran untuk menulis buku tentang hubungan antar ras. Namun apa yang kemudian ditulisnya? Sebuah otobiografi berjudul "Dreams from My Father". Tidak mengherankan. Para narsis lainnya seperti Hitler dan Stalin juga menulis otobiografi saat mereka belum menjadi siapa-siapa. Sekali lagi, bagi mereka tidak ada hal yang penting kecuali dirinya sendiri.
Narsis seringkali juga berperilaku kejam dan kasar. Dalam standar normal, mereka memiliki kesadaran yang rendah. Inilah yang membuat Obama tidak peduli dengan nasib kerabatnya di Kenya maupun di Indonesia yang kebanyakan masih hidup miskin. Saudara-saudara se-ayahnya di Kenya, termasuk neneknya, paman, bibi, dan sepupunya di Kenya bahkan harus hidup dengan penghasilan kurang dari $1 dolar sebulan.
Seorang yang hidup dalam kemewahan, yang menumpang jet pribadi untuk berlibur ke Hawaii (sebelum menjadi Presiden), dan mampu menggalang dana kampanya hingga $500 juta, tidak peduli dengan saudara-saudaranya yang menderita kemiskinan. Mengapa? Karena saudara-saudaranya itu tidak bisa berbuat apa-apa untuk mendorongnya ke kursi kekuasaan. Sekali lagi, bagi narsis tidak ada hal yang penting kecuali dirinya sendiri.
Meski seorang narsis kadang tampak normal atau bahkan kelihatan cerdas, tidak ada yang lebih membahayakan dari membiarkan seorang narsis menjadi pemimpin. Sejarah sudah membuktikan orang-orang narsis membawa kepada peperangan dan kerusakan-kerusakan. Meski terdengar seperti paranoid dalam hal ini, namun seseorang menjadi bodoh jika tidak ada orang lain yang memberitahunya tentang adanya sebuah bahaya.
Dalam konteks Amerika, seorang seperti Obama menjadi presiden, membawa konsekwensi yang sangat membahayakan. Sindiran-sindiran halus tokoh-tokoh oposisi kulit putih boleh jadi akan dibalasnya dengan tindakan keras. Ditambah dukungan membabi buta orang-orang hitam terhadapnya, Amerika sangat mungkin terjerumus ke dalam ketegangan ras yang sangat serius sebagaimana terjadi beberapa dekade lalu.
Dan tanda-tanda seperti itu bukan tanpa alasan. Obama telah membuat beberapa rencana yang dapat mengubah Amerika menjadi negara totaliter. Selain menyiagakan beberapa satuan militer untuk menangani beberapa kerusuhan yang mungkin terjadi akibat krisis keuangan dan ekonomi yang kini melanda Amerika, Obama juga telah merencanakan untuk membentuk semacam milisi sipil berkedok “tenaga sosial”. Jumlahnya menyaingi tentara Amerika. Dengan tugas yang disamarkan (namun tidak masuk akal) seperti membantu masyarakat untuk menghemat listrik. Namun karena digaji oleh pemerintah, pasukan sipil ini dapat digunakan untuk melawan para demonstran anti-pemerintah.
Jika ini benar-benar terjadi, maka hipotesis sutradara Aaron Russo dalam film dokumenternya “America: From Freedom to Fascism” adalah nyata.
No comments:
Post a Comment