Sunday, 23 August 2009
ISU TERORISME, OMONG KOSONG TERBESAR
Keterangan gambar: Gedung WTC 7 yang tengah runtuh dengan sendirinya meski tidak terkena apapun dalam tragedi serangan WTC 11 September 2001
Pada tgl 11 September 2001 lalu dunia menyaksikan salah satu peristiwa paling menggemparkan dalam sejarah, yaitu tragedi World Trade Center yang menewaskan ribuan orang. Tidak saja karena skala tragedi yang terjadi, namun juga karena liputan media yang begitu gamblang dan disiarkan secara langsung ke seluruh dunia yang membuat peristiwa ini sangat dramatis.
Dan sejak saat itulah dunia mengalami perubahan yang sangat drastis. Semangat perdamaian yang diharapkan dapat terwujud menyusul berakhirnya perang dingin antara Amerika dan Uni Sovyet, hilang dalam sekejap dan digantikan dengan semangat berperang melawan terorisme yang ditandai dengan aksi penyerbuan Amerika dan sekutu-sekutunya ke Afghanistan dan Irak.
Kini dalam persepeksi politik global tidak ada isu lain yang lebih intens dibicarakan selain perang melawan terorisme yang dipicu oleh Tragedi WTC. Dan Indonesia adalah salah satu negara yang terseret dalam arus pemikiran itu, nyaris tanpa reserve sedikit pun. Ketika India menolak bantuan asing dalam penanganan serangan terosisme Mumbai, Indonesia tidak berdaya menerima "bantuan" atau lebih tepatnya indoktrinasi asing dalam penanganan terorisme di tanah air. Tanpa risih sedikit pun pemerintah menerima perintah Amerika untuk "menangkap" Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, dua kali bahkan. Dan tanpa malu pemerintah menerima instruksi membentuk unit penanganan anti terorisme yang diberi nama Densus 88, merujuk jumlah korban serangan bom bali asal Australia.
Bahkan ketika telah terkuak bahwa isu terorisme adalah kebohongan besar, berdasarkan fakta-fakta yang akan saya sebutkan, pemerintah dengan corong media massa pro-status quo justru semakin bersemangat mencari dan mengejar-ngejar teroris yang tidak lain adalah agen binaan inteligen asing.
KEBOHONGAN TRAGEDI WTC
Tidak ada kebohongan sebesar tragedi WTC. Semua unsur maupun urut-urutan peristiwanya adalah kebohongan besar.
Saya ingin menyampaikan peristiwa ini menurut versi resmi pemerintah Amerika. Sekelompok teroris yang baru lulus kursus menerbangkan pesawat ringan dan bersenjata pisau cutter menerobos sistem keamanan bandara paling canggih di Amerika. Mereka berpencar dalam beberapa pesawat sasaran dan setelah pesawat-pesawat itu terbang, mereka pun membajaknya.
Selama puluhan menit para pembajak beraksi di udara, dengan senjata pisau cutter, tanpa banyak perlawanan dari ratusan penumpang dan petugas keamanan pesawat yang bersenjata api. Kemudian dengan keahlian sangat tinggi para pilot pembajak yang baru lulus kursus itu melakukan manufer yang sangat mustahil dilakukan para pilot profesional sekalipun, untuk menabrakkan pesawatnya ke sasaran: dua pesawat menabrak menara kembar WTC, satu pesawat menabrak gedung Pentagon, dan satu pesawat jatuh sebelum mencapai sasaran.
Selama drama pembajakan yang berlangsung selama puluhan menit itu sistem pertahanan udara Amerika yang sangat canggih itu lumpuh total hingga gedung Pentagon sekalipun dengan mudah dihantam pesawat yang dikemudikan pembajak.
Selanjutnya terjadi keanehan-keanehan yang lebih besar:
1. Gedung WTC yang dirancang tahan terhadap goncangan gempa bumi dahsyat, termasuk tahan terhadap tabrakan dengan dua atau tiga pesawat jet sekaligus, runtuh dalam hitungan menit setelah ditabrak, dengan cara jatuh yang juga aneh: jatuh bebas seperti bola jatuh dari udara. Cara runtuh seperti ini hanya terjadi pada kasus peledakan yang disengaja untuk meruntuhkan suatu gedung tinggi. Lagipula tidak pernah ada kejadian dimana sebuah gedung pencakar langit runtuh karena kebakaran. Banyak kejadian gedung pencakar langit yang terbakar lebih hebat selama belasan jam, namun tetap kokoh berdiri.
2. Gedung pentagon ditabrak oleh pesawat jet komersial pada salah satu sisinya hingga runtuh. Namun keanehan-keanehan tidak kalah besar terjadi di sini, karena tidak ditemukan reruntuhan pesawat sebagaimana kecelakaan pesawat terbang lainnya. Lubang yang terjadi karena tabrakan di gedung pentagon juga tidak cocok dengan ukuran pesawat yang menabraknya, yaitu hanya selebar 5 meter sementara bentang pesawat yang menabrak mencapai puluhan meter. Rekaman CCTV yang merekam detik-detik terjadinya tabrakan juga sama sekali tidak menunjukkan adanya pesawat terbang komersial ukuran besar. (Catatan: Blogger telah melihat rekaman itu. Yang tampak hanya kelebatan benda berwarna putih berukuran kecil. Banyak analis yang memperkirakan benda itu adalah rudal jelajah, dan secara visual sama sekali bukan pesawat jet komersial).
3. Gedung 7 WTC berlantai 47 yang terletak beberapa ratus meter dari menara kembar WTC, dan di antara keduanya terdapat beberapa gedung lain, runtuh dengan sendirinya mesti tidak terkena dampak fisik apapun dari menara kembar WTC.
Selain itu masih terdapat segudang keanehan lain yang tidak bisa tidak menguatkan bukti bahwa serangan WTC tgl 11 September 2001 adalah sebuah "inside job", kejadian yang sengaja dibuat. Sebut saja misalnya hanya ada satu orang yahudi yang menjadi korban di antara 3000 korban. Padahal 50% lebih orang yang bekerja di WTC adalah yahudi dan WTC adalah markas besar orang yahudi di kota paling padat penduduk keturunan yahudi di seluruh dunia di luar Israel. Keanehan lainnya misal ditangkapnya beberapa mahasiswa Israel (kemudian diketahui sebagai agen Mossad setelah secara misterius kembali ke Israel) setelah merekam peristiwa tersebut.
Dan masih banyak bukti-bukti lain yang menunjukkan adanya sebuah "inside job", seperti keterangan banyak saksi yang mengakui mendengar ledakan-ledakan bom sebelum gedung menara kembar WTC runtuh. Bagaimana dengan CNN yang secara ajaib dapat melakukan siaran langsung tragedi WTC? Padahal untuk persiapan normal suatu siaran langsung membutuhkan waktu berjam-jam.
Jika saja pemerintah Amerika mau membentuk komisi independen untuk menyidiki tragedi itu, kemungkinan dapat terbongkar siapa pelaku sebenarnya dari tragedi WTC. Sayangnya pemerintah Amerika menolak hal ini.
TIPUAN AL QAEDA
Hanya beberapa menit setelah terjadinya tragedi WTC, media massa Amerika gencar menuduh organisasi Al Qaida pimpinan Osama bin Laden sebagai pelaku aksi terorisme tersebut. Tuduhan tersebut kemudian diformilkan oleh Presiden George W Bush.
Al Qaida tidak membantah, meski juga tidak mengakui secara terus terang sebagai pelaku serangan terhadap WTC. Padahal kalau memang mereka melakukannya, tentunya dengan motif politik tertentu, mereka akan mengakuinya secara terus terang. Hal ini tentu menimbulkan kebingungan, apakah mereka pelakunya atau bukan. Hal mana akan terjawab dalam analisis selanjutnya.
Al Qaida adalah organisasi bentukan dinas inteligen Amerika yang didirikan untuk melawan kepentingan Uni Sovyet di Afghanistan. Organisasi ini dipimpin oleh Osama bin Laden, agen Amerika yang merupakan anggota keluarga kerajaan Arab Saudi yang terlibat dalam banyak kegiatan bisnis di Amerika. Keluarga bin Laden bahkan menjalin hubungan dekat dengan keluarga Bush yang dua orang di antaranya menjadi presiden Amerika.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa keluarga kerajaan Arab Saudi, sekutu kuat Amerika di Timur Tengah, terlibat dalam pendanaan Al Qaida. Berikut ini adalah bukti-bukti yang menunjukkan kaitan antara Al Qaida, kerajaan Arab Saudi dan pemerintah Amerika sebagaimana ditulis dalam blog berita alternatif 29 Juli lalu:
-------
Jul 29, 2009
Keluarga Kerajaan Saudi terlibat dalam mendanai Al-Qaeda
Pemerintah Barack Obama menggantikan pemerintah Bush dalam upaya menghalangi para anggota keluarga korban peristiwa 9/11 untuk mengungkap keterlibatan elit-elit keluarga Kerajaan Arab Saudi dalam memfasilitasi Al-Qaeda, baik secara finansial maupun strategis. Hal ini terjadi dalam sebuah persidangan yang memeroses kasus yang diajukan para keluarga korban 9/11 melawan keluarga kerajaan Saudi.
Seperti dilaporkan dalam artikel the New York Times edisi 24 Juni 2009, dokumen-dokumen resmi pemerintah AS, baik itu yang dibocorkan kepada para pengacara keluarga korban 9/11 maupun yang diperoleh melalui Freedom of Information Act (FOIA; di Indonesia: UU Kebebasan Informasi Publik) mengungkapkan beberapa hal, antara lain:
Dokumen internal Depkeu AS yang diperoleh para pengacara keluarga korban 9/11 melalui FOIA menyatakan bahwa lembaga amal terkemuka Saudi, International Islamic Relief Organization, yang sangat didukung oleh anggota-anggota keluarga kerajaan Saudi, memberi "dukungan bagi organisasi teroris" setidaknya hingga tahun 2006.
Seorang operator Al-Qaeda di Bosnia mengatakan dalam sebuah wawancara dengan para pengacara itu, bahwa lembaga amal lain yang sebagian besar dikendalikan anggota keluarga kerajaan, yakni Komisi Tinggi Saudi untuk Bantuan ke Bosnia, menyediakan uang dan perlengkapan kepada kelompok-kelompok teroris pada tahun 1990-an dan menyewa operator-operator militan seperti dirinya.
Saksi lain di Afghanistan mengatakan dalam sebuah pernyataan tersumpah pada tahun 1998, bahwa ia menyaksikan seorang utusan untuk seorang pangeran terkemuka Saudi, Turki al-Faisal (Kepala Dinas Intelijen Saudi--Mukhabarat), menyerahkan cek senilai satu miliar Saudi riyal (atau bernilai sekitar 267 juta dollar) kepada seorang pemimpin Taliban.
Sebuah laporan rahasia intelijen Jerman memberikan keterangan mendetail mengenai puluhan juta dolar dalam beberapa dokumen transfer bank, lengkap dengan tanggal dan jumlah dolarnya, yang dilakukan pada awal tahun 1990-an oleh Pangeran Salman bin Abdul Aziz dan anggota lain dari keluarga kerajaan Saudi kepada lembaga-lembaga amal lain yang diduga membiayai kegiatan militan di Pakistan dan Bosnia.
Pengadilan federal AS berikut pengadilan tingkat bandingnya untuk kesekian kalinya telah mementahkan kasus yang diajukan oleh 7.630 orang dari anggota keluarga korban 9/11 ini. Alasannya, para keluarga korban itu tidak dapat mengajukan sebuah kasus di Amerika Serikat melawan sebuah negara yang berdaulat dan para pemimpin.
Mahkamah Agung AS diharapkan dapat memutuskan apakah akan memeroses kasasi atau tidak. Namun, prospek para keluarga korban pun redup setelah Departemen Kehakiman AS berpihak kepada keluarga kerajaan Saudi dengan klaim kekebalan negara (sovereign immunity; baca: the kings can do no wrong) dan mendesak Mahkamah untuk tidak mempertimbangkan kasasi. Departemen Kehakiman juga memerintahkan para pengacara untuk menghancurkan salinan dari dokumen-dokumen tersebut, dan bahkan meminta seorang hakim untuk tidak melihat dokumen-dokumen tersebut.
-------
Tipuan Al Qaida semakin kentara setelah juru bicara organisasi tersebut yang bernama Adam Yahiya Gadahn atau dikenal sebagai "Azzam the American", ternyata adalah seorang yahudi. Bukan orang yahudi jelata kebanyakan, ia adalah cucu dari seorang aktivis gerakan Anti Defamation League (ADL), LSM yahudi paling kuat dan agresif di Amerika. Padahal selama ini Adam paling sering mengutuki yahudi dan Amerika.
Apa yang dilakukan oleh Adam adalah sama dengan yang dilakukan Frank Collins, yahudi yang menyamar sebagai aktifis Neo-Nazi Amerika untuk menimbulkan paraoia neo nazi, sehingga yahudi terus-menerus mendapat simpati dan keistimewaan. Berikut adalah berita tentang Adam dari situs CNN.
=============
In a new anti-Israel, anti-U.S. video, an American al Qaeda member makes reference to his Jewish ancestry for the first time in an official al-Qaeda message.
In the video, Adam Yahiye Gadahn, also known as Azzam the American, discusses his roots as he castigates U.S. policies and deplores Israel's offensive in Gaza that started in late December 2008 and continued into January. [This is an obvious device aimed at associating sympathy for the besieged Palestinians with the evil ‘Al-Qaeda,’ perpetrators of the heinous 9/11 attacks, in the bemused mind of the average American -- 800]
"Let me here tell you something about myself and my biography, in which there is a benefit and a lesson," Gadahn says, as he elicits support from his fellow Muslims for "our weapons, funds and Jihad against the Jews and their allies everywhere."
"Your speaker has Jews in his ancestry, the last of whom was his grandfather," he says.
Growing up in rural California, Gadahn embraced Islam in the mid-1990s, moved to Pakistan and has appeared in al Qaeda videos before.
He was indicted in the United States in 2006 on charges of treason and material support to al-Qaeda, according to the FBI. Gadahn is on the FBI's Most Wanted List, with a reward of up to $1 million leading to his capture. FBI records show Gadahn's date of birth as September 1, 1978.
The video -- in which Gadahn speaks Arabic, with English subtitles -- surfaced on Saturday. This account is based on an English transcript provided by As-Sahab Media, the media production company used by al Qaeda.
Gadahn's Jewish ancestry has been reported in the news media. But terrorism analyst Laura Mansfield says it is the first time Gadahn acknowledged his Jewish ancestry in an official al Qaeda message.
Gadahn says his grandfather was a "Zionist" and "a zealous supporter of the usurper entity, and a prominent member of a number of Zionist hate organizations."
"He used to repeat to me what he claimed are the virtues of this entity and encouraged me to visit it, specifically the city of Tel Aviv, where relatives of ours live," says Gadahn, referring to Israel.
He says his grandfather gave him a book by Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu called "A Place Among the Nations" -- in which the "rabid Zionist" sets out "feeble arguments and unmasked lies to justify the Jews' rape of Muslim Palestine."
But Gadahn says that despite his youth at the time, he didn't heed his grandfather's words.
"How can a person with an ounce of self-respect possibly stand in the ranks of criminals and killers who have no morals, no mercy, no humanity and indeed, no honor?" he says in reference to Zionists and Israel.
"Isn't it shameful enough for a person to carry the citizenship of America, the symbol of oppression and tyranny and advocate of terror in the world?"
Mansfield thinks the video may have been made between late April and mid-May, before President Obama's speech in Cairo, Egypt, addressing U.S. relations with Muslims.
Gadahn notes Obama’s inauguration, Netanyahu's election in February, and Obama's speech in Turkey in April.
Specifically mentioning the Gaza offensive and citing other hot spots such as Iraq, Afghanistan, Chechnya and Somalia, where the "Zio-Crusader alliance" is fighting his "brothers," he says "this open-faced aggression" comes as Obama has risen to power. [By stressing the notion of a ‘Zio-Crusader alliance,’ Gadahn -- in actuality a Mossad operative -- is simply trying to make Al-Qaeda appear as a common enemy to both Christians and Jews, thus cementing the unholy alliance between badly misled ‘Christian Zionists’ and Israel -- 800]
He scorns Obama's statements in his inaugural address and in Turkey that America isn't and won't be at war with Islam, and "other deceptive, false and sugarcoated words of endearment and respect." He says Obama's language is similar to words Netanyahu uttered in the Knesset in 1996.
Gadahn also backs the idea of targeting "Zio-Crusader" interests anywhere in the world, not just "within Palestine."
==============
Dan berikut adalah strategi Amerika memanfaatkan Al Qaida dan kelompok-kelompok ekstremis Islam untuk kepentingan geopolitik Amerika.
Paul Joseph Watson
Prison Planet.com
Thursday, July 2, 2009
Recent revelations concerning the U.S. importing Taliban members into Iraq to foster false flag terrorism is merely the tip of the iceberg when compared to the U.S. intelligence complex’s multi-decade history in sponsoring Sunni Al-Qaeda affiliated terrorist groups around the world.
Wayne Madsen recently revealed how Taliban fighters were being imported from Afghanistan into Iraq to attack civilians and U.S. soldiers, as well as how Muqtada al-Sadr’s al-Mahdi Army was being allowed to import materials to make IEDs.
However, this is just one aspect of how the U.S. has used terrorist groups as pawns on the global chessboard, moving them around the globe in line with their geopolitical objectives.
As is voluminously documented, the U.S. first worked covertly with Osama Bin Laden and Al-Qaeda to fight the Soviets in Afghanistan from 1979-1989.
Following this, the Al-Qaeda pawns were moved on to Bosnia shortly after the outbreak of war in 1992 to fight against Bosnian Serbs who were subsequently the target of NATO air strikes.
Following the end of the war, “hundreds of Bosnian passports were provided to the mujahedeen by the Muslim-controlled government in Sarajevo,” according to Lenard Cohen, professor of political science at Simon Fraser University. This all happened with the approval of the United Nations and the United States, who had brokered the peace deal to end the war.
“They also set up secret terrorist training camps in Bosnia — activities financed by the sale of opium produced in Afghanistan and secretly shipped through Turkey and Kosovo into central Europe,” reports the National Post.
Shortly before the NATO bombing of Yugoslavia in 1999, the Sunni terrorist groups moved into Kosovo, Serbia’s southern province, to aid the Kosovo Liberation Army, the Albanian terrorist faction that was being supported by the U.S. and NATO in its terror campaign against Serbs in the region.
“The United States, which had originally trained the Afghan Arabs during the war in Afghanistan, supported them in Bosnia and then in Kosovo,” reports the Post.
With the help of Bin Laden’s terror network, backed up by the U.S. and NATO, no less than 90% of Serbians were “ethnically cleansed” and forced to leave the region, while the international media played its role dutifully in portraying the Albanians as the “victims” of Serbian aggression.
As Professor Michel Chossudovsky writes, “The fact of the matter is that the Atlantic Alliance had been supporting a terrorist organization. The KLA was not supporting the rights of ethnic Albanians. Quite the opposite. The activities of this terrorist organization on the ground, in Kosovo, provided NATO and the US with the pretext to intervene on humanitarian grounds, claiming that the Serb authorities had committed human rights violations against ethnic Albanians, when in fact the NATO sponsored KLA was involved in terrorist acts on behalf of NATO, which triggered a response from the Serb police and military.”
Barely weeks before 9/11, former members of Al-Qaeda who had subsequently joined the Kosovo Liberation Army were airlifted out of Macedonia by U.S. paratroopers.
As German sources reported, “Samedin Xhezairi, also known as Commander Hoxha, joined the Kosovo Liberation Army when armed conflict in Kosovo began, fighting in three operation zones. He was a fighter in Chechnya, trained in Afghanistan and acted as the commander of the Mujahideen 112th Brigade operating in the summer of 2001 in the region of Tetovo [Macedonia]. In August of the same year 80 members of the 3/502 battalion of U.S. paratroopers evacuated him from Aracinovo [Macedonia], together with his Albanian extremists and 17 instructors of the U.S. private military company MPRI which was training the Albanian paramilitary formations.”
“In other words, the US military was collaborating with Al Qaeda, which according to the Bush administration was involved in the attacks on the WTC and the Pentagon. Yet, the US military was working hand in glove with “enemy number one” barely a few weeks before 9/11, and we are led to believe that the Bush administration is committed to waging a battle against Al Qaeda,” wrote Chossudovsky.
Following the invasion of Afghanistan, MSNBC reported that in November 2001, hundreds of Taliban and Al-Qaeda fighters were rescued from Kunduz and flown out on Pakistani air force cargo planes. This could not have possibly happened without the approval of U.S. forces who had secured the region.
With the U.S. now attacking targets in Pakistan under the pretext of going after the Taliban, the lineage of how this situation developed, with the U.S. moving their pawns around the globe at the most opportune times, can be clearly traced.
All the more revealing therefore were the comments of Qari Zainuddin, a former Taliban leader who defected to the Pakistani government, alleging that the Taliban were senselessly attacking civilian targets and that they were working with U.S. and Israeli intelligence. A few days after he dropped this bombshell, Zainuddin was shot dead.
Meanwhile, in Iran, A senior member of the Jundullah terrorist group confessed in an Iranian court case to being trained and financed by the U.S. and Israel.
Jundullah is a Sunni Al-Qaeda offshoot organization that was formerly headed by alleged 9/11 mastermind Khalid Sheikh Mohammed.
Under the 2007 program aimed at destabilizing Iran and fomenting regime change, the U.S. government is arming and bankrolling Jundullah to carry out terrorist attacks in Iran, such as the May bombing of a mosque in Sistan-Baluchestan which killed 25 people.
In addition, the fingerprints of another U.S. sponsored terror group, Mujahedin Khalq Organization (MKO), which was formerly allied with Saddam Hussein in Iraq, have been found in the recent election unrest in Iran. In addition to supporting terror groups from Iraq, the Anglo-American establishment has also staged terror attacks, such as the February 2006 Samarra mosque bombing.
And if there aren’t enough terrorists in supply, why not just dress up and pretend to be them? That’s what two British SAS members did when they were caught dressed in Arab garb with fake beards, driving a car full of explosives while shooting at Iraqi police officers in Basra in September 2005.
After the SAS men were caught in the act and taken to jail, U.S. and British forces launched a rescue operation, blowing up half the prison and allowing 150 inmates to escape.
All over the Middle East and the Balkans, from Afghanistan, to Bosnia, to Serbia, to Pakistan, to Iraq and to Iran, the United States, through black budget programs, has funded and armed Sunni Al-Qaeda terrorist groups to destabilize and topple regimes targeted by the Anglo-American establishment.
This documented fact debunks the “war on terror” as a cruel hoax and exposes how current events in Afghanistan, Pakistan and Iran are being carefully orchestrated while the media sells the public on the belief that manufactured sock-puppet enemies, and not geopolitical domination and control of resources and the global drug trade, are why these wars are being fought, when in reality groups like Al-Qaeda and the Taliban are firmly in the pocket of the U.S. military-industrial complex.
==========
Dan lihatlah Indonesia yang mengikuti permainan perang melawan terorisme ala Amerika. Setelah terjadinya pemboman JW Marriot II, isu terorisme menjadi menu sehari-hari masyarakat. Pada hari yang sama dengan peristiwa itu, media massa sudah mendapatkan bocoran rekaman CCTV peristiwa pemboman yang sebenarnya merupakan barang bukti milik penyidik, untuk disiarkan berulang-ulang.
Lihat pula betapa dramatismenya drama penyerbuan aparat keamanan di markas teroris di Temanggung dan Bekasi yang menewaskan semua teroris. Padahal semestinya polisi cukup menangkap hidup-hidup para pelaku untuk mendapatkan keterangan yang sangat berharga mengenai jaringan terorisme di Indonesia, kalau memang benar-benar ada dan bukan jaringan inteligen asing dan komprador lokalnya yang memanfaatkan orang-orang Islam "bodoh" untuk melakukan teror.
Dan lihatlah bagaimana aparat keamanan sengaja mengulur aksi penyerbuan itu sehingga semua media massa dapat meliput peristiwa tersebut. Merecoki masyarakat dengan paranoia terorisme dan melupakan hal-hal lainnya yang lebih penting seperti masalah sosial ekonomi rakyat yang masih belum terpecahkan seperti kecurangan pemilu, kemiskinan, pengangguran, jeratan neo liberalisme, disintegrasi Papua dan Aceh, kriminalisme, narkoba dlsb.
Dan atas dasar kebohongan itu semua pemerintah SBY telah merancang sebuah pemerintahan fasisme ala Orde Baru dengan langkah awal mengawasi para ustadz penceramah agama.
No comments:
Post a Comment