Monday, 11 October 2010
PEMBERONTAKAN NIKA
Dari segelintir kerajaan besar di dunia dalam sejarah yang bebas dari infiltrasi orang-orang yahudi dan karenanya mampu bertahan hingga 1.000 tahun lebih, adalah kerajaan Byzantium. Demi menghindarkan negara dari infiltrasi destruktif orang-orang yahudi, kerajaan Byzantium melakukan pembatasan ketat terhadap orang-orang yahudi dengan melarang mereka aktif di bidang ekonomi, militer dan politik serta pendidikan. Demikian ungkap sastrawan besar sekaligus sejarahwan dan politisi, Ezra Pound, dalam sebuah essainya. (Bagi yang belum mengenal Ezra Pound, beliau adalah pelopor aliran modernisme dalam dunia seni dan sastra. Melalui tangannya lah lahir beberapa sastrawan besar peraih Nobel seperti TS Elliot, WB Yeats, Ernest Hemingway, dll. Muridnya yang lain, Eustace Mullins, terkenal sebagai pembongkar konspirasi jahat di balik pembentukan bank sentral Amerika).
Namun ada satu periode dimana orang-orang culas haus kekuasaan (tipikal orang-orang yahudi) yang tidak pernah peduli dengan kepentingan orang lain, nyaris menghancurkan Byzantium dalam satu peristiwa yang disebut Pemberontakan Nica di abad 6 Masehi.
Peristiwanya diawali dengan kondisi yang sama saat kerajaan Romawi mengalami krisis kekuasaan yang berujung pada keruntuhannya. Kepemimpinan negara (kaisar) yang lemah, birokrasi yang korup, dan sekelompok orang asing (yahudi) yang menguasai sumber-sumber ekonomi dan menggunakan kekuasaan itu untuk menghisap kekayaan rakyat sebagaimana lintah sehingga muncullah kesenjangan sosial-ekonomi yang tinggi. Pada saat yang sama, orang-orang yahudi tersebut menebarkan kerusakan moral yang menghancurkan ikatan-ikatan sosial hingga tingkat terendah, yaitu keluarga.
Orang-orang kaya, bangsawan, pejabat negara dan pengusaha, terjerembab dalam kehidupan hedonisme yang bahkan masih belum terpuaskan dengan pesta-pesta mewah dan pesta seks massal. Sementara rakyat kebanyakan, sebagian demi menjaga mereka tetap jinak, sengaja dihibur dengan pertunjukan gladiator yang dari waktu ke waktu semakin liar dan keji. Padahal oleh pendiri Byzantium, kaisar Konstantin, pertunjukan warisan Romawi tersebut telah dihapuskan.
Tidaklah berlebihan jika karena peran yang menonjol orang-orang yahudi sebagai perusak tatanan sosial itu membuat mereka sebelum itu telah diusir dari Chartago (Libya sekarang) dan Alexandria (Mesir sekarang). Orang-orang Romawi dan Yunani juga masih ingat betul dengan apa yang telah dilakukan orang-orang yahudi dalam peristiwa Pemberontakan Maccabee pada abad pertama sebelum masehi. Setelah berhasil merebut beberapa kota di kawasan Laut Tengah dan Palestina, orang-orang yahudi membantai secara keji orang-orang Romawi dan Yunani di luar batas kemanusiaan kala itu. Bagi orang-orang Yunani dan Romawi yang mati digantung di tengah lapangan atau di pinggir-pinggir jalan, mereka masih lebih beruntung dibanding saudara-saudaranya yang disalib dan disula (ditusuk duburnya dengan tombak hingga ke tenggorokan) hidup-hidup, atau dimutilasi badannya untuk kemudian direbus, ususnya digunakan untuk ikat pinggang dan kulitnya untuk pembalut badan.
(Peristiwa pemberontakan Maccabee ini kemudian diperingati umat yahudi sebagai Hari Raya Chanukkah, dimana pada hari itu mereka mendirikan menorah (tempat lilin yang menjadi simbol Israel) di mana-mana dan menyalakannya bersama-sama. Beberapa waktu lalu beberapa pengurus daerah Muhamaddiyah mengadakan kunjungan ke Israel dan mendapatkan kehormatan menghadiri Hari Raya Chanukkah dan turut menyalakan menorah).
Pemberontakan Nika (disebut demikian karena para pemberontak terus menerus memekikkan teriakan "Nika!", pekikan kemenangan yang biasanya diteriakkan penonton saat menonton pertunjukan gladiator), selain faktor-faktor tersebut di atas, juga terjadi karena beberapa faktor fundamental lainnya: perpecahan politik yang tajam antara golongan hijau dan biru (merujuk pada warna pintu gerbang di hyppodrome yang menjadi markas dua tim pertujukan gladiator). Faktor lainnya adalah perbedaan keyakinan (keimanan) kaisar Justinianus dan permaisuri Theodora yang condong ke Kristen monotheis dengan masyarakat kebanyakan yang mayoritas condong ke trinitas. Selain itu masih ada satu faktor lainnya yang tidak kalah penting, yaitu kebencian rakyat terhadap permaisuri yang berasal dari kasta paling rendah dan hina, yaitu golongan pelacur.
Peristiwanya diawali pada saat diadakan pesta pertunjukan gladiator yang diadakan selama 12 hari berturut-turut. Pada hari kedelapan, golongan hijau yang selama kepemimpinan Justinianus menjadi golongan oposisi karena Justinianus sendiri adalah pendukung golongan biru, mengadukan nasib mereka yang ditindas oleh golongan biru. Namun karena komunikasi yang “luput” antara jurubicara golongan biru dengan jurubicara kaisar, kebencian golongan hijau terhadap kaisar dan regim penguasanya bertambah besar. Tidak hanya itu, karena menyinggung keimanan masyarakat mayoritas, golongan biru pun menjadi marah kepada kaisar. Pada hari itu juga rakyat memberontak.
Kaisar Justinianus adalah mantan jendral perang yang pemberani, meski untuk disebut sebagai raja besar sebagaiman tertulis di buku-buku sejarah, terasa sangat berlebihan. Ia beruntung karena pada masa pemerintahannya dibantu oleh Jendral Bellisarius yang berhasil mengalahkan Kerajaan Parsi dan memperluas wilayah Byzantium. Ia juga dibantu oleh Tribonianus, ahli hukum yang berhasil merancang sistem hukum yang konprehensif dan efisien yang kemudian diberinama Codex Justinianus, seuai nama sang Kaisar. Sedangkan kemegahan Kathedral Sancta Sophia (kini menjadi masjid Aya Sophia) yang menjadikan nama Justinianus harum, dibuat oleh arsitek kerajaan, Anthemius.
Kala harus menghadapi rakyatnya sendiri yang memberontak, Justinianus merasa gamang dan tidak bisa mengambil keputusan yang tepat hingga kemudian kepemimpinan diambil alih oleh permaisuri Theodora.
Theodora, salah satu wanita paling cerdas dalam sejarah manusia. Merangkak dari posisi sosial paling rendah dan hina sebagai anak pelacur kelas rendahan, hingga mampu memikat hati seorang kaisar dan diangkat menjadi permaisuri. Tidak hanya itu, karena kecerdasannya, Justinianus bahkan rela membagi kekuasaan dengan Theodora hingga ia tidak hanya menjadi seorang permaisuri, tapi juga seorang Maharani.
Demikian juga saat terjadi pemberontakan Nika, Justinianus yang gamang, mengambil keputusan untuk melakukan eksodus. Namun Theodora melihat hal itu sebagai tindakan bunuh diri. Sekali ia dan suaminya melarikan diri dari istana, mereka akan hidup sebagai pelarian dengan peluang untuk kembali menjadi penguasa sangatlah kecil karena rakyat sudah mengangkat kaisar baru.
Maka, tanpa sepengetahuan Justinianus, Theodora memerintahkan dua jendral kepercayaannya, Bellisarius dan Mundus, melakukan aksi militer paling nekad dan spektakuler, yaitu menyerang pemberontak yang kekuatannya jauh lebih besar meski memiliki kedisiplinan rendah. Dengan hanya 1.500 pasukan, Bellisarius dan Mundus menyerang 90.000-an pemberontak yang terkonsentrasi di hyppodrome mengadakan upacara pengangkatan seorang kaisar baru.
Setelah bertempur selama hampir satu jam, pasukan yang dikirim Theodora memang berhasil membunuh ribuan pemberontak, sebagian besar dengan panah beranak mata khusus. Tapi karena jumlahnya yang tidak seimbang, pada akhirnya pasukan Maharani tidak lagi memiliki kekuatan untuk bertahan dan menunggu saat terakhir mereka semua dibantai rakyat pemberontak yang marah. Namun pada saat itu terjadi keberuntungan yang ajaib. Ternyata Theodora yang jeli melihat kondisi, telah cukup lama melakukan gerakan inteligen untuk memecah belah golongan hijau dan biru. Dan pada saat pasukan kerajaan nyaris habis, para agitator yang dibayar Theodora melakukan tugasnya menanamkan kecurigaan masing-masing golongan terhadap golongan lawannya. Akhirnya, pada saat mereka nyaris berhasil menjalankan aksi pemberontakannya, mereka saling bunuh-bunuhan sendiri. Pada hari itu, 90-ribuan pemberontak tumpas di dalam hyppodrome.
Setelah peristiwa itu, Justinianus semakin menjauh dari urusan pemerintahan untuk diambil alih oleh Theodora, meski secara resmi Justinianus masih menjabat sebagai kaisar. Justinianus meninggal pada tahun 585 masehi dalam kondisi lanjut usia, sedang Theodora meninggal terlebih dahulu pada tahun 548 dalam usia 45 tahun. Saat meninggal Justinianus dan Theodora adalah pemeluk Kristen Monotheis.
No comments:
Post a Comment