Wednesday, 1 December 2010

Kekalahan Menyakitkan Amerika di Irak


"Para pemimpin politik Irak tidak lagi mempedulikan Amerika sebagaimana dahulu. Amerika memiliki agenda sendiri untuk membentuk pemerintahan mendatang. Namun itu tidak berpengaruh banyak bagi kekuatan-kekuatan politik akar rumput, dan tidak efektif. Melemahnya pengaruh Amerika itu memberi kesempatan kekuatan-kekuatan politik di sekitar Irak untuk menanamkan pengaruhnya di Irak," kata Sami al-Askari, seorang anggota legislatif Irak kepada Associated Press baru-baru ini.

Pernyataan itu adalah sebagian kecil dari tanda-tanda dari fenomena ambruknya pengaruh politik Amerika atas Irak, negeri yang sejak tahun 2003 secara fisik didudukinya. Dan yang membuat segalanya menjadi buruk bagi Amerika adalah bertambah kuatnya pengaruh politik "musuh-musuh" Amerika di Irak dan sekitarnya, yaitu Iran serta al-Sadr Movement.

Salah satu hal penting yang tercatat setelah pemilihan umum Irak tgl 7 Maret lalu adalah munculnya kekuatan politik al-Sadr Movement secara resmi di panggung politik Irak dengan partai Free Movement yang diusungnya yang berhasil meraup 39 kursi dari total 325 kursi di parlemen (12%). Raihan kursi tersebut mampu menarik minat Nouri Nur Maliki untuk menggandengnya dalam pemerintahan dan menjadikan gerakan ini semakin kuat pengaruh politiknya di Irak dengan berbagai jabatan publik yang bakal mereka terima.

Muqtada al-Sadr, pemimpin gerakan al-Sadr yang masih berusia relatif muda, adalah seorang pemimpin Shiah paling kharismatik. Ia adalah simbol perlawanan rakyat Irak terhadap pendudukan Amerika yang paling menonjol. Ia adalah putra dari Mohammad Baqir al Sadr, salah seorang ulama Shiah terbesar di Irak. Bersama dengan partai Islamic Supreme Council of Iraq (ISCI) pimpinan Maliki (89 kursi), mereka menjadi tulang punggung Aliansi Nasional Irak yang bakal memerintah Irak dengan Maliki sebagai perdana menterinya. Amerika patut khawatir dengan perkembangan ini karena gerakan al-Sadr bisa menguat menjadi Hizbollah-nya Irak. Apalagi Amerika tahu, di belakang al-Sadr sebagaimana juga kelompok-kelompok Shiah lainnya seperti Maliki, adalah Iran sang musuh bebuyutan. Iran jugalah yang telah berhasil membuat al-Sadr bisa bersekutu dengan Maliki.

Meski berteriak-teriak tidak akan campur tangan dalam pemilu Irak, Amerika berupaya keras menjauhkan al-Sadr dari kekuasaan dan membentuk koalisi pemerintahan yang pro-Amerika dengan menyertakan "boneka" kesayangan Amerika, mantan PM Iyad Allawi yang partainya menjadi pemenang pemilu dengan 91 kursi namun tidak mendapat dukungan partai-partai lain untuk membentuk pemerintahan. Setelah upayanya itu gagal, karena Maliki lebih memilih Sadr demi meraih dukungan publik, Amerika menekan Presiden Jalal Talabani dari partai Kurdi untuk mundur dan digantikan Allawi. Namun partai-partai Kurdi menolak permintaan itu.

Allawi masih berupaya meraih kekuasaan yang tersisa dengan meminta jatah pimpinan legislatif kepada Maliki untuk bergabung dengan pemerintahan. Meski Maliki setuju, anggota-anggota legislatif menolaknya hingga akhirnya Allawi membatalkan persetujuan dan "mengancam" aksi-aksi kerusuhan bakal kembali terjadi di Irak.

Konstelasi politik yang kini terjadi di Irak disebut oleh koran Los Angeles Times sebagai “kemenangan gemilang Maliki dan kekalahan strategis Amerika".


PERLAWANAN PANJANG AL-SADR

Muqatada Al-Sadr dengan Tentara Mahdi-nya melancarkan dua pemberontakan besar terhadap pendudukan Amerika dan pemerintahan bonekanya pada bulan April dan Agustus 2004 serta antara tahun 2007-2008, hingga oleh media-media massa Amerika ia dijuluki “the most dangerous man in Iraq”. Tidak heran jika oleh sebagian besar rakyat Irak, terutama warga Shiah yang merupakan sekte mayoritas, ia dianggap sebagai pahlawan, sebagai orang yang berani melawan penjajah kafir tidak hanya dengan kata-kata tapi juga dengan perbuatan. Kesepakatan antara Maliki dan al-Sadr juga membuktikan satu hal, yaitu upaya-upaya keras Amerika untuk menghancurkan gerakan al-Sadr, termasuk kampanye militer besar-besaran yang dilakukannya khusus untuk memburu al-Sadr pada tahun 2007-2008, berakhir sia-sia.

Pada tahun 2008, dengan dukungan dan tekanan Amerika, Nur Maliki yang menjadi PM Irak melancarkan kampanye militer besar-besaran atas milisi Tentara Mahdi di Baghdad dan Basra. Atas saran Iran, Sadr memerintahkan pasukannya untuk menghentikan perlawanan, namun tidak menghentikan kecaman-kecamannya terhadap Amerika. Kemudian ia pun berangkat ke kota suci Qom di Iran untuk memperdalam ilmu agamanya sekaligus meningkatkan kekuatan spiritualnya. Di Iran pula ia memperkuat jaringan pendukungnya baik di kalangan agamawan maupun politisi.

Kembalinya kekuatan politik Sadr saat ini merupakan hasil perjuangan panjang dan matang ia dan para pendukung utamanya. Menjelang pemilu lalu, ia membangun tim pemenangan yang solid. Didukung oleh kharismanya yang tinggi sebagai penentang penjajahan Amerika dan pembela kaum Shiah, perjuangan itu tidak sia-sia. Partai yang dibentuknya, Free Movement (Gerakan Kebebasan) menjadi satu-satunya partai baru yang mendapatkan kursi.


KEKHAWATIRAN AMERIKA


Kemunculan al-Sadr di panggung politik Irak sudah barang tentu mengkhawatirkan Amerika bahwa gerakan itu akan meniru kesuksesan Hizbollah. Di Lebanon saja di mana komunitas Shiah tidak begitu dominan secara kuantitas, Hizbollah bisa muncul sebagai kekuatan politik dan militer yang sangat dominan, apalagi di Irak di mana mayoritas penduduknya bermazhab Shiah. Apalagi Sadr kini juga meniru jargon-jargon yang digunakan Hizbollah, menyebut diri sebagai kelompok perlawanan (resistance) dan menyebut keberadaan pasukan asing sebagai penjajahan atau pendudukan (occupation).

Patrick Cockburn dalam bukunya berjudul “Muqtada”, menyebut al-Sadr sebagai "satu-satunya gerakan akar rumput di Irak". Menurut Patrick saat Amerika gencar mendeskreditkan Muqtada, ia justru sukses membangun kekuatan dengan landasan keyakinan keagamaan Shiah. "Muqtada dan pengikutnya memandang diri mereka sebagai pengikut tradisi kemartiran melawan tirani kekuasaan sebagaimana Imam Hussein dan Abbas terbunuh oleh pasukan Umayah di gurun Karbala 14 abad yang lalu," tulis Cockburn.

Menurut Los Angeles Times, tidak bisa dipungkiri bahwa "deal" politik antara Maliki dan al-Sadr akan memberikan pengaruh politik yang besar bagi al-Sadr, terutama di bidang keamanan dan militer serta pemerintahan. Dalam beberapa bulan terakhir Maliki telah membebaskan ratusan pendukung Muqtada al-Sadr yang ditahan dan menyerahkan beberapa komando militer kepada para veteran pendukung Muqtada yang telah memerangi Amerika. Seorang pendukung Muqtada telah diangkat sebagai pejabat tinggi kementrian keamanan. Al-Sadr juga mendapatkan jatah posisi wakil ketua parlemen dan kemungkinan juga posisi wakil perdana menteri.



RUNTUHNYA PENGARUH AMERIKA

Los Angeles Times menambahkan bahwa meningkatnya kekuatan al-Sadr membuat Amerika mengalami kesulitan untuk menanamkan pengaruhnya di Irak. Washington yang khawatir dengan kondisi itu telah meminta Maliki untuk meninggalkan Sadr dan menyingkirkannya dari kekuasaan.

Awalnya Amerika menginginkan pembentukan pemerintahan Irak secepatnya paska pemilu. Namun setelah tampak bahwa al-Sadr bakal menduduki kekuasaan, Amerika berusaha menghambat terbentuknya pemerintahan. Dubes Amerika untuk Irak, James Jeffries berulangkali mengatakan bahwa masuknya al-Sadr dalam pemerintahan tidak bisa diterima Amerika. Surat kabar Arab yang berbasis di Inggris, "Asharq al-Awsat", melaporkan bahwa pemerintah Amerika telah meminta Maliki untuk meninggalkan al-Sadr serta menunjukkan keengganannya untuk berurusan dengan pemerintahan Irak di mana al-Sadr duduk di dalamnya dan menempati jabatan-jabatan penting.

Meski demikian Jawad al-Hassanawi, seorang politisi dari al-Sadr mengatakan bahwa Maliki telah menyatakan komitmennya untuk tetap bergabung dengan al-Sadr. Beberapa politisi Irak bahkan secara terang-terangan mengatakan tidak lagi mau peduli dengan keinginan Amerika. Sebaliknya Irak kini justru berpaling kepada negara-negara tetangganya untuk mendapatkan dukungan, khususnya Iran. Para politisi Irak dari blok-blok yang tengah bersaing menjelang dan setelah pemilu rajin berkunjung ke Iran, Turki, Mesir, Syria, Jordania dan Arab Saudi untuk mencari dukungan.

Dalam kepanikannya, Washington menggertak Irak dengan menyatakan kemungkinan penundaan penarikan pasukan Amerika. Dalam sebuah pernyataan diplomatis baru-baru ini Menhan Amerika Robert Gates mengatakan pihaknya akan menyambut baik jika pemerintah Irak meminta penundaan penarikan pasukan Amerika dari jadwal semula bulan Desember 2011. Namun demikian dengan keberadaan al-Sadr dalam pemerintahan, kemungkinannya sangat kecil pasukan Amerika bisa lebih berlama-lama berada di Irak mengingat oposisi al-Sadr yang demikian kuat. Bahkan dengan telah ditetapkannya jadwal penarikan pasukan Amerika, Muqtada al-Sadr tetap menentang keras kahadiran pasukan Amerika itu yang dianggapnya sebagai "pendudukan".

“Kami tidak akan pernah mau bertemu dengan pejabat Amerika manapun, bahkan setelah kami menduduki kekuasaan. Kami konsisten dengan penolakan kami atas kehadiran pasukan asing di Irak dan akan menentang setiap upaya untuk memperpanjang keberadaan mereka," kata Khadem al Sayadi, anggota parlemen pendukung al-Sadr, kepada koran Uni Emirat Arab “The National” baru-baru ini.

No comments:

Post a Comment