Friday, 18 March 2011

DALAM KAMP KEMATIAN EISENHOWER (1)


Di kamp tahanan Andernach terdapat sekitar 50.000 tahanan dari berbagai umur. Mereka ditempatkan di tempat terbuka dikelilingi kawat berduri. Para wanita ditempatkan terpisah namun tidak pernah saya lihat lagi kemudian. Para tahanan laki-laki yang saya jaga tidak mempunyai atap maupun alas tidur. Mereka tidur di atas lumpur, basah dan kedinginan, dengan jumlah wc yang tidak memenuhi kebutuhan. Mereka menjalani itu semua bertahun-tahun, dari musim panas, gugur hingga musim dingin. Dan pada saat musim dingin, penderitaan karena kedinginan sangat luar biasa.

Yang lebih mengejutkan adalah para tahanan memasukkan rumput dan daun-daunan ke dalam kaleng berisi seseduh sop. Mereka mengatakan melakukannya untuk mengurangi rasa lapar mereka. Maka dengan cepat mereka menjadi lemah dan mengalami berbagai penyakit. Disenteri merajalela, dan banyak dari mereka harus tidur di atas kotorannya sendiri karena terlalu lemah untuk berjalan ke wc. Banyak dari mereka yang berteriak-teriak minta makanan, jatuh sakit, dan mati di depan mata kami. Kami mempunyak banyak makanan, namun tidak melakukan apapun untuk menolong mereka, termasuk memberikan pertolongan medis.


==============

Pada bulan Oktober 1944, dalam usia 18 tahun, saya bergabung dengan angkatan darat Amerika. Karena berkecamuknya Pertempuran Bulge, masa latihan saya dipersingkat dan segera dikirim ke Eropa. Setelah sampai di Le Havre, Perancis, saya langsung dimasukkan ke dalam kendaraan pengangkut dan dikirim ke medan peperangan. Saat saya sampai di sana, saya menderita gejala penyakit mononucleosis yang parah sehingga dikirim ke rumah sakit di Belgia. Dan karena penyakit ini sering disebut sebagai “penyakit ciuman”, saya mengirim surat kepada pacar saya dan mengucapkan terima kasih kepadanya.

Pada saat saya meninggalkan rumah sakit, kesatuan saya, Resimen 14 Infrantri, sedang terlibat perang hebat di jantung peperangan di Jerman, maka saya hanya ditempatkan di satuan penjaga depot cadangan meski saya memprotesnya dengan keras. Saya kurang respek dengan satuan baru tempat saya bergabung karena bagi seorang prajurit, kebanggaan sebenarnya adalah jika bisa bergabung dengan satuan tempur.

Kemudian pada bulan Maret atau awal April 1945 saya dikirim untuk mengawal tawanan perang Jerman di sebuah kamp tawanan perang dekat Andernach yang berada di tepi sungai Rhine. Saya pernah belajar di sekolah Jerman selama 4 tahun dan bisa berbahasa Jerman, meski berbicara dengan tawanan adalah tindakan melawan hukum. Namun kemudian saya dipercaya untuk menjadi penerjemah bahasa Jerman dan ditugaskan untuk mencari anggota satuan khusus yang tidak pernah saya temukan di sana.

Di kamp tahanan Andernach terdapat sekitar 50.000 tahanan dari berbagai umur. Mereka ditempatkan di tempat terbuka dikelilingi kawat berduri. Para wanita ditempatkan terpisah namun tidak pernah saya lihat lagi kemudian. Para tahanan laki-laki yang saya jaga tidak mempunyai atap maupun alas tidur. Mereka tidur di atas lumpur, basah dan kedinginan, dengan jumlah wc yang tidak memenuhi kebutuhan. Mereka menjalani itu semua bertahun-tahun, dari musim panas, gugur hingga musim dingin. Dan pada saat musim dingin, penderitaan karena kedinginan sangat luar biasa.

Yang lebih mengejutkan adalah para tahanan memasukkan rumput dan daun-daunan ke dalam kaleng berisi seseduh sop. Mereka mengatakan melakukannya untuk mengurangi rasa lapar mereka. Maka dengan cepat mereka menjadi lemah dan mengalami berbagai penyakit. Disenteri merajalela, dan banyak dari mereka harus tidur di atas kotorannya sendiri karena terlalu lemah untuk berjalan ke wc. Banyak dari mereka yang berteriak-teriak minta makanan, jatuh sakit, dan mati di depan mata kami. Kami mempunyak banyak makanan, namun tidak melakukan apapun untuk menolong mereka, termasuk memberikan pertolongan medis.

Dengan marah, saya memprotes kemandan saya untuk memberi perlakuan yang lebih manusiawi, namun justru mendapatkan kemarahan darinya. Setelah saya desak, ia mengaku mendapat perintah dari komando tertinggi dengan perintah yang sangat tegas. Tidak ada seorang pun perwira yang berani menentang perintah itu. Menyadari protes saya tidak berguna, saya meminta teman yang bekerja di dapur untuk menyelipkan sejumlah makanan kepada saya untuk dibagikan kepada para tawanan. Namun ia juga menolak, berdalih mendapat larangan keras dari "komandan tertinggi". Namun ia juga mengatakan ada banyak makanan tersisa yang bisa saya "selundupkan" sebagian.

Saat saya melemparkan makanan-makanan itu melalui kawat berduri, saya ditangkap dan diancam dengan hukuman penjara. Saya memprotes keras penangkapan itu, dan seorang perwira mengancam akan menembak saya. Saya menyangka itu hanya gertakan sampai saya melihat dengan mata saya sendiri seorang kapten menembak mati segerombolan wanita Jerman dengan menggunakan pistol. Saat saya bertanya mengapa, dengan enteng ia menjawab, "sasaran latihan!". Ia terus menembak hingga pelurunya habis.

Saat itu saya baru menyadari bahwa saya berurusan dengan para pembunuh berdarah dingin yang dipenuhi dengan kebencian yang membuncah. Mereka menganggap orang Jerman sebagai mahluk rendah yang patut dibunuh. Artikel-artikel di koran tentara, "Stars and Stripes" turut mengkampanyekan penghancuran orang-orang Jerman, dengan memblow-up kondisi kamp-kamp tawanan untuk menjadikannya sebagagai sebuah kewajaran. Selain itu bagi para prajurit yang tidak pernah bertempur di medan perang, memperlakukan para tawanan secara kejam dianggapnya bisa menunjukkan keberanian mereka.

Para tawanan itu, sejauh yang saya dapatkan, sebagian besar adalah para petani dan pekerja biasa, sebagaimana juga para tentara kita sendiri. Seiring berjalannya waktu, sebagian besar dari mereka berubah menjadi manusia zombie yang kurus kering. Sebagian lagi berusaha melarikan diri dengan cara seperti sengaja membunuh diri, hanya untuk mendapatkan setangkup air segar Sungai Rhine.

Mereka bergerak dengan sangat lambat. Sebagian mereka, ketagihan rokok sebagaimana keinginan mendapatkan makanan. Beberapa tentara Amerika menjadikannya sebuah bisnis. Mereka memberikan beberapa batang rokok untuk mendapatkan ganti jam, kalung, cincin atau gelang milik tawanan. Saat saya melemparkan beberapa kadus rokok ke dalam kamp untuk "menghancurkan" bisnis tidak berperi kemanusiaan ini, saya diancam bunuh oleh beberapa tentara termasuk perwira.

Satu-satunya keindahan yang saya dapatkan di sana terjadi pada suatu malam saat saya bertugas dalam "sift kuburan" antara pukul 2 dan 4 dinihari. Terdapat sebuah pekuburan di atas bukit tidak jauh dari kamp tawanan. Komandan saya lupa memberikan saya lampu sorot, dan saya pun tidak merasa keberatan untuk tidak menggunakan lampu sorot menjaga para tawanan untuk tidak melarikan diri.

Malam itu bulan bersinar sehingga saya bisa melihat seorang tawananan merangkak keluar menuju pemakaman. Kami diperintah untuk menembak tawanan yang tampak berusaha melarikan diri, namun saya tidak ingin melakukannya. Saya bergerak ke arahnya untuk memberi peringatan kepadanya agar kembali. Tiba-tiba saja melihat tawanan yang lain merangkak dari atas pekuburan kembali ke kamp tawanan. Mereka menanggung resiko besar dengan melakukan semua itu, maka saya memutuskan untuk menyelidikinya.

Saat saya memasuki pemakaman berbentuk segitiga itu, saya merasa agak rentan, namun rasa penasaran memaksa saya terus bergerak maju. Namun meski saya sudah bergerak hati-hati, kaki saya terantuk pada kaki seseorang yang tengah merunduk bersembunyi. Terkejut, saya mengarahkan senjata untuk menembak, namun tidak saya lakukan. Orang yang tersandung kaki itu kemudian berdiri. Kemudian secara perlahan saya melihat jelas sosok di depan saya, seorang wanita cantik dengan keranjang makanan di sampingnya, berdiri dengan wajah pucat karena ketakutan. Saya memberi isyarat bahwa saya tidak keberatan dengan tindakan wanita itu dan kemudian segera meninggalkan tempat itu.

Saya melakukannya dengan cepat, berusaha tidak membuat para tawanan ketakutan. Saya masih terus teringat dengan peristiwa saat itu. Membayangkan seperti apa rasanya berada dalam posisi seperti para tawanan itu, bertemu dengan wanita cantik yang baik hati dan berani mempertaruhkan nyawanya untuk menolong para tawanan. Saya tidak akan pernah bisa melupakan wajah cantik itu.

Kemudian saya melihat semakin banyak tawanan yang merangkak bolak-balik ke pemakaman itu, membawa makanan dan membagi-baginya kepada teman-teman mereka di dalam kamp. Seperti wanita itu, mereka pun menanggung resiko yang sangat serius, ditembak mati jika ketahuan penjaga.


Dari:
Martin Brech; "In ‘Eisenhower’s Death Camps’: A U.S. Prison Guard’s Story"; The Journal of Historical Review, vol. 10, no. 2, pp. 161-166; dimuat dalam situs truthseeker.co.uk; 16 Maret 2011)

No comments:

Post a Comment