Monday, 21 March 2011

DALAM KAMP KEMATIAN EISENHOWER (2)


Pada 8 Mei 1945, hari kemenangan sekutu atas Jerman, saya memutuskan merayakannya bersama beberapa tahanan yang biasa memanggang roti untuk para tawanan. Pada hari itu mereka semua bisa menikmati roti sebanyak yang mereka bisa makan. Kami pun menyangka itu adalah hari terakhir penderitaan dalam kamp tawanan dan kami semua bisa segera pulang ke rumah, sebuah pangharapan yang jauh dari kenyataan.

Saat itu kami berada di wilayah Perancis, dan kami melihat kebrutalan tentara Perancis terhadap para tawanan setelah penyerahan tawanan kepada mereka untuk dijadikan sebagai pekerja paksa.

Namun, di hari itu, bagaimana pun kami semua bergembira karena berhentinya peperangan.

Sebagai bentuk persahabatan, saya mengosongkan senjata saya dan menyandarkannya di pojok ruangan, bahkan membiarkan para tahanan bermain-main dengan senjata itu. Kami bernyanyi bersama-sama, lagu-lagu yang mereka ajarkan atau yang sudah saya kenal sajak sekolah di sekolah Jerman dahulu. “Du, du liegst mir im Herzen”.

Sebagai balasannya, para tawanan membuatkan saya roti yang sangat spesial, satu-satunya bentuk hadiah yang bisa mereka berikan. Saya membawanya dengan gembira ke dalam barak saya dan memakannya pada kesempatan pertama saya mendapatkan privasi. Saya tidak pernah memakan makanan seenak roti itu. Saya percaya "keberkahan" Kristus telah merasuki saya pada saat itu, mempengaruhi saya untuk nantinya memilih kuliah di bidang filsafat dan agama.

Tidak lama kemudian, sebagian dari tawanan dan sakit dan lemah dipindahkan dengan digiring oleh pasukan Perancis ke kamp kerja paksa. Kami mengiringi di belakang rombongan dengan truk pengangkut. Sesekali, sopir memelankan kendaraannya dan kemudian berhenti. Mungkin ia merasa shock seperti saya melihat apa yang terjadi terhadap para tawanan itu. Setiap kali ada tawanan yang tidak sanggup lagi berjalan, ia akan dipukul kepalanya dengan pentungan hingga tewas dengan berlumuran darah. Mayatnya disingkirkan ke tepi jalan untuk kemudian diangkut dengan truk. Bagi sebagian tawanan, mungkin "kematian cepat" itu adalah cara terbaik untuk menghindari penderitaan menjadi tawanan perang tentara sekutu pemenang perang.

Ketika akhirnya saya melihat para tawanan wanita Jerman, saya bertanya pada komandan, mengapa kami harus menjadikan mereka sebagai tawanan pula. Ia menjawab, para wanita itu adalah para "bibit terpilih" bagi para tawanan dari kesatuan SS untuk menciptakan "ras super". Bagi saya, tidak ada kelompok wanita yang semenarik mereka. Tentu saya saya tidak berfikir mereka patut menjadi tawanan.

Saya tetap menjalankan fungsi sebagai penerjemah, dan beberapa kali berhasil menhindarkan penangkapan yang tidak perlu. Salah satu kejadian yang cukup memalukan terjadi saat seorang petani tua diseret oleh beberapa pengawal. Mereka mengatakan petani itu memiliki medali Nazi dan memperlihatkannya pada saya. Untungnya saya mempunyai daftar medali Jerman dan segera mengetahui bahwa orang tua itu mendapatkan penghargaan karena memiliki banyak anak. Bagi saya hal itu tidak membuatnya layak mendapat hukuman menjadi tawanan pekerja paksa. Maka ia kemudian dilepas kembali.

Kelaparan juga mulai melanda rakyat Jerman. Menjadi pemandangan biasa melihat para wanita Jerman mengaduk-aduk tong sampah, mencari sesuatu yang masih bisa dimakan. Namun itu jika mereka tidak sedang dikejar-kejar.

Ketika saya mewawancarai beberapa walikota kecil dan kepala dusun, mereka memberitahukan bahwa persediaan makan mereka telah dirampas oleh "orang-orang tersingkir", yaitu orang-orang asing (yahudi) yang datang ke Jerman seusai perang. Ketika saya melaporkan kejadian ini, saya justru dibentak. Saya juga tidak pernah melihat petugas palang merah berada di kamp tawanan, atau bekerja menolong penduduk, meski stand mereka yang menyediakan kopi dan donat selalu tersedia di manapun untuk kami. Sementara warga Jerman harus mempercayakan diri pada perbekalan yang disembunyikan hingga musim panen berikutnya.

Kelaparan membuat para wanita Jerman lebih mudah "didapatkan", namun demikian pemerkosaan lebih sering terjadi, seringkali diiringi dengan tindak kekerasan lain. Satu peristiwa yang paling tidak bisa saya lupakan adalah saat saya melihat seorang gadis remaja belasan tahun yang mukanya berdarah dipukul gagang senjata, kemudian diperkosa oleh dua tentara Amerika. Bahkan orang-orang Perancis memprotes kegemaran pasukan Amerika memperkosa, perampasan serta melakukan tindakan kekerasan karena minuman keras. Di Le Havre kami mendapat buklet berisi petunjuk yang menyebutkan bahwa para tentara Jerman telah memperlakukan tawanan Perancis dengan baik, dan karenanya tentara Amerika harus melakukan hal yang sama. Dalam hal ini kita telah gagal total.

“So what?” beberapa tentara Amerika berkata. “Kekejaman musuh lebih besar dari kita," tambahnya.

Memang benar pengalaman saya hanya mencakup masa akhir perang di mana sekutu telah memenangkan peperangan. Kesempatan Jerman untuk berbuat kejam telah lenyap dan pindah ke tangan kita. Namun dua kesalahan tidak akan membuat satu kebaikan. Daripada meniru kekeliruan musuh, kita harus menghentikan lingkaran kekerasan dan dendam yang telah menjangkiti dan menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Inilah sebabnya mengapa saya berteriak keras sekarang, 45 tahun setelah kejahatan itu. Kita memang tidak mungkin bisa mencegah kejahatan perang yang dilakukan individu per-individu. Namun kita bisa, jika kita cukup keras berteriak, mempengaruhi kebijakan pemerintah. Kita bisa menolak propaganda pemerintah yang menggambarkan musuh kita sebagai mahluk kotor. Kita bisa memprotes pengeboman atas sasaran sipil yang masih saja terjadi hingga kini. Dan kita pun bisa menolak untuk membiarkan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan pemerintah kita atas para tahanan perang.

Saya memahami, sangatlah sulit bagi sebagian besar warga negara untuk mengakui adanya kejahatan perang yang begitu hebat seperti kejahatan terhadap rakyat Jerman dalam Perang Dunia 2, khususnya jika melibatkan mereka. Bahkan tentara Amerika yang bersimpati kepada para tawanan, takut untuk melakukan protes. Dan bahaya tidak akan berhenti. Sejak saya berteriak beberapa minggu lalu, saya telah menerima beberapa kali ancaman telepon dan e-mail sayapun telah "dihancurkan".

Namun ini memang setimpal. Menulis tentang kekejaman perang telah menjadi pembebas atas perasaan yang telah lama terpendam, sebuah pembebasan, dan mungkin akan mengingatkan para saksi lain bahwa "kebenaran akan membebaskan kita, jangan takut." Kita bahkan mungkin akan mendapat pelajaran luar biasa dari hal ini: "hanya cinta yang bisa mengalahkan segalanya."


Dari:
"Eisenhower’s Death Camps’: A U.S. Prison Guard’s Story"; Martin Brech; The Journal of Historical Review, vol. 10, no. 2, pp. 161-166; dalam situs truthseeker.co.uk; 16 Maret 2011.

No comments:

Post a Comment