Saturday, 31 March 2012
FASE BARU KRISIS SYRIA (2)
Tahap inilah yang sebenarnya menjadi keinginan blok BRICS (Brazil, Russia, India, China dan Afrika Selatan), yaitu memberi kesempatan pemerintah dan rakyat Syria menjalankan reformasi internal tanpa mengganggu kestabilan kawasan.
Dan tiba-tiba saja kemudian perundingan-perundingan terjadi di mana-mana dengan Koffi Annan sebagai ujung tombaknya. Laporan-laporan menunjukkan bahwa meski telah menutup kantor kedubesnya di Syria, pemerintah Amerika tetap menjalin komunikasi dengan para pemimpin regim Syria. Tokoh-tokoh agama dari gerakan Ikhwnaul Muslimin yang merupakan tulang punggung oposisi juga telah bertemu beberapa kali dengan presiden Bashar al Assad. Sementara tokoh oposisi moderat yang anti-intervensi asing kini didekati oleh para diplomat barat.
Langkah nyata pun diambil oleh para menlu Uni Eropa bulan Maret lalu dengan mengeluarkan komunike bersama menolak intervensi asing atas Syria, bahasa yang sangat dijauhi oleh mereka sampai sebulan yang lalu. Dan senada seirama Kofi Annan pun kemudian memberi peringatan keras terhadap upaya-upaya eksternal untuk mempersenjatai kubu oposisi. Dan menambah irama semakin dinamis, pejabat-pejabat Amerika pun memberikan suara yang senada.
Seorang tokoh oposisi moderat Syria yang masih menjalin komunikasi dengan pemerintah mengemukakan bahwa kelompok-kelompok oposisi berbasis di luar negeri kini saling berusaha menyatukan kekuatan di tengah "angin" yang mulai menjauhi mereka. Kini mereka seakan bungkam terhadap perkembangan di Syria, atau lebih tepat suaranya mulai tidak didengar.
"Mereka memang mendapat bantuan militer, namun tidak pernah cukup. Mereka membutuhkan jauh lebih banyak daripada yang mereka terima, dan kini negera-negara yang dulu mendukung mereka membuat langkah-langkah yang membingungkan mereka," kata tokoh oposisi tersebut.
Dan menambah situasi tidak menguntungkan kubu oposisi, pada bulan Maret lalu di tengah-tengah kemajuan besar militer pemeritah Syria merebut kantong-kantong pertahanan oposisi di Idlib, tiga tokoh utama oposisi menyatakan pengunduran diri dari Syrian National Council (SNC), organisasi payung yang membawahi kelompok-kelompok oposisi yang berbasis di luar negeri.
Dan perubahan juga terjadi di perbatasan, salah satu medan perang konflik Syria. Turki, tetangga Syria yang sangat keras menyuarakan penggantian regim Bashar al Assad, kini tidak lagi banyak mengeluarkan suaranya. Bahkan bertentangan dengan ancaman mereka untuk membentuk kawasan zona penyangga di perbatasan Syria, Turki akhirnya mengakui pernyataan itu tidak benar.
"Turki tidak akan melakukan hal-hal yang akan melanggar integritas wilayah Syria, karena hal itu justru bisa memindahkan konflik ke wilayah Turki," kata menlu Turki Ahmet Davutoglu dalam pertemuan dengan beberapa tokoh oposisi Syria baru-baru ini. Davutoglu secara tidak langsung membenarkan peringatan Bashar al Assad beberapa waktu lalu tentang kondisi demografis Turki yang mirip dengan Syria sehingga rawan terkena imbas konflik Syria. Berbeda dengan pemerintahnya yang keras menentang regim Syria, beberapa faksi politik Turki secara terang-terangan menyatakan dukungan kepada Bashar al Assad. Perlu juga menjadi catatan bahwa sebagaimana Syria negara Turki juga banyak dihuni oleh pengikut sekta Alawit, sekte Islam Sunni yang dekat dengan Shiah. Sekte inilah yang diikuti oleh Bashar al Assad dan pendukung-pendukung kuatnya.
"Insyaf"-nya Turki mungkin juga karena pengaruh Iran. Dalam kunjungannye ke Turki Januari lalu menlu Iran Ali Akbar Salehi menyindir Turki sebagai "melakukan peran berbahaya bagi kepentingan umat Islam dan Arab dengan imbalan yang tidak jelas".
Namun meski Turki telah menahan diri, ada sebagian elemen dalam pemerintahannya yang masih keras menentang Syria, sebagaimana juga sebagian elemen dalam pemerintahan Amerika dan Uni Eropa. Fakta bahwa tahun 2012 adalah tahun penting dalam pemilihan umum di Amerika dan Perancis turut mempengaruhi perubahan sikap politik Amerika dan Uni Eropa atas Syria.
Salah satu kekhawatiran yang membuat perubahan sikap barat adalah fakta bahwa mereka telah banyak mengeluarkan "energi" atas Syria, dan kini "energi" itu telah menipis. Tanpa persetujuan DK PBB barat tidak memiliki alasan untuk menyerang Syria dan harapan yang tertinggal adalah upaya non-militer. Semuanya sudah dilakukan untuk menggoyahkan regim Bashar al Assad, dubes Amerika bahkan turun tangan langsung mengkoordinir aksi-aksi demonstrasi sebelum mendapat balasan pendukung Bashar al Assad sehingga memaksanya hengkang dari Syria: pemberian sanksi, aksi-aksi demonstrasi, mempersenjatai milisi oposisi, perang siber, propaganda dan agitasi, menyuap pejabat dan tentara untuk membelot, hingga tekanan diplomatik. Namun setahun lewat tanpa tanda-tanda regim Bashar al Assad kehilangan pendukung.
Di Washington muncul kekhawatiran menyusupnya milisi-milisi militan garis keras (Salafi, Al Qaida) ke dalam kubu oposisi. Meski telah lama menjadi binaan Amerika dan Saudi, gerakan Islam garis keras ini, terutama di lapangan, kerap tidak bisa dikendalikan. Kebanyakan mereka menyusup dari Irak dan merupakan mantan gerilyawan yang kerap menyerang unit-unit militer Amerika di Irak selama pendudukan. Dengan keberadaan mereka di negara yang berbatasan dengan Israel serta ancaman Syria untuk mengorbankan perang hingga ke Israel, Amerika dan sekutunya harus berfikir ulang dengan ide menyingkirkan Bashar al Assad.
Namun ada saja figur-figur yang tidak bisa melihat kondisi nyata, mengabaikan Iran dan pengaruhnya yang semakin kuat di kawasan dan kedekatannya dengan regim Bashar al Assad (selain bahu-membahu melawan Israel di Lebanon, Syria adalah pendukung Iran dalam Perang Iran-Irak tahun 1980-1988. Kala itu Iran masih menjadi negara lemah yang terkucilkan). Salah satu pejabat tinggi Amerika yang masih terobsesi menghancurkan gerakan perlawanan anti-Israel yang dipimpin Iran adalah mantan dubes di Lebanon dan kini menjabat asisten menlu, Jeffrey Feltman.
Feltman sebagaimana Saudi Wahabiah, Qatar dan negara-negara Teluk (kecuali Uni Emirat Arab) adalah bagian dari Kelompok B yang habis-habisan menginginkan tumbangnya Bashar al Assad untuk diganti dengan regim baru yang terkooptasi Amerika. Perang di Syria telah menjadi sesuatu yang eksistensial bagi Kelompok B. Mereka telah bermain terlalu keras dan berkorban terlalu banyak (termasuk membuka kedok mereka sebagai agen zionisme) untuk bisa mereview kembali langkah mereka.
Dan saat kekuatan-kekuatan politik eksternal berupaya melakukan langkah "penyelamatan muka" atas krisis Syria, kita akan menyaksikan hal-hal menarik. Media-media massa dan LSM-LSM internasional yang pada dasarnya adalah bentukan zionisme tiba-tiba saja "menemukan" praktik-praktik tidak patut tidak patut dan unsur-unsur berbahaya dalam tubuh oposisi Syria, memberi alasan awal barat untuk meninggalkan oposisi sekaligus krisis Syria.
Kelompok B di sisi lain belum bisa "melihat realitas" dan dalam beberapa waktu ke depan masih akan menggunakan retorika dan langkah-langkah keras, setidaknya untuk menjadi daya tawar mereka bagi Kelompok B. Namun jika tidak berhati-hati Syria akan menjadi "kuburan" mereka.
Ref:
"New Phase in Syria Crisis: Dealmaking toward an Exit"; Sharmine Narwani; al-Akhbar, 21 Maret 2012
No comments:
Post a Comment