Wednesday, 28 March 2012
MENGAPA APBN HARUS DEFISIT?
Pada akhir dekade 1980-an hingga awal dekade 1990-an muncul beberapa buku heboh tentang "kawasan Asia Timur yang cemerlang", "Third Wave", "Future Shock", "Trend 2000" dan lain sebagainya. Dengan teknik pemasaran yang canggih, para penulis buku tersebut menjadi idola di negara-negara Asia Timur termasuk Indonesia. Presiden SBY pun bahkan mengaku menjadi idolanya Alfin Toffler, sang futuristik penulis "Future Shock" dan "Third Wave". Teknik promosi yang canggih juga turut mempengaruhi kebijakan ekonomi negara-negara Asia Timur, yang tergiur dengan ramalan buku-buku tersebut dengan berlomba-lomba mengadakan pembangunan besar-besaran. Tentu saja pembangunan tersebut dilakukan dengan "bantuan" perbankan dan lembaga-lembaga keuangan asing, alias berhutang.
Dan seakan sebuah konspirasi yang super canggih, hutang-hutang tersebut kebanyakan jatuh tempo pembayarannya pada akhir dekade 1990-an. Pada masa itulah kebutuhan mata uang dolar di kawasan Asia Timur sebagai mata uang untuk membayar cicilan, dipastikan akan melonjak tinggi. Namun tiba-tiba saja mata uang dolar lenyap dari kawasan Asia Timur, menimbulkan kepanikan di tengah ancaman gagal bayar negara-negara Asia Timur. Krisis moneter pun terjadi.
Singkat kata paska krisis yang menghancurkan sendi-sendi sosial ekonomi dan politik masyarakat, terjadi "keseimbangan perekonomian" baru: kurs dolar naik beberapa kali lipat dibanding mata uang negara-negara Asia Timur yang berarti juga hutang luar negera negara-negara Asia Timur secara ajaib ikut naik beberapa kali lipat. Negara-negara seperti Indonesia pun terpaksa harus melego aset-aset berharga-nya kepada kreditur untuk mengurangi beban hutangnya. Sampai kini pun sebenarnya beban krisis tersebut masih terus ditanggung rakyat Indonesia yang setiap tahun harus membayar triliunan rupiah kepada negara-negara kreditur.
PM Malaysia Mahathir Mohammad mengerti betul siapa yang bertanggungjawab terhadap krisis tersebut, yaitu para kapitalis yahudi yang sengaja memborong dolar hingga hilang dari peredaran.
Namun seakan seperti keledai yang tidak bisa mengambil pelajaran, kita terus saja melakukan kesalahan dengan membiarkan diri terjerat dalam hutang.
Saya masih tidak bisa menemukan "kebijaksanaan" di balik prinsip "anggaran berimbang" APBN yang pernah diterapkan pemerintahan Orde Baru, yaitu prinsip menghabiskan semua pendapatan pada tahun yang sama sehingga jumlah pendapatan menjadi sama dengan pengeluaran. Namun saya lebih tidak mengerti lagi "kebijaksanaan" prinsip "anggaran defisit" yang diterapkan Orde Reformasi seperti sekarang, yaitu kebijaksanaan APBN dengan menetapkan pengeluaran lebih besar dari penerimaan dan menutup defisit tersebut dengan berhutang. Karena dengan "kebijaksanaan" ini, dengan hitung-hitungan sederhana saja akan menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun saja Indonesia tidak memiliki kekayaan apapun, sebaliknya terbenam dalam timbungan hutang yang tak terbayar hingga ke anak cucu.
Sebagai gambaran sederhana saya berikan ilustrasi sbb: 2 negara identik A dan B memiliki sumber pendapatan APBN yang sama, yaitu Rp 1.000 triliun. Negara A menerapkan prinsip anggaran defisit dengan menetapkan pengeluaran senilai Rp 1.200 triliun, sedang B menerapkan prinsip anggaran efisien dengan menetapkan pengeluaran senilai Rp 800 triliun. Dengan asumsi tidak ada perubahan pola APBN selama 10 tahun, negara A pada akhir tahun ke 10 memiliki hutang senilai Rp 2.000 triliun. Pada saat yang sama negara B justru memiliki tabungan senilai Rp 2.000 triliun.
Pada kondisi akhir ini negara A tidak lagi memiliki kekayaan sedikit pun karena total pendapatannya tidak cukup untuk membayar hutang sehingga harus terus mengandalkan pemberian hutang-hutang baru negara-negara kreditur untuk sekedar melanjutkan kehidupannya. Sebaliknya negara B adalah negara mandiri yang dengan tabungannya yang mencapai 2.000 triliun cukup untuk menaikkan tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Jelas sekali di antara kedua negara tersebut negara yang cerdas dan negara yang idiot.
No comments:
Post a Comment