Sunday 29 April 2012

NATHALIA PORTMAN, DAN PELACUR-PELACUR HOLLYWOOD

Bisa dimengerti jika "peperangan menumbangkan regim Bashar al Assad" masih saja terus berlangsung meski para pejabat negara-negara barat sempat menunjukkan keputus-asaannya. Bagi Amerika dan barat bisa saja meninggalkan gelanggang perang begitu saja dan membiarkan regim Bashar al Assad bertahan, untuk kemudian mencari pendekatan baru menghadapinya meski dengan muka ditebal-tebalkan. Namun tidak dengan negara-negara Arab seperti Saudi dan Qatar. Telah berkorban terlalu banyak dan membuka kedoknya sebagai antek zionisme, mereka tidak akan tahan diejek oleh Bashar al Assad dalam forum-forum resmi Arab maupun OKI. Maka "the show must go on".


Dan kini zionisme internasional sampai pada tahap paling canggih, menggunakan Hollywood sebagai senjata. (Sebelumnya mereka telah memaksa ibu-ibu pejabat diplomatik Eropa melakukan kampanye memojokkan istri Bashar al Assad yang kelahiran Inggris). Keampuhan Hollywood sebagai senjata telah terbukti dengan keberhasilan aktor George Clooney dan kawan-kawan dengan kampanye "Save Darfur" dalam memecah belah Sudan menjadi 2 negara, Sudan dan Sudan Selatan. Kini upaya serupa dilakukan untuk Syria. Pertama, artis Hollywood anti-Palestina yang diangkat sebagai duta PBB Angelina Jolie berteriak: "intervensi internasional diperlukan untuk menghentian pembantaian terhadap rakyat sipil. Disusul kemudian oleh penyanyi Joss Stone yang berteriak lantang: "cerita ini harus disampaikan karena jika tidak pembantaian akan semakin memburuk." Dan akhirnya artis Hollywood lainnya, Natalie Portman yang berteriak tidak kalah keras: "President Bashar al-Assad yang terus melakukan serangan brutal terhadap rakyatnya sendiri." Disusul kemudian dengan aksi Portman memposting gambar di akun "Facebook"-nya dengan tulisan: “Bersatu untuk Syria. Hentikan satu tahun pembantaian." Histeria itu kemudian disusul oleh penyanyi Annie Lennox dan Nelly Furtado, hingga artis senior Susan Sarandon.

Di antara selebritis itu semua Nathalia Portman perlu mendapat catatan sendiri. Ia adalah seorang yahudi kelahiran Israel dengan identitas zionisme yang kuat. Baginya Syria dengan regim Bashar al Assad sekarang, tentu saja adalah penghalang cita-cita mewujudkan negara "Israel Raya". Mahir berbahasa Hebrew (bahasay yahudi), suatu saat ia berkata: "Saya menyukai banyak negara, namun hatiku berada di Jerussalem di mana saya merasa berada di rumah. Setiap saat terjadi hal buruk di sana terasa seperti saya kehilangan anggota tubuh saya. Saya sangat protektif terhadap Israel, tentus saja, namun lebih protektif lagi terhadap nilai-nilai kemanusiaan melebihi nafsu pribadi saya."

Itu semua adalah tipikal mentalitas para zionis yang merasa nyaman berada di negeri yang mereka rampok dari penduduk asli. Dan berbicara soal perampokan, Nathalia Portman pernah belajar selama 6 bulan di Hebrew University of Jerusalem (HUJ), lembaga yang terkait erat dengan praktik-praktik pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina. Sejak Mei 1948 hingga Februari 1949, para pegawai Jewish National Library dan Hebrew University Library memasuki kawasan Jerussalem Timur dan memasuki rumah-rumah dan kantor-kantor milik Palestina yang diusir pasukan teroris Israel, mencuri 30,000 buku, koran dan manuskrip-manuskrip kuno milik rakyat Pelestina. Tentu saja Portman yang belajar di HUJ untuk "mempelajari situasi di Palestina" tidak mengetahui pencurian yang dilakukan universitasnya. Natalie Portman baru saja membintangi film "Free Zone," sebuah film propaganda Israel untuk melegitimasi pendudukan Israel di Palestina sembari memberi cap pejuang-pejuang Palestina sebagai teroris. Sama dengan sikapnya mengecam aksi protes yang dilakukan 1.000 artis, sutradara dan penulis dalam Festival Film Toronto tahun 2009 yang mengecam infiltrasi zionisme dalam festival tersebut.

Saat belajar di Harvard ia juga menunjukkan "kesetiaan"-nya pada Israel dengan mengecam rekan mahasiswa yang berani mengkritik Israel atas kebijakan apartheid-nya di Pelestina. Menurut Portman dalam pernyataan kecamannya, pernyataan adanya apartheid-isme di Israel adalah menyimpang dari kenyataan karena baik orang Israel maupun Palestina memiliki kesamaan fisik, selain itu sebagian warga Israel adalah yahudi sephardic yang berasal dari negara-negara Arab, pendapat yang paling "bodoh". Kesamaan fisik, kalaupun benar tidak mengubah fakta bahwa zionis Israel telah mengkolonisasi Palestina sejak tahun 1881 dan Israel telah menetapkan 30 undang-undang rasis yang memperlakukan warga Palestina secara sewenang-wenang. Selain itu zionis Israel juga telah merampok identitas dan budaya Palestina. Selain daripada itu yahudi Arab tidak disebut sephardic, melainkan mizrahi. Dan karena atribut arab yang melekat pada mereka, orang-orang yahudi mizrahi yang disebut mizrahim, mengalami tindakan-tindakan rasialis setiap hari dari orang-orang yahudi lainnya.

"Yahudi Maroko tidak akan bisa menyamai yahudi ashkenazi (yahudi Eropa)," kata Rabi Yehoshua Zuckerman suatu ketika. Dahulu orang-orang mizrahim yang tiba di Israel harus mendapatkan seprotan DDT karena dianggap kotor. Namun perlakuan diskriminatif yang dialami orang-orang mizrahim tidak menghalangi mereka untuk turut berpartisipasi melakukan penindasan terhadap orang-orang Palestina. (BERSAMBUNG)

No comments:

Post a Comment