Monday, 5 August 2013

KAMI TAKKAN MENINGGALKAN PALESTINA

(KONFLIK TIMUR TENGAH UNTUK MENGALIHKAN MASALAH PALESTINA)



Pada bulan Agustus 1979, atau hanya beberapa bulan setelah Revolusi Iran yang berhasil menumbangkan regim Shah Reza Pahlevi, ketika kondisi negara belum pulih dari revolusi berdarah dan konstalasi politik begitu tinggi antara kelompok-kelompok politik yang ada, pemimpin Iran Ayatollah Khomeini masih tetap memikirkan Palestina dan Al Quds (Jerussalem) yang diduduki Israel. Ia pun mengeluarkan seruan kepada masyarakat dunia untuk memperingati Hari al Quds pada setiap hari Jum'at terakhir di bulan Ramadhan.

Semangat itu pula yang mendasari tekad Hizbollah untuk tetap mendukung perjuangan pembebasan Palestina

"Hizbollah, partai Islam Shiah, tidak akan meninggalkan Palestina, Al Quds, dan tempat-tempat suci di Palestina. Kami lahir dan tumbuh dengan menanggung kewajiban untuk mempertahankan Palestina dan Al Quds. Kami, orang-orang Shiah, tidak akan meninggalkan hal ini selamanya. Silakan tuduh kami sebagai rejeksionis (penolak perdamaian), teroris, kriminal, dan tuduhan apapun  seraya membunuhi orang-orang kami di semua medan perang, di pintu semua masjid, kami Shiah (pengikut) Ali bin Abi Taleb tidak akan meninggalkan Palestina,” kata pemimpin Hizbollah dalam sembutannya pada perayaan Hari Al Quds yang digelar di Dahiyeh, Lebanon, Jumat (2/8).

Dalam pidatonya di hadapan ribuan penduduk Lebanon memuji peran yang dijalankan Ayatollah Khomeini sebagai pemprakarsa gerakan pembebasan Palestina melalui peringatan Hari Al Quds.

"Tujuan dari seruan ini (Ayatollah Khomeini) adalah untuk mengingatkan seluruh muslim di dunia tentang masalah Palestina dan menggalang energi demi menyelamatkan Al-Quds dan Palestina dari tangan para zionis serta untuk menunjukkan apa yang dialami rakyat Palestina," kata Nasrallah.

“Palestina yang kita bicarakan adalah seluruh wilayah Palestina dari laut hingga sungainya, yang harus kembali sepenuhnya kepada rakyat Palestina. Tidak ada seorang pun di dunia yang dipimpin oleh para Sheikh atau Sayyed atau Pengaran, atau Raja, atau Presiden, atau pemerintah yang boleh menyerahkan atau meninggalkan segenggam tanah Palestina, atau setetes airnya, minyaknya, atau secuil tanahnya.”

Nasrallah juga mengingatkan pernyataan Khomeini tentang Israel yang disebutnya sebagai tumor kanker pembunuh yang harus dibasmi.

"Israel merupakan ancaman berbahaya yang terus-menerus tidak hanya bagi bangsa Palestina, namun juga ancaman bagi seluruh rakyat dan negeri di seluruh kawasan. Siapapun yang menolak hal ini adalah manusia arogan."

“Sebagian orang mungkin berfikir bahwa hancurnya Israel adalah kepentingan Palestina sendiri. Tidak demikian, ini adalah kepentingan setiap negara adi kawasan ini karena (Israel) adalah ancaman bagi Jordania, Mesir, Syria, dan Lebanon, maka lenyapnya Israel menjadi kepentingan nasional Jordania, Mesir, Syria, dan Lebanon,” tambah Nasrallah.

Nasrallah mengatakan bahwa siapapun yang menghadapi dan melawan zionis di manapun tidak hanya mempertahankan Palestina, namun juga mempertahankan tanah airnya sendiri, rakyatnya, harga dirinya dan masa depan keturunan mereka. Tanggung jawab ini dipikul oleh seluruh rakyat Palestina, juga bangsa-bangsa ARab, Muslim, dan Kristen.

“Mempertahankan Al-Quds adalah tanggungjawab semua orang. Tanggungjawab paling rendah yang akan ditanyakan di Hari Pengadilan adalah dengan tidak mengakui entitas zionis dan legitimasi Israel," kata Nasrallah.


KECAM BEBERAPA PEMIMPIN ARAB

Dalam kesempatan tersebut Sayyed Nasrallah juga mengecam beberapa pemimpin Arab yang telah bekerjasama dengan negara-negara barat untuk mengalihkan perhatian atas masalah Palestina dengan menciptakan berbagai konflik baru.

"Pertama mereka bicara tentang ancaman komunisme dan menghabiskan miliaran untuk masalah itu dan melupakan Palestina. Kemudian mereka bicara tentang ancaman Iran dan perang berbiaya mahal dilancarkan terhadap Iran (Perang Iran-Irak), semua kemampuan militer dimobilisasi untuk menghadapi musuh ini (Iran). Jika saja mereka menghabiskan 10% saja dari biaya itu untuk Palestina, mereka akan dibebaskan."

Selanjutnya, kata Nasrallah, mereka berteriak tentang "ancaman Shiah" yang mereka sebutkan lebih berbahaya dari ancaman Israel. Selanjutnya mereka menciptakan konflik-konflik sektarian yang sangat destruktif dan sangat efektif sebagai senjata penghancur ummat Islam.

Nasrallah menekankan saat ini tengan terjadi kecenderungan munculnya faham takfirisme di berbagai negara Islam yang mendorong pengikutnya melakukan peperangan dan pembunuhan-pembunuhan untuk kepentingan zionisme.

“Bukankah kini kita mengetahui ada yang berupaya menghancurkan kawasan ini dengan seluruh rakyatnya dan membaginya menjadi negara-negara Kristen, Sunni, Shiah, Druze, Ismaeli (Alawi), Persia dan Kurdi? ... Sayangnya kita (negara Lebanon) tidak memiliki ketetapan untuk menunjuk negara-negara yang menjadi pendukung proyek penghancuran ini yang merupakan proyek paling berbahaya bagi kawasan ini.”

Sayyed Nasrallah menganggap konflik yang terjadi di Mesir adalah masalah politik, bukan agama. Demikian juga konflik yang terjadi di Libya, Yaman dan Syria. Namun di negara-negara yang plural, konflik politik bisa berubah menjadi konflik agama, dan hal itulah yang terjadi.

Sayyed Nasrallah menyerukan dilakukannya upaya dialog untuk emecahkan masalah politik di negara-negara tersebut, dan meninggalkan para takfiri yang hanya bisa menimbulkan kekacauan.

"Saat ini, sentimen sektarian disebarluaskan melalui media massa (terutama Al Jazeera, Al Arabia dan beberapa media Arab lainnya yang setiap hari kesibukannya menayangkan pertentangan Sunni-Shiah. Mereka diikuti juga oleh beberapa media Indonesia; blogger) dan media sosial terhadap Shiah, dan mereka yang mendanai itu terkadang mendanai beberapa kelompok Shiah untuk untuk menjalankan misi mereka sehingga terjadilah saling serang dan bunuh, terutama di Irak. Kampanye ini dilancarkan setelah konflik Syria sehingga membuat orang-orang Shiah melupakan Palestina dan mulai membenci orang-orang Palestina. Beberapa kelompok kepentingan menginginkan kaum Shiah untuk menjauhkan diri dari konflik Arab-Israel, yang berarti juga menyingkirkan Iran dari masalah ini."



Keterangan gambar: pejuang remaja Hizbollah bersama sang ibunda terkasih. Dalam segala kesulitannya, para pejuang Hizbollah masih tetap memikirkan saudara-saudaranya di Palestina.



REF:
"Sayyed Nasrallah: We, the Twelver Shia, Won’t Abandon Palestine"; AlManar.com.lb; 2 Agustus 2013

No comments:

Post a Comment