Jika pendiri Ikhwnul Muslimin Hassan al Bana dan Sayid Qutbh masih hidup, mereka mungkin akan menangisi hasil perjuangan mereka akan berakhir tragis seperti saat ini. Justru ketika Mesir telah mulai berubah menjadi negara demokratis yang memberi kesempatan Ikhwanul Muslimin menjadi penguasa, ratusan (bankan mungkin ribuan jika klaim Ikhwanul Muslimin benar) pengikut Ikhwanul Muslimin harus tewas mengenaskan ditembaki aparat keamanan dan para pemimpinnya diuber-uber seperti penjahat.
Padahal sampai hari Rabu lalu (14/8) Ikhwanul Muslimin masih memiliki kesempatan untuk menghindari tragedi, dan dengan strategi yang tepat kembali merebut kekuasaan mereka yang ditumbangkan oleh kudeta militer tgl 3 Juli lalu.
Sebagian besar pengamat politik yang berfikir rasional menganggap tumbangnya kekuasaan Ikhwanul Muslimin oleh militer merupakan "kesalahan" para pemimpin Ikhwanul Muslimin, terutama Presiden Moersi, yang tidak memahami bahwa hakikat politik adalah seni bernegosiasi. Setelah berpuluh tahun hidup dalam penindasan dan tiba-tiba mendapatkan kekuasaan, para pemimpin IKhwanul Muslimin seakan menjadi lupa diri pada hakikat tersebut dan menganggap kekuasaan yang didapatkan adalah "amanah Tuhan" yang harus dipertahankan mati-matian. Mereka tidak peduli pada tindakan-tindakan mereka yang tidak menyenangkan kelompok-kelompok politik lain. Bahkan ketika puluhan juta rakyat Mesir pada tgl 30 Juni mengeluarkan petisi penolakan terhadap kekuasaan Ikhwanul Muslimin, mereka tetap ngotot bertahan dan tidak bersedia melakuan kompromi.
Puluhan juta suara penolakan tersebut secara "de facto" merupakan tanda bahwa kekuasaan Ikhwanul Muslimin sudah berakhir. Tanpa disuruh pun, seorang pemimpin yang berjiwa demokrat yang memahami bahwa demokrasi adalah kehendak mayoritas rakyat, akan mengundurkan diri ketika sebagian besar rakyatnya menghendaki demikian.
Kemenangan Moersi dan Ikhwanul Muslimin sendiri dalam pemilu Mesir tahun 2011 bukanlah kemenangan signifikan. Dengan lebih dari 50% rakyat Mesir yang memilih golput, Moersi hanya menang tipis dari lawannya politiknya. Artinya, Moersi tidak didukung oleh mayoritas rakyat Mesir yang pada tgl 30 Juni lalu justru menunjukkan arpirasi penolakan terhadapnya. Maka ketika militer Mesir melakukan kudeta terhadap Moersi tindakan tersebut sangat bisa difahami demi menghindarkan Mesir dari kebuntuan kekuasaan dan perang saudara.
Sampai pada titik ini semestinya Moersi dan para pendukungnya melakukan introspeksi, menerima peta jalan tengah yang ditawarkan militer dan berpartisipasi dalam pemerintahan sementara hingga diselenggarakannya pemilu mendatang saat Ikhwanul Muslimin memiliki kesempatan untuk merebut kembali kekuasaannya yang hilang. Mesir pun tidak perlu mengalami kekacauan hingga pertumpahan darah yang tidak perlu.
Militer sebenarnya masih berbaik hati dengan memberi kesempatan Ikhwanul Muslimin untuk turut serta dalam pemerintahan sementara, namun justru kesempatan baik itu disia-siakan. Ikwanul Muslimin kembali melakukan kesalahan yang dibuat sebelumnya dengan menolak kompromi dan justru memilih konfrontasi, meski pemerintahan sementara dan berbagai pihak seperti para diplomat asing, kelompok Islamis non-Ikwanul Muslimin, hingga rektor Universitas Al Azhar telah berusaha keras membujuk Ikwanul Muslimin untuk menghentikan sikap konfrontasinya. Maka terjadilan tragedi itu.
"Hasilnya adalah bahwa kini Ikwanul Muslimin berada pada posisi lemah untuk melakukan negosiasi. Sebelum kemarin, mereka bisa bernegosiasi untuk menarik diri namun kini kesempatan itu sudah hilang. Kesalahan-kesalahan ini disebabkan oleh tindakan para pemimpin ekstremis mereka. ... Tidak seorang pun yang harus meninggal kemarin dan konfrontasi itu tidak perlu terjadi sama sekali," tulis Abdulrahman al-Rashed, editor berita televisi Al Arabiya di harian Asharq al-Awsat tgl 15 Agustus tentang insiden pertumpahan darah di Mesir baru-baru ini.
Meski secara idiologis saya (blogger) berseberangan dengan Abdulrahman yang sebagaimana media yang dipimpinnya sangat pro-Saudi/Amerika/Israel, namun editorial tersebut sangat saya setujui.
Ada satu penggambaran yang menarik tentang aksi pendukung Ikwanul Muslimin Mesir, yang saya dapat dari seorang komentator atas artikel online di media "Egypt Independent" tentang penolakan Ikhwanul Muslimin untuk bernegosiasi hingga mengakibatkan terjadinya pembantaian:
"Siapa yang menempatkan diri secara sengaja untuk ditabrak dan kemudian mengeluh setelah terluka? Siapa yang menyeberang jalan di depan kendaraan yang melaju kencang dan ugal-ugalan, daripada memilih berhenti sebentar hingga kendaraan lewat, dan setelah tertabrak menyalahkan pengemudinya. Ia memang pengemudi ugal-ugalan, namun mengapa mencelakakan diri untuk membuktikan bahwa ia adalah pengemudi yang buruk, dan kemudian mengeluh karena tertabrak?"
Namun keadaan sebenarnya kini jauh lebih membahayakan dari masa lalu ketika para aktifis Ikwanul Muslimin mengalami penindasan oleh aparat keamanan. Sebagian rakyat Mesir yang anti-Ikwanul Muslimin juga telah mengorganisir kelompok-kelompok yang secara sporadis melakukan aksi-aksi kekerasan di jalanan, milisi-milisi bentukan militer belum lagi unsur-unsur Al Qaida dan dan ditambah pasukan-pasukan teroris pembunuh yang dibentuk CIA dan Mossad mulai berkeliaran setelah diangkatnya Robert Ford, arsitek perang sipil Irak dan Syria menjadi dubes Amerika di Mesir. Mesir mulai terjerembab dalam perang sipil.
Maka dalam konteks "perjuangan" Ikhwanul Muslimin yang didirikan untuk membebaskan Palestina dari penjajahan Israel dan mengantarkan rakyat Mesir kepada masyarakat damai sejahtera, Ikwanul Muslimin telah mengalami kekalahan tiga kali berturut-turut hanya dalam waktu beberapa minggu terakhir ini.
REF:
"The Muslim Brotherhood’s second defeat"; Abdulrahman al-Rashed; AL ARABIYA NEWS CHANNEL, 15 AGUSTUS 2013
mengingatkan saya kaum-kaum yang tidak boleh diajak berbincang, bukankah nabi mengajak berdialog dengan kuffar, mereka bertegas dengan pendirian mereka entah betul atau tidak,,maka ini dapat dikatakan...
ReplyDeleteSyria's crisis will only be solved by stamping out "terror", President Bashar al-Assad said, in reference to rebels fighting his regime.
In a rare speech on Syrian state television, Assad also dismissed the political opposition to his regime as a "failure" that could play no role in solving the country's brutal war.
"No solution can be reached with terror except by striking it with an iron fist," said Assad.
"I don't think that any sane human being would think that terrorism can be dealt with via politics," he added.
"There may be a role for politics in dealing with terrorism pre-emptively," said Assad, adding that as soon as "terrorism" has arisen, it can only be struck out.
http://www.businessinsider.com/assad-syria-crisis-can-only-be-solved-with-iron-fist-2013-8#ixzz2cH6uOsyU
Itu belum lagi dikatakan oleh Ali sekembali dari nahrawan ,,,mereka masih berada dalam sulbi-sulbi, mereka akan terus menjadi mangsa kekuatan pedang...iron fist?