Beberapa hal "bodoh" terjadi di dunia beberapa waktu terakhir. Mahkaman Konstitusi kita yang melegalkan universitas asing membuka cabang di Indonesia, obat-obatan di Indonesia yang mengandung babi, pemerintah Bangladesh dan Thailand (menyusul pemerintahan Moersi di Mesir) yang sengaja menciptakan kekacauan daripada memikirkan pembangunan negaranya, presiden Amerika bersama PM Inggris dan PM Denmark yang bertingkah norak dalam upacara pemakaman Nelson Mandela serta kecemburuan ibu negara Michele Obama kepada PM Denmark yang lebih cantik, penerjemah resmi bahasa isyarat pemerintah Afrika Selatan yang ternyata palsu, tabrakan kereta api dengan truk BBM akibat kemacetan di pintu lintasan karena tidak terkendalinya jumlah kendaraan bermotor yang boros energi dan sumber polutan, Dahlan Iskan yang mau membuat jalan tol di atas laut dan membeli peternakan di Australia daripada membangun sendiri industri peternakan di Indonesia, Jokowi jadi kandidat terkuat presiden mendatang, Ariel Noah yang bergandengan tangan dengan Sophia Latjuba, dll. Namun bagi saya semua itu tidak se-menarik informasi tentang Iran berikut ini.
Beberapa waktu lalu saya membaca satu tulisan menarik tentang "serangan cerdas Iran di kawasan Teluk" di situs thetruthseeker.co.uk. Saya sempat berniat menuliskannya di blog ini, namun kesempatan itu hilang karena perhatian saya teralihkan kepada isu-isu lain. Namun setelah melihat artikel senada di Debkafile berjudul "Iran pushes for Saudi isolation in the Gulf amid military buildup in Hormuz", saya harus menuliskannya.
Dua perkembangan terjadi di kawasan Teluk Parsi yang menjadi tanda nyata dari kemenangan diplomatik Iran atas lawan-lawannya terutama Saudi dan Amerika, sekaligus memperkuat pandangan publik bahwa pemerintah Amerika telah mengubah orientasi politiknya terhadap Iran menjadi lebih bersahabat. Satu hal itu adalah kesepakatan Iran dengan Uni Emirat ARab (UEA) tentang pengembalian 3 pulau milik UEA yang diduduki Iran sejak tahun ketika Iran dipimpin oleh regim Shah Pahlevi. Hal lainnya adalah ketidak-hadiran Oman dalam pertemuan puncak negara-negara Teluk Gulf Cooperation Council (GCC) yang digelar di Kuwait minggu ini.
Dengan perkembagan baru ini Iran bisa bernafas lega dari ancaman konfrontasi militer dengan Amerika, khususnya di kawasan Teluk Parsi.
Sultan Oman turut terlibat dalam percakapan telepon antara Presiden Amerika Barack Obama dengan Presiden Iran Hassan Rouhani beberapa waktu lalu yang berujung pada kesepakatan nuklir Iran dengan negara-negara barat dan Rusia serta Cina. Ketidak hadirannya dalam pertemuan puncak GCC menunjukkan bahwa Oman tidak sudi lagi berada di bawah bayang-bayang Saudi Arabia, negara terkuat di antara anggota GCC, dan lebih memilih Iran sebagai "teman". Mereka bahkan sudah berdiskusi tentang "mengisolasi Saudi" dalam kunjungan menlu Iran Javad Zarif ke negara-negara Teluk minggu lalu.
Sejak diduduki Iran tahun 1971 pemerintah UEA secara konsisten mengajukan tuntutan pengembalian 3 pulau miliknya di Teluk Parsia. Namun sebaliknya Iran justru semakin memperkuat kehadiran militernya di Pulau Abu Musa yang dijadikan sebagai pangkalan militer Iran. Iran misalnya telah memasang 500 rudal darat-laut yang memungkinkan Iran menutup Selat Hormuz dengan mudah. Iran bahkan telah menempatkan 10 pesawat tempur SU-25 Frogfoot di sana. Meski demikian, baik Amerika maupun UEA terkesan tidak terusik dengan langkah Iran ini.
UEA dan Iran dikabarkan telah sepakat tentang pengembalian tiga pulau sengketa tanpa mengusik keberadaan pangkalan militer Iran di sana. Tidak hanya itu, keduanya diperkirakan telah sepakat tentang pembagian cadangan minyak yang diyakini berada di ketiga pulau tersebut.
negara yang berkawan dengan kaum yang bijak akan dapat banyak manfaat
ReplyDeleteBerkawan saat suka maupun duka
ReplyDeletesecara de facto dan de yure ketiga pulau itu milik iran kalau tak salah duluan ketiga pulau tersebut di tanda tangani pengakuan Hak Iran oleh pbb sah milik iran dari pada berdirinya negara uni emirat arab boleh jadi sebagai tukar kepemilikan bahrain yang dklaim iran dgn ketiga pulau tersebut dgn inggris rampungnya sengketa iran dg inggris selesai dan di tanda tangani pbb kepemilikan ketiga pulau tersebut baru kemerdekaan bahrain dan uni emirat arab juga pada 1971 sebenarnya tuntutan uni emirat arab tidak kuat makanya amerika tak bisa bekoar koar menjadikan alasan untuk mengusir iran dari kepulauan tersebut yang jelas kekuatan militer dan bangsa iran yang kuat dan iran sebagai pemilik sah kepulauan dan parlement iran menetapkan harga mati terhadap tiga pulau tersebut untuk diusik usik tentu tak ada alasan bagi amerika mau mengusik apayang dilakukan iran terhadap pulau tersebut apalagi kekuatan iran sudah mengimbangi kekuatan amerika di kawasan mungkin kalau UEA di bagi oleh iran dalam zone ekonominya dan boleh jadi namun kepemilikan saya rasa tidak yg jelas untuk meredam rengekan uni emirat arab kalau mau di bagi kalau tidak ya rugi,ini kebijakan iran membagi buah tapi tidak kepemilkan pohonnya dan tuntutan tersebut tak mungkin berhasil mau perang juga kecil kemungkinan untuk menang walau kalah tetap bayar biaya perang ke amerika kalau menang amerika yang ambil keulawan tersebut sementara biaya perang tetap tanggungan arab berkawan dg saudi malah banyak mudhoratnya sumber teroris dan ketiga pulau tersebut yg di jadikan alasan saudi untuk mengasut yang lain dan .karena pulau tersebut bernilai strategis bagi iran untuk selat hormuz dan itu bernilai kedaulatan bagi negara iran sama dgn NKRI bagi kita harga mati.makanya timor timur kita lepas dari NKRI tak ada pengkuan hak dari PBB kita tetap sebagai pendudukan penjajah di mata dunia kecuali referendum .gabung atau merdeka .kalau gabung kita punya kewajiban membangun timor timur APBN harus mengalir kesana bukan sedikit .kalau merdeka kita bisa kerjasama saling menguntungkan dan duit timor leste mengalir kekita karena secara ekonomi mereka ketergantungan kekita .wassalam
ReplyDelete