Monday, 27 January 2014

Libya, Nasi Sudah Menjadi Bubur

Tulisan dibawah ini adalah terjemahan dari sebuah artikel milik seorang rakyat Libya, seseorang yang telah merasakan getirnya dampak daripada demokrasi dan kebebasan di Libya. Semoga bisa diambil pelajaran untuk kita ke depan dalam menyikapi segala bentuk pemberontakan yang mengatasnamakan agama ataupun kebebasan:

Pembaca yang terhormat ,
Saya bukan jurnalis, dan  tidak memiliki pengalaman dalam menulis.  Saya rakyat  Libya lahir dan dibesarkan di ibukota Libya dan  cinta saya kepada negara amatlah besar. Saya ingin megajak Anda melihat antara fakta dan fiksi tentang Libya. Kebenaran, tidaklah selalu terasa nyaman. Kami rakyat Libya mungkin tidak memiliki sesuatu yang bernama demokrasi dan kebebasan bicara ala barat, tapi kami adalah warga negara yang teramat bangga, independent, karena pemerintah Jamahiriya berhasil membawa kami keluar dari kemiskinan dan kolonialisasi barat. Sampai hari invansi militer atas Libya yang diberlabel ‘kemanusiaan’ , kami adalah rakyat yang berpendidikan, kami diperhatikan negara, listrik, air, pendidikan, kesehatan, semuanya gratis.

Setiap keluarga memiliki rumah mereka sendiri. Jika Anda belum bekerja, maka  pemerintah menanggung Anda !
Secara pribadi saya tidak pernah ditanggung oleh pemerintah,  sebaliknya keluarga saya dan saya tidak punya hubungan dengan pemerintah , kami melalui masa-masa sulit, tapi kami bertahan dan tidak pernah meninggalkan negara kami. Kami tidak pernah menempuh jalan untuk menjadi ex-patriot. Kami di Libya berjuang  menyelesaikan masalah dan kemenangan kami  sejalan ditandai dengan Demokrasi Jamahiriya dan Komite Sosial .


Saya yakin bagi negara barat dan ex-patriot akan sangat sulit memahami bahwa kami senang, puas dengan apa yang kami miliki. Tentu saja kami  bisa menjadi seperti Dubai, tapi adakah yang telah yang melihat Dubai akhir-akhir ini? Hanya  ada orang asing – populasi asli  Dubai tampaknya tidak ada dan jika ada mereka tidak memiliki suara dalam memutuskan sesuatu di dalam pemerintahan mereka.

Jika Anda telah mengunjungDubai Anda akan berpikir Anda berada di Eropa atau di Amerika Serikat, Dubai telah kehilangan sejarah dan jiwanya. Yang ada adalah sebuah negara barat dimana orang asli Dubai menjadi pelayan. Tapi kami tidak mebiarkan orang-orang kulit putih mengangkangi [Libya] hanya karena mereka tidak memiliki pekerjaan di negaranya. ..”


*****

Masih tentang Libya

Oleh Dr Christof Lehmann*

Seorang warga Libya yang meninggalkan negaranya menuju Aljazair, sempat menelpon, dan nsnbc merekamnya.

‘Mengapa saya begitu bodoh’,  katanya menyalahkan diri sendiri karena telah bergabung dengan protes anti pemerintah di Libya.

“Kami dibutakan oleh mesin propaganda yang  terorganisasi dengan baik , dibutakan oleh keserakahan dan iri terhadap tetangga yang memiliki lebih daripada yang kami miliki , dibutakan oleh keyakinan bahwa demokrasi berarti bahkan lebih banyak kebebasan dan keadilan dari apa yang sudah kita miliki hari ini. Kami sangat didoktrin oleh sesuatu yang istimewa dan benar-benar kita harapkan akan terjadi di Libya. Seolah-olah mengimpor kegagalan model sosial ekonomi dan politik yang runtuh di Eropa akan membawa kita kebebasan dan kemakmuran . Ini adalah kasus paling bodoh dari penghancuran diri Afrika dan Arab”

Faktanya,  orang tersebut adalah sosok berpendidikan dan berani.  Ia merupakan salah satu warga sipil pertama yang melawan pemerintah Libya saat Arab Spring melanda  Libya. Dia sedang melakukan perjalanan dari Tripoli ke Aljazair dan memberitahu saya bahwa besok  gema Libya yang demokratis telah berubah menjadi mimpi buruk. Yang tampak kemudian adalah  ribuan warga Libya berkulit  hitam dan pekerja migran telah dibantai,  perempuan dipenggal kepalanya karena menolak untuk tunduk di bawah todongan kaum  fanatik agama. Pada akhirnya, menyalahkan diri sendiri bukanlah sebuah kejutan, namun pertanda demokrasi dan kebebasan yang digadang-gadang akan diperjuangkan telah gagal melawan imperialisme .

Saya bahkan tidak perlu melakukan perjalanan ke Libya untuk mengetahui bahwa semua itu akan kembali berulang layaknya Beirut di tahun 1982.  Saya tahu kasus ini akan beraroma sama.
Kelahiran koloni  baru di Libya, yang dikira menjadi surga demokrasi dan kebebasan akan dihantui oleh Depleted Uranium .

Tukang jagal dari Afghanistan , Irak dan Libya , pembunuh profesional terkenal Abdelhakim Belhadj telah disponsori oleh kampanye CIA dan MI6. Abdelhakim Belhadj mendapat  kehormatan untuk melatih , mempersenjatai dan mengorganisir garda  pembebasan lain, dan kali ini Suriah pun mengalaminya. Ini membawa ingatan saya akan kenangan dari Beirut , 1982. Bau busuk,  bau mesiu dan darah , pembunuhan Sabra dan Shatila. Dan orang-orang di Beirut yang bekerja sama dengan penjahat  juga tidak sabar untuk memulai menyembelih sebagaimana halnya terjadi di Suriah.

Pernahkah Anda melihat seorang wanita hamil diterjang oleh pecahan peluru dan bayi yang belum lahir telah terpotong? Saya pernah menyaksikannya.  Dan saya tidak ingin melihat pada musuh terburuk saya yaitu perang. Perang  adalah pembunuhan, kejahatan murni.  Tidak ada yang terhormat tentang hal itu.

Perang di Libya belum berakhir. Burung pemakan bangkai seperti media massa yang sudah mengelilingi bangkai [di Libya] yang menuju bangkai berikutnya yaitu Suriah, lalai  melaporkan bahwa front perlawanan di Libya masih belum terpatahkan total. Politisi yang percaya kebohongan mereka sendiri mungkin percaya bahwa Suriah harus lebih diekspos. Perang regional yang berlarut-larut pada akhirnya membuka wajah sesungguhnya di balik nama  ‘Demokrasi dan Kebebasan’ , tanah yang dijanjikan itu kini tenggelam dalam darah orang yang tidak bersalah .

Kemarin Susan Lindauer mengirimi saya foto dari bayi yang lahir dari Falujjah , Irak. Uranium depleted membuat bayi tersebut cacat. Susan Lindauer adalah manusia, itulah sebabnya dia mengirim foto. Saya manusia karenanya foto itu  membuat saya menangis. Jika Anda berani , cobalah tanyakan kepada diri sendiri apakah Anda memiliki rasa kemanusiaan? Jika Anda punya, maka bertindaklah dan hentikan kejahatan membuat Anda percaya  bahwa NATO dan anak laki-laki dan perempuan dari Amerika Serikat , Italia, Inggris, Perancis, Qatar, dan lainnya berjuang dalam perang adalah  demi kehormatan.  Hal terhormat untuk dilakukan adalah berdiri di sisi perdamaian, dan jika perlu mati untuk itu.

*) Dr Christof Lehmann: Konsultan, psikolog pendukung Palestina, pendiri webmedia independen http://nsnbc.wordpress.com


Keterangan: Tulisan asli terdapat di situs liputanislam.com tgl 26 Januari 2014

No comments:

Post a Comment