Indonesian Free Press -- Jangan pernah percaya sepenuhnya pada Amerika. Demikian kata Pemimpin Iran Ayatollah Khamenei ketika Iran terlibat perundingan program nuklir dengan negara-negara besar beberapa waktu lalu.
Khamenei benar. Dengan sejarah panjang pengkhianatan-pengkhianatan yang dilakukan Amerika kepada sekutu-sekutunya, negara yang dikendalikan para zionis jahat itu memang tidak bisa dipercaya 100%. Pemimpin Irak Saddam Hussein menjadi contoh paling valid pengkhianatan Amerika. Menjadi sekutu terpercaya Amerika, termasuk dengan mengikuti perintah Amerika untuk menyerang Iran paska Revolusi Iran tahun 1979, Saddam Hussein dijungkalkan oleh Amerika pada tahun 2003 dan hidupnya berakhir di tiang gantungan.
Bagi Amerika, seorang sekutu hanya menjadi sekutu ketika dibutuhkan. Saat tidak lagi dibutuhkan, ia pun akan dicampakkan ke tong sampah seperti Saddam Hussein.
'Pengkhianatan' Amerika ini pun kini tengah menghantui sekutu Amerika paling setia di Timur Tengah setelah Israel, yaitu Saudi Arabia. Congress atau lembaga Legislatif Amerika kini tengah mempertimbangkan untuk membuka ke publik file-file rahasia penyidikan Serangan WTC tahun 2001 yang menyebutkan keterlibatan Saudi dalam serangan teroris tersebut. Jika hal ini benar dilakukan, maka pemerintah Amerika terpaksa harus memberikan sanksi-sanksi serius kepada Saudi Arabia, termasuk membekukan asset-asset Saudi di luar negeri.
Atas ancaman itu, Saudi Arabia pun mengancam balik Amerika untuk menjual surat-surat hutang Amerika yang dimiliki Saudi sebelum dibekukan Amerika. Penjualan surat-surat berharga senilai $750 miliar tersebut dipastikan akan memukul perekonomian Amerika.
Seperti dilaporkan New York Times baru-baru ini, Menlu Saudi Arabia Adel al-Jubeir menyampaikan 'ancaman' itu secara pribadi dalam kunjungannya ke Amerika bulan lalu menemui para pejabat dan anggota Congress Amerika.
Presiden Amerika Barrack Obama akan datang ke Saudi Arabia hari Rabu besok (20 April) untuk bertemu Raja Salman dan para pejabat Saudi lainnya. Diperkirakan masalah ini akan menjadi pembahasan. Obama diketahui telah berusaha menjegal upaya Congress atas pembukaan file rahasia Serangan WTC karena dampak buruk yang dihadapi Amerika.
Sementara itu pakar politik Perry Cammack dan Richard Sokolsky dari Carnegie Endowment for International Peace mengatakan kepada situs The National Interest bahwa Saudi Arabia harus membuang impiannya untuk terus berbulan madu dengan Amerika dan menyesuaikan dengan pendekatan yang lebih realistis. Menurut mereka, hubungan kedua negara tengah mengalami 'perubahan struktural yang mendalam'.
Menurut mereka, Amerika telah mengubah prioritas kebijakan luar negerinya berdasar perubahan konstalasi global dan pasar energi global yang menimbulkan perbedaan pandangan dan ketidak-percayaan antara kedua negara.
Cammack dan Sokolsky menunjuk pada kecaman Presiden Barack Obama yang menyebut Saudi sebagai 'penumpang gelap' yang akan menjerumuskan Amerika ke dalam jurang masalah di Timur Tengah. Ini terkait dengan dukungan Saudi pada kelompok-kelompok militan. Pernyataan ini kontan mendapat respon keras dari Saudi.
"Tidak, Tuan Obama. Kami bukan penumpang gelap," tulis Pangeran Turki al-Faisal dalam surat terbuka ke Obama yang dipublis oleh Arab News.
"Anda menuduh kami mendorong kerusuhan sektarian di Suriah, Yaman dan Irak. Anda menghina kami dengan menyarankan kami untuk 'berbagi' dengan Iran, negara yang Anda sebut sebagai pendukung terorisme dan yang Anda berjanji kepada kami untuk melawannya membuat kekacauan di kawasan," tambah Pangeran Turki.
Namun, baik Saudi Arabia menyukai ataupun tidak, pemerintahan Obama meyakini bahwa Saudi harus menjalin hubungan yang lebih baik dengan Iran dan mengurangi aktifitasnya mendukung kelompok-kelompok teror. Selain itu kebijakan agressif Saudi di Yaman, meski awalnya didukung Amerika, setelah setahun lebih tidak juga berhasil menciptakan kestabilan, dianggap Amerika sebagai sumber kekacauan lainnya.
Menanggapi sikap Amerika yang 'menjauh' dari Saudi, pemerintahan regim Wahabbi ini pun mulai mengalihkan perhatian ke Rusia dan Cina.
Menurut para pengamat politik, Saudi dan Amerika akan melakukan penyesuaian dan menjalankan apa yang disebut 'pendekatan normal yang baru'.
"Pendekatan ini akan lebih kurang bersahabat bagi kedua negara. Kedua pihak akan mengurangi tingkat kepercayaannya dan melanjutkan perbedaan pandangan, terkadang dengan cara keras, atas isyu-isyu regional, namun akan berusaha mencari titik temu saat kepentingan keduanya saling bertabrakan," tulis Cammack dan Sokolsky.(ca)
ya..begitulah..kita jangan terlalu percaya kepada sesiapa..baik USA.apatah lagi Israel,mau pun non muslim atau pun muslim yng bersekongkol..kelak mereka akan melibas kita..bak kata pepatah Melayu..jerat tidak sesekali lupakan pelanduk,pelanduklah yang lupakan jerat..tak gitu.?
ReplyDeleteTidak ada kawan yang abadi.. yg ada kepentingan. Smg KSA bnyk belajar
ReplyDeleteAda uang kawan datang, tidak ada uang kamu ditendang ..
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKoreksi tulisan Min, Saddam Hussein yang benar itu Presiden Irak bukan Iran. Salah ketik ente min.
ReplyDelete