Tuesday 31 May 2016

TEORI REZNIKOV (I).....PAK HARTO BUKAN DALANG G 30 S PKI (sumber MAJALAH GATRA OKT 2015)

Indonesian Free Press -- Apa yang terjadi pada 1965 dan setelahnya ditanggapi oleh Uni Soviet dengan kecemasan dan kepahitan yang mendalam. Berbagai bentuk kerja sama yang telah dilakukan oleh pihak-pihak Soviet dengan Indonesia sejak pertengahan 1950-an hingga sepuluh tahun berikutnya berakhir secara mendadak.

Banyak orang Indonesia yang selama ini memiliki kontak yang dekat dengan Moskwa tersingkir dari panggung politik Indonesia, bersamaan dengan tersingkirnya Presiden Soekarno.

Apa yang terjadi di Indonesia pada 1965 itu bukan hanya hantaman untuk PKI, melainkan juga untuk gerakan komunisme internasional. Dalam konteks Perang Dingin, kehancuran golongan komunis di Indonesia merupakan kemenangan tersendiri bagi blok Barat.

Bagi para ahli politik di Uni Soviet, apa yang terjadi di Indonesia pada paro kedua dekade 1960-an itu membutuhkan penjabaran dan analisis yang mendalam. Merekapun melakukan berbagai analisis dan menuangkan hasilnya dalam berbagai bentuk tulisan.


Sayangnya, banyak dari tulisan-tulisan itu tidak sempat beredar luas. Jumlah eksemplarnya dibuat terbatas, diberi cap " Untuk Keperluan Dinas Saja (For Use in Office Only)" dan hanya dikirim ke pejabat-pejabat tinggi atau perpustakaan-perpustakaan yang tertutup untuk umum. Pokoknya, pemerintah Soviet tidak ingin beredarnya tulisan-tulisan yang berpotensi mempersulit hubungan Soviet-Indonesia.

Itulah nasib yang menimpa salah satu buku karya Aleksandr Borisovich Reznikov (1931-1980), penulis sejarah dari Uni Soviet. Rezhnikov memiliki bidang minat sejarah yang amat luas: dari soal lahirnya gerakan buruh di Inggris hingga soal Politik Timur Komintern dan dari soal Revolusi Islam Iran hingga sejarah moderen Indonesia.

Di antara karya-karyanya yang terbaik adalah sebuah monografi berbahasa Rusia yang berjudul Indonesia dalam Periode Demokrasi Terpimpin (1969), yang ia tulis bersama A.Y. Drugov.

Pada 1977, ia menerbitkan buku lain yang merupakan lanjutan dari monografi itu dengan judul Komplotan di Jakarta. Buku ini ditulis sendiri oleh Reznikov dan diterbitkan sebagai buletin khusus dari Institut Ilmu Ketimuran di Moskwa. Mengingat buku itu dicetak dalam jumlah yang amat terbatas (275 eksemplar), maka gagasan, informasi, dan analisis yang ada di dalamnya tidak sempat beredar luas.

Penulis beruntung, karena berhasil menemukan buku yang nyaris hilang ditelan zaman itu. Membaca buku Komplotan di Jakarta, orang akan mendapat kesan bahwa penulisnya sangat memahami topiknya, bahkan lebih dari banyak peneliti lain.

Reznikov tampak begitu cermat, begitu piawai, dalam menyelaraskan berbagai keterangan yang disampaikan oleh mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September . Ia tajam dalam menganalisis berbagai macam kesaksian dan bahan-bahan dari media massa, tekun dalam mempertimbangkan berbagai fakta yang ada, sebelum akhirnya menyusun teorinya sendiri tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Satu hal yang patut disesalkan adalah bahwa dia tidak mencantumkan sumber dan referensi yang ia gunakan dalam menyusun bukunya. Meski demikian, hal ini bisa dimengerti. Selama bertahun-tahun ia memiliki kaitan yang dekat dengan Bagian Internasional dari Komite Sentral PKUS (Partai Komunis Uni Soviet).
Dari bukunya dapat disimpulkan bahwa ia memiliki akses atas dokumen-dokumen sensitif yang dimiliki oleh badan itu --dengan konsekuensi ia tidak diizinkan membuka sumber-sumber informasinya.

Pertama-tama, Reznikov ingin menetapkan sampai seberapa jauh keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September . Pertanyaannya, apakah PKI bersangkut-paut dengan gerakan itu?
Jawab Reznikov: ya, PKI bersangkut-paut , kalau yang dimaksud PKI di sini adalah Aidit, Syam, dan para pembantu mereka di Biro Khusus, berikut beberapa anggota pucuk pimpinan. Tapi tidak lebih dari itu.

Lalu, apakah PKI memprakarsai Gerakan 30 September ? Tidak , jawab Reznikov. Apakah melalui gerakan itu PKI sedang merencanakan untuk merebut kekuasaan? Juga tidak , simpulnya. Kesimpulan-kesimpulan Reznikov diperkuat dengan argumentasi yang panjang lebar dan cukup meyakinkan.

Kalau memang demikian, siapakah sebenarnya inspirator utama dari Gerakan 30 September itu? Menurut Reznikov, tidak lain dari Bung Karno sendiri.

Terhadap pandangan seperti ini, para pengagum sang Pemimpin Besar tentu saja akan mengajukan pertanyaan penuh ironi ini: mana mungkin seorang Kepala Negara yang sedang berkuasa dan amat populer di mata rakyatnya merekayasa kudeta terhadap dirinya sendiri? Paparan yang disampaikan oleh buku Komplotan di Jakarta dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut cukup menarik untuk diperhatikan.

Sesudah menyelami dan mengolah berbagai data yang ia dapatkan dari pers Indonesia waktu itu mengenai sejumlah mutasi dan pengambil-alihan komando atas berbagai kesatuan TNI, Reznikov berkesimpulan bahwa sekitar pertengahan 1965, pucuk pimpinan AD telah membentuk gabungan kesatuan penggempur yang sangat kuat.

Satuan penggempur itu melibatkan tank-tank, pesawat-pesawat tempur dan pengangkut, meriam-meriam yang bergerak sendiri, serta pasukan payung.

Semua itu dikumpulkan di bawah Komando Mandala Siaga (Kolaga). Tapi bukan di Sumatra atau di Kalimantan, sebagaimana dibutuhkan dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia, melainkan di Jawa yang adalah pusat politiknya Indonesia.

Sesuai dengan observasi Reznikov, apa yang dilakukan oleh Angkatan Darat itu merupakan permulaan suatu kudeta.

Menurut seorang teman akrab dan rekan sekerjanya, Reznikov sudah berkesimpulan demikian sebelum terjadinya Tragedi 1965. Supaya informasi itu cepat-cepat disampaikan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, Reznikov pernah dipertemukan dengan Kolonel Jenderal Haji Umar Mamsurov (1903-1968). Tokoh legendaris ini dikenal di kalangan militer Soviet sebagai seorang yang amat cerdik dan berani.

Dalam Perang Saudara Spanyol, dia bertugas sebagai penasehat pemerintah anti-fasis, bahkan sempat bersahabat dengan Ernest Hemingway.

Mamsurov adalah veteran Perang Dunia II dan penerima Bintang Emas Pahlawan Uni Soviet. Pada 1965, dia menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelejen Utama di Staf Umum Angkatan Bersenjata Uni Soviet.

Reznikov dan Mamsurov pernah bertemu dan berbincang-bincang di salah satu stasiun kereta bawah tanah Moskwa. Sesudah mendengar pertimbangan Reznikov, sang jenderal berujar: " Anak buah saya belum pernah ada yang melaporkan hal itu".

Tidak lama kemudian ketika mengikuti perkembangan Indonesia selanjutnya, Mamsurov berkomentar tentang Reznikov dan pendapatnya itu: " Orang muda itu benar-benar jenius. Sayang sekali kami tak pernah memperhatikan analisisnya secara serius."

***

Keterangan: Dicopas dari status Facebook Bambang Tri.

No comments:

Post a Comment