Indonesian Free Press -- Pengamat media Michael Goodwin mengatakan bahwa opini tunggal yang ditunjukkan media massa Amerika saat ini tidak pernah terjadi seperti sebelumnya. Media-media utama Amerika seperti CBS, NBC, ABC, New York Times dan Washington Post satu suara untuk mendepak Donald Trump dari persaingan perebutan kursi kepresidenan. Hal yang sama bahkan juga disuarakan oleh media-media 'setengah independent' atau 'oposisi terkendali' seperti Counterpunch, meski mereka melakukannya dengan cara berbeda dengan media-media utama. Ketika Trump mendukung Amerika membayar kompensasi ke Iran $400 juta, Counterpunch menyindir Trump sebagai 'tidak ingin menang' dan menyebut sikap Trump tersebut keliru. Padahal, justru Trump dalam kasus ini telah menunjukkan sikap kenegarawanan.
Ia menyebut apa yang dialami Trump sama dengan yang dilakukan media massa Amerika terhadap Iran, dan ini adalah memalukan. Di sisi lain, publik Amerika sudah cukup cerdas untuk menentukan pilihannya sendiri di luar apa yang disampaikan media massa utama.
Trump sendiri telah menyadari ke-'bajingan'-an media-media massa Amerika, sehingga pernah mengatakan, "Saya tidak melawan kejahatan Hillary, melainkan kejahatan media massa.”
"Kini, kesempatan untuk mengalahkan media-media 'bajingan' lebih besar dari sebelum-sebelumnya, ketika media-media massa utama dikalahkan oleh media sosial dan internet yang bebas. Medi sosial tetap saja bisa bias, namun tidak sebesar media-media utama. Meski demikian, media-media utama harus dihancurkan, didemokrasikan dan didemonopoli. Kalau tidak, kita akan terus menerima propaganda kotor," tulis Shamir.
"The Masters of Discourse (penguasa belakang layar) menyukai berita-berita untuk 'digoreng' menjadi alat untuk menguasai. Masih ingat anak kecil dari Suriah yang terdampar di Laut Mediterania? Ini cerita yang menyedihkan, sangat tragis, namun ini telah digoreng sedemikian rupa sehingga Kanselir Jerman memproklamasikan untuk menerima para pengungsi Suriah. Inilah yang diinginkan oleh penguasa belakang layar, untuk membanjiri Eropa dengan pengungsi demi memperkuat 'koalisi minoritas' untuk menghancurkan negara-negara sejahtera dan menimbulkan runtuhnya Eropa sebagai entitas yang independent," tambah Shamir.
"Kini mereka memilih gambar anak Suriah lainnya di Aleppo (anak kecil di atas kotak kuning), untuk mendorong intervensi militer. Kematian ini adalah hal yang tragis, seperti kematian ribuan anak-anak Suriah lainnya. Namun, jika saja Hillary Clinton tidak mengirimkan berkapal-kapal senjata ke Suriah, anak-anak itu tidak akan mati. Akankah intervensi militer barat akan mengembalikan mereka yang mati? Tidak," tulis Shamir.
Di sisi lain, Shamir pun mengecam media massa yang suka mengejek para aktifis Palestina telah menyebarkan 'pornografi perang' karena menyebarkan gambar-gambar anak-anak Palestina korban kekejaman Israel.
"Jadi, para wartawan itu hanya bertindak saat para 'tukang goreng' membutuhkan mereka. Ini adalah manipulasi, bukan soal kasihan."
"Jika kita menginginkan perdamaian dan kesejahteraan, keadilan dan kemuliaan, kita harus menghentikan kebohongan media-media 'bajingan' itu kepada manusia. Para bajingan itu harus diluruskan, dan ini adalah pesan yang paling penting sekarang ini," demikian kesimpulan Shamir.
Fenomena media-media 'bajingan' juga sangat kentara, terutama menjelang, selama dan setelah pilpres 2014 lalu. Secara massif media massa membohongai publik untuk memilih seorang pembohong seperti Jokowi sebagai presiden. Dan kini, mereka semua tengah berusaha mati-matian untuk mendongkrak citra Ahok sebagai calon gubernur DKI. Ketika puluhan ribu warga Jakarta menggelar aksi penolakan Ahok, media-media massa justru asyik memberitakan kasus Jessica 'Sianida' Wongso, tanpa memberikan sedikit pun porsi atas peristiwa pertama. Jangan ditanya, mengapa media-media massa bungkam soal korupsi Transjakarta dan RS Sumberwaras.
Mereka tidak mau tahu, siapa yang telah memboyong orang orang asing seperti Archandra Tahar ke Indonesia untuk menjadi menteri, serta apa motifnya. Apalagi menyangkut korupsi sistematis-massif yang telah mengakar kuat seperti mafia migas, mafia perdagangan. Bahkan setelah bandar narkoba Fredy Budiman membuat testimoni yang mengejutkana tentang keterlibatan aparat penegak hukum dalam mafia perdagangan narkoba, media massa pun tidak menindaklanjutinya.
Dalam hal ini bahkan kami berpendapat bahwa ke-bajingan-an media-media massa INdonesia lebih besar dibandingkan media-media Amerika atau Eropa.(ca)
Media massa besar hrus sgera di hadapi oleh media massa bebas. Demo ttg ahok sdh bnyk yg mngetahui, tp bg yg jrg akses internet jls tdk mngetahui nya
ReplyDelete