OLEH: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Indonesian Free Press -- Pengantar blogger: Akhirnya Siti Fadillah Supari, pahlawan pembela negara dari konspirasi jahat industri farmasi dan pejabat-pejabat Amerika serta WHO, ditahan KPK.
Kasus yang menjerat Fadillah saat menjadi Menteri Kesehatan kabinet Presiden SBY ini sangatlah kontroversi. Tidak ada bukti penyuapan dan bahkan penyuapnya pun masih sumir, Siti Fadillah akhirnya harus ditahan setelah kasusnya terkatung-katung selama bertahun-tahun karena lemahnya bukti. Hal ini kontan mendorong publik untuk mengait-kaitkannya dengan apa yang telah dilakukan Siti Fadilah dalam kasus wabah flu burung dan keberadaan fasilitas penelitian Amerika di Indonesia yang kontroversial, NAMRU II. Sebagai bentuk simpati kepada Siti Fadilah, blog ini sengaja mempostingkan tulisan Hendrajit dari Global Future Institute (GFI) awal tahun 2014 lalu.
----------------
Ledakan yang terjadi di Gedung laboratorium Mikrobiologi yang berlokasi di jalan Percetakan Negara 29 Jakarta Pusat milik Departemen Kesehatan itu, waktu itu dianggap sebagai kecelakaan biasa. Apalagi Makbul Padmanegara yang ketika itu menjabat Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, secara tegas mengesampingkan kemungkinan ledakan tersebut berasal dari bom atau aksi terror. Meski Padmanegara kala itu tidak membantah bahwa telah diketemukan nitrogen cair dan CO2.
Namun melalui kejadian tersebut ada satu fakta menarik yang belum ada satupun media massa yang mengangkatnya sebagai tema pemberitaan. Sebuah fakta yang jauh lebih menarik dibandingkan peristiwa peledakan itu sendiri. Kenyataan bahwa di Komplek gedung ini pula, berkantor The Naval Medical Research Unit 2 atau yang lebih dikenal dengan NAMRU-2.
Berdasarkan penelusuran bahan-bahan pustaka yang saya lakukan, terungkap bahwa Unit 2 Penelitian Medis Angkatan Laut alias NAMRU-2 merupakan bagian dari Angkatan Laut Amerika Serikat.
Yang lebih menarik lagi, badan yang resminya didirikan untuk mempelajari penyakit-penyakit tropis ini, ternyata berkantor di gedung milik Departemen Kesehatan. Jalan Percetakan Negara 29, Jakarta Pusat. Aneh bukan?
Memang kalau kita menelisik situs Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, Staf Namru-2 bekerjasama dengan Departemen Kesehatan Indonesia di bidang pengembangan Sumberdaya Manusia, pembangunan kelembagaan, penelitian serta pengawasan penyakit-penyakit menular.
Menurut keterangan situas Kedubes AS lebih lanjut, hal itu dilakukan dalam rangka Misi NAMRU-2 untuk mengadakan penelitian, percobaan-percobaan dan evaluasi atas penyakit-penyakit menular demi memajukan kesehatan, keamanan, dan kesiapan Pasukan Angkatan Bersenjata AS agar dapat bekerja secara efektif di masa damai dan dalam menjalankan misi-misi darurat di Seluruh Asia Tenggara.
Namun, itu versi cerita dari Kedutaan Besar Amerika Serikat. Informasi lain yang ketika itu saya peroleh, dan inilah yang jadi gagasan utama tulisan saya sehingga saya beri judul Misteri Virus NAMRU-2 AS, sejak akhir 2006 dan awal 2007, ada sekitar 25 orang yang mati terkena infeksi virus tak dikenal yang memakan korban jiwa akibat eksperimen biologis tertutup yang dilakukan oleh NAMRU-2.
Tentu saja ketika itu saya belum bisa mendapatkan konfirmasi dari Departemen Kesehatan, karena Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari belum secara resmi mengangkap persoalan sensitif tersebut. Atau jangan-jangan, Menteri Kesehatan Supari maupun para staf terdekatnya belum mendapatkan masukan informasi apapun terkait kiprah NAMRU-2.
Padahal ketika tulisan tersebut saya angkat di situs www.nu.or.id sudah berkembang sebuah informasi lain yang cukup mencemaskan: Ternyata NAMRU-2 tidak sekadar melakukan penelitian tentang penyakit tropis, tapi sudah meluas dalam penelitian aplikasi militer seperti pembuatan senjata bio-terorisme. Sejenis Weapon of Mass Destruction (WMD) khusus persenjataan biologis. Bahkan menurut informasi, justru penelitian aplikasi militer inilah yang jadi agenda utama NAMRU-2. Penelitian terkait penyakit tropis hanya sekadar sebagai kedok untuk menyamarkan kegiatan yang sesungguhnya.
Dengan kata lain, NAMRU-2 pada perkembangannya merupakan markas kegiatan intelijen Angkatan Laut Amerika, bukan sekadar untuk menangani proyek-proyek kerjasama Indonesia-Amerika di bidang kesehatan.
Dengan demikian penelitian virus Influenza, Malaria, Kolera, Tipus, Demam Berdarah, HIV/AIDS, Turbekolosa/TBC dan sebagainya, sejatinya ditujukan untuk melayani kepentingan strategis militer Amerika.
Ketika itu tulisan saya tutup dengan satu pertanyaan kunci: Apa benar bahwa penyebaran virus yang tidak dikenal dan yang telah memakar korban jiwa 25 orang tersebut, memang berasal dari kantor NAMRU-2 yang berlokasi di Jakarta?
Pertanyaan tersebut saya anggap masuk akal karena berdasarkan pemeriksaan tempat tinggal orang-orang yang terkena infeksi maupun di berbagai klinik lokal, ternyata tidak berhasil menemukan virus-virus apapun yang selama ini ini sudah dikenal, dan memiliki ciri khas yang jelas untuk kawasan ini.
Versi pihak kesehatan ketika itu mengatakan bahwa penyakit ini diakibatkan oleh poris kecil virus biologis yang belum dikenal.
Pihak kesehatan boleh saja mengatakan hal seperti itu. Namum informasi lain mengatakan bahwa spesialis-spesialis NAMRU-2 juga telah menjadikan jasad orang-orang yang sudah mati sebagai obyek eksperimen untuk meneliti reaksi organisme manusia yang diakibatkan oleh virus tersebut.
Sepertinya ketika tulisan ini saya publikasikan pada November 2007, Menteri Kesehatan Supari dan jajaran staf di lingkungan Departemen Kesehatan belum tahu-menahu soal ini mengingat fakta bahwa proyek penelitian NAMRU-2 pada hakekatnya bersifat tertutup dan rahasia. Padahal, kegiatan-kegiatan NAMRU-2 dalam penelitian aplikasi militer berkedok penelitian medis Angkatan Laut dalam bidang penyakit menular, juga dilakukan Amerika di Filipina dan Thailand. Sehingga bisa menimbulkan ancaman yang membahayakan jiwa manusia di kawasan Asia Tenggara.
Awal Mula Menteri Kesehatan Supari Menaruh Perhatian Pada NAMRU-2
Menteri Kesehatan Supari baru mengangkat soal NAMRU-2 AS tersebut pada 2008. Namun dalam buku yang dia tulis sendiri berjudul SAATNYA DUNIA BEROBAH, menuturkan awal mula keanehan yang dia rasakan terkait proyek NAMRU-2 tersebut.
Ketika sedang gencar-gencarnya wabah Flu Burung menerpa Indonesia, Supari menerapkan kebijakan melarang pengiriman virus influenza ke WHO, Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN (Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Nah di tengah-tengah perlawanan Supari terhadap hegemoni WHO ini, mencuatlah satu isu sensitif ke permukaan, yaitu isu bantuan negara-negara maju dengan dukungan WHO untuk menggalang dana membantu negara-negara yang menderita flu burung.
Bagi Supari, selain gagasan bantuan negara-negara maju kepada negara-negara miskin yang menderita flu burung tersebut dipandang sebagai wacana yang menyesatkan dan merendahkan martabat diri negara-negara miskin, pada saat yang sama Supari mendapat sebuah informasi yang mengejutkan.
Pertama. Bahwa di Indonesia bantuan-bantuan luar negeri untuk mengatasi flu burung seolah begitu deras berdatangan pada 2006, namun manfaatnya tidak begitu terasa bagi masyarakat. Bahkan menurut Suparti, kadang-kadang bantuan yang diumumkan di dunia internasional ternyata tidak pernah kita terima.
Kedua. Ini yang lebih mengagetkan, dan saya kira inilah awal mula Supari mulai menyorot NAMRU-2. Menurut informasi yang didapat Menteri Kesehatan Supari, Menteri Kesehatan Amerika Serikat , Michael O Leavitt, pernah menjanjikan akan membantu Indonesia sebesar 3 juta dolar AS. Tetapi bantuan itu tidak kunjung datang hingga terlaksananya kunjungan Menteri Luar Negeri Condoleeza Rice ke Indonesia ketika itu.
Ketika itu, salah seorang wartawan bertanya pada Supari: “Apakah Kementerian Kesehatan akan mendapat bantuan dari Menlu Rice?” Supari menjawab: “Lho, janji dari Leavitt saja belum datang sampai sekarang kok mengharapkan dari Menlu Rice? Enggak ah.” Begitu jawab Supari.
Rupanya, pernyataan keras Supari tersebut menggema sampai ke Amerika Serikat. Bahkan parlemen Amerika mempertanyakan hal ini ke Dubes AS yang ada di Indonesia. Belakangan Supari dapat informasi melalui jalur-jalur informal bahwa dana yang dijanjikan oleh Leavitt tersebut telah dikirimkan ke Dubes AS di Jakarta. Dan diberikan ke NAMRU-2 AS dengan asumsi untuk penelitian H5N1 bersama Departemen Kesehatan.
Meski di dalam buku ini Supari tidak terlalu banyak berkisah seputar pendirian dirinya terkait NAMRU 2, namun bisa saya simpulkan bahwa sikap kerasnya yang kelak menghentikan proyek penelitian NAMRU-2 AS di Indonesia, nampaknya didasarkan pada informasi tersebut.
NAMRU-2 Sebagai Operasi Intelijen
Melalui konstruksi kisah tersebut di atas, proyek NAMRU-2 AS atau program-program yang sejenis, tidak boleh terulang kembali di Indonesia. Dan para pejabat pemerintahan Indonesia, khususnya dari Kementerian Kesehatan, tidak boleh mengizinkan proyek sejenis NAMRU-2 beroperasi kembali di Indonesia.
Sebab dari berbagai penelusuran bahan-bahan pustak yang dihimpun Tim Riset Global Future Institute, dalam sebuah penelitian penyakit malaria, terungkap bahwa para peneliti NAMRU-2 tidak hanya meneliti dan mengambil specimen darah warga yang terkena penyakit malaria. Para peneliti NAMRU-2 juga keluar –masuk hutan untuk memetakan situasi, topografi, dan meneliti penyebaran penyakit melalui cara-cara yang tidak lazim.
Bahkan para peneliti NAMRU-2 terungkap telah melakukan pengumpulan data dan informasi pos militer, jarak lokasi penyebaran penyakit dan kantor pemerintahan mulai dari tingkat desa hingga provinsi.
Hal ini mengindikasikan bahwa NAMRU-2 hakekatnya telah dijadikan sebagai markas operasi intelijen berkedok sebagai lembaga penelitian penyebaran penyakit menular.
Keanehan dan misteri yang menyelimuti proyek NAMRU-2 tersebut rupanya juga dirasakan oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda. Selain tidak pernah melaporkan hasil penelitian mereka sejak tahun 2000, NAMRU-2 juga tak ikut membantu pemerintah ketika sibuk menghadapi bencana nasional demam berdarah dan flu burung.
Namun di atas itu semua, laboratorium penelitian Namru-2 yang berlokasi di Jalan Percetakan Negara, telah menjadi markas terselubung intelijen angkatan laut Amerika dalam pengembangan senjata biologis pemusnah massal.
Selain itu, keberadaan proyek Namru-2 AS dan keterlibatan intelijen angkatan laut Amerika Serikat telah memicu kecurigaan berbagai kalangan pemerintah bahwa Amerika telah melanggar kedaulatan wilayah RI karena telah menggunakan fasilitas yang diberikan Departemen Kesehatan untuk tujuan-tujuan terselubung yang tak ada kaitannya dengan pembangunan dan pengembangan bidang kesehatan di Indonesia.
Mengenang Perlawanan Siti Fadilah Supari Galang Dukungan Internasional Terhadap WHO
Namun bagi Supari, munculnya Flu Burung, telah menyadarkan dirinya, ada sesuatu yang tidak beres dalam tata kelola kesehatan yang ditangani oleh WHO. Bermula di saat Supari galau bagaimana mengatasi penyebaran virus Flu Burung yang begitu cepat, tiba-tiba berdatanganlah para pedagang farmasi menawarkan apa yang dinamakan rapid diagnostic test yang sumbernya berdasarkan virus strain Vietnam. Dan ini yang kemudian memancing kecurigaan Supari, para pedagang tersebut juga menawarkan vaksin untuk menyembuhkan Flu Burung. Yang tentunya sumbernya juga berasal dari virus strain Vietnam.
Buat Supari ini hanya berarti satu hal: Adanya ketidakadilan dalam penanganan masalah kesehatan di dunia internasional, dan biang keroknya adalah World Health Organization alias WHO.
Betapa tidak. WHO selama hampir 50 tahun, memberlakukan ketentuan apabila ada penduduk yang menderita penyakit Influenza , lalu kemudian meninggal, maka virus dari penderita tersebut sampelnya diambil dan dikirim ke WHO CC (WHO Collaborating Center), untuk dibuat seed virus. Dari seed virus inilah kemudian digunakan untuk membuat vaksin.
Dan ironisnya, pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri maju, negara-negara kaya yang tidak punya kasu Flu Burung pada manusia. Tragisnya lagi, vaksin itu kemudian dijual ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.
Maka melalui tragedi Flu Burung ini, kesadaran baru muncul pada benak Supari. Dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kesehatan, Supari mulai mengambil kebijakan melarang pengiriman virus Influenza kepada WHO. Karena Supari menaruh kecurigaan terhadap skema GISN(Global Influenza Surveilance Network) yang dijadikan dalih WHO untuk memaksa semua negara anggota WHO untuk mengirim viru influenza kepada organisasi kesehatan dunia tersebut.
Masak iya, 110 negara di dunia yang mempunyai kasus influenza biasa (seasonal flu) harus mengirimkan specimen virus secara sukarela, tanpa protes sama sekali. Betapa tidak. Virus yang diterima GISN sebagai wild virus menjadi milik GISN. Dan kemudian diproses untuk risk assessment dan riset para pakar. Disamping itu juga diproses menjadi seed virus. Dan dari seed virus dapat dibuat suatu vaksin, di mana setelah menjadi vaksin, didistribusikan ke seluruh dunia secara komersial. Alangkah tidak adilnya, begitu menurut pikiran wanita kelahiran Solo, Jawa Tengah tersebut.
Selain gusar mengapa tak ada satupun negara, termasuk Indonesia, yang berani protes atas aturan yang tidak adil tersebut, alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada tersebut juga mulai mencurigai adanya konspirasi internasional di balik Flu Burung tersebut. Siapakah sesungguhnya yang memperdagangkan virus seasonal flu? Negara-negara penderita mengirimkan virus dengan sukarela ke GISN-nya WHO, tetapi mengapa kemudian tiba-tiba perusahaan pembuat virus memproduksinya? Dimana mulai diperdagangkan.
Dan ini yang paling penting: Ada hubungan apa antara WHO, GISN dan perusahaan pembuat vaksin? Pokoknya ada yang tidak beres lah.
Karena belakangan dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ini tahu, bahwa Flu Burung yang berasal dari virus jenis H5N1, WHO juga menerapkan peraturan yang sama. Artinya, negara-negara yang diterjang penyakit Flu Burung, maka harus menyerahkan virus H5N1 ke WHO CC. Tapi setelah itu? Negara pengirim tidak pernah tahu, untuk apa dan diapakah virus tersebut. Dan dikirim kemana virus tersebut?
“Apakah akan dibuat vaksin atau bahkan jangan-jangan akan diproses menjadi senjata biologis? Kepada siapa saya harus bertanya? Apa hak dari si pengirim virus yang biasanya adalah negara yang sedang berkembang dan negara miskin. Begitulah kegusaran Supari sebagaiman terdokumentasi dalam buku karyanya bertajuk “Saatnya Dunia Berubah.”
Sederet pertanyaan yang berada di benaknya, mendorong Supari meminta pendapat Sangkot Marzuki, memang ahlinya untuk menjawab soal ini. Menurut Marzuki, ternyata para ilmuwan di dunia tidak semuanya bisa mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO CC, yang entah bagaimana ceritanya, kok bisa-bisanya disimpan di Los Alamos National Laboratory di New Mexico.
Terungka bahwa selama ini data sequencing H5N1 yang kita kirim ke WHO hanya dikuasai oleh ilmuwan-ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, yang jumlahnya hanya sedikit, barangkali hanya sekitar 15 grup peneliti. Yang menariknya lagi, 4 dari 15 on berasal dari WHO CC, dan sisanya entah berasal dari mana.
Barang tentu, fakta ini bikin Supari Shock. Karena laboratorium Los Alamos ini berada dalam kendali Kementerian Energi, Amerika Serikat. Dan di Los Alamos inilah, dulu pada saat Perang Dunia II sedang panas-panasnya, di Laboratorium inilah dirancang Bom Atom untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945.
Tentu saja ketertutupan informasi dan ketidakmampuan pihak luar untuk mengakses apa yang terjadi di Alamos, bisa berbahaya sekali. Karena masyarakat tidak tahu apakah virus H5N1 itu akan dibiuat vaksin, atau jangan-jangan malah dibiuat senjata kimia. Sepenuhnya tergantung mereka-mereka yang berwenang mengendalikan Los Alamos seperti Kementerian Energi dan Kementerian Pertahanan (Pentagon).
Setelah memahami sepenuhnya konteks sesungguhnya dari apa yang mencuat di balik penyebaran Flu Burung tersebut, Supari sejak itu bertekad untuk membebaskan ketertutupan infomasi ilmiah tersebut. Maka dengan bantuan dari Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia(AIPI), Supari dengan didampingi oleh Sangkot Marzuki, kemudian memutuskan untuk mentransparankan data sequencing DNA virus H5N1 untuk perkembangan ilmu pengetahuan agar tidak dimonopoli oleh sekelompok Ilmuwan saja.
Langkah berikutnya, Supari melayangkan surat kepada WHO agar Indonesia, tentunya melalui Kementerian Kesehatan, agar dapat diberikan data sequencing virus yang sempat menerjang Tanah Karo, Sumatera Utara, beberapa waktu lalu. Dan rupanya WHO untuk soal ini menangapi positif. Tak lama kemudian, WHO mengirim data sequencing virus Tanah Karo.
“Maka sejak saat itu, 8 Agustus 2006, sejarah dunia mencatat bahwa Indonesia mengawali ketransparanan data sequencing DNA virus H5N1 yang sedang melanda dunia. Yakni dengan cara mengirim data yang tadinya disimpan di WHO, dikirim pula ke Gene Bank,” begitu penegasan penuh semangat dari Supari lewat bukunya.
Kembali ke soal Alamos, ada yang aneh dan misterius. Tak lama setelah Supari menuntut data virus Tanah Karo, laboratorium Los Alamos sudah ditutup dan tidak ada lagi. Menurut kabar yang santer terdengar, penyimpanan data sequencingnya dipindahkan ke dua tempat. Yaitu GISAID dan sebagian ke BHS atau Bio Health Security, suatu lembaga penelitian senjata biologi yang berada di bawah Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon.
Mengerikan bukan? Karena itu berarti 58 virus H5N1 Indonesia juga tersimpan di sana. Bagaimana WHO CC mengirimkan data sequencing DNA ke Los Alamos.
Inilah yang mendasari kebijakan Menteri Kesehatan Supari untuk menolak mengirim virus Influenza, dan khususnya H5N1 kepada WHO. Dan sini pula keanehan baru segera terungkap.
“Mengapa yang saya tuntut WHO, kok kemudian yang berhadapan dengan kita adalah negara adidaya Amerika Serikat? Tadinya saya heran. Tapi sekarang tidak heran lagi,” tutur Supari.
Dalam analisis Supari, skenarionya kemungkinannya seperti ini: Virus dari affected countries (negara yang tertular) dikirim ke WHO CC melalui mekanisme GISN. Tetapi keluarnya dari WHO CC ke Los Alamos melalui mekanisme yang semua orang tidak tahu.
Dan di WHO CC, virus diproses untuk dijadikan seed virus dan kemudian diberikan ke perusahaan vaksin untuk dibuat vaksin. Namun ada kemungkinan yang jauh lebih mengkahwatirkan: Karena bisa jadi virus tersebut digunakan sebagai bahan untuk membuat senjata kimia/senjata biologis.
Atas dasar fakta-fakta tersebut, Supari dalam kapasitas sebagai Menteri Kesehatan, sejak 20 Desember 2006, memutuskan untuk menghentikan pengiriman specimen virus Flu Burung dari Indonesia ke WHO CC, selama mekanismenya masih mengikuti GISN.
Menurut Supari, mekanisme GISN yang imperialistik tersebut harus dirubah menjadi mekanisme yang adil dan transparan, sehingga negara-negara penderita yang notabene negara berkembang dan miskin, tidak dirugikan seperti sekarang ini.
Maka sejak saat itu pula, gerakan Supari tidak sebatas menyatakan sikap dan pendirian pemerintah terhadap WHO, melainkan melangkah lebih jauh lagi, menggalang dukungan internasional untuk memperjuangkan agendanya tersebut. Berjuang melawan Ketidakadilan WHO.
Perlawanan Supari terhadap WHO, rupanya benar-benar menggetarkan pusat urat syaraf (nerve center) WHO dan berbagai komponen strategis AS yang berada di belakang WHO. Sehingga WHO kemudian menurunkan David Heymann, Asisten Direktur Jenderal WHO yang menangani Flu Burung, untuk mendesak agar Indonesia tetap mengirimkan seasonal vaccine yang menurut Heymannn Indonesia tidak butuh-butuh amat.
Selanjutnya Heymann juga mendesak Menteri Kesehatan agar Indonesia patuh dengan menyetujui dan mengikuti mekanisme GISN dalam mengumpulkan virus H5N1. Dia menjanjikan akan membantu kebutuhan dana dan bantuan teknis kepada Indonesia, asalkan tunduk dan patuh pada mekanisme GISN WHO.
Singkat cerita, Supari dengan tegas menolak, dengan alasan Indonesia sekarang punya agenda sendiri yang berada di luar skema WHO, apalagi yang mengacu pada mekanisme GISN. Karena WHO dalam pandangannya ada kepentingan terselubung di dalamnya.
Maka, pada Sidang World Health Assembly(WHA) Mei 2007, Supari mulai meluaskan gerakannya melawan WHO secara internasional. Dalam Sidang WHA-60 di Komisi A, delegasi Indonesia mengajukan draf resolusi berjudul: Responsible Practices for Sharing Avian Inflluenza Viruses and Resulting Benefits.
Dan hasilnya cukup menakjubkan. Resolusi Indonesia didukung 23 negara co sponsor: Iran, Korea Utara, Vietnam, Irak, Kuba, Palestina, Saudi Arabia, Malaysia, Kamboja, Timor-Leste, Sudan, Myanmar, Maldives, Peru, Brunei Darussalam, Algeria, Qatar, Laos, Solomon Islands, Bhutan, Kuwait, Bolivia, dan Pakistan.
Amerika Serikat, melalui draft resolusinya mengajukan judul: Mechanisme to Promote Access to Influenza Pandemic Vacvine Production, kemudian berbenturan head to head dengan Indonesia.
Namun akhirnya Indonesia menang, berkat dukungan 24 negara-negara anggota WHO, mekanisme virus sharing menurut GISN WHO dinyatakan tidak berlaku lagi.
Maka, dengan dukungan 24 negara, Indonesia tercatat sejarah akhirnya mampu mengajukan perobahan mekanisme atau aturan dari organisasi global sekelas WHO. Aturan GISN-WHO yang sudah mapan selama 50 tahun dan mengandung aroma ketidakadilan, dan merugikan negara-negara berkembang, akhirnya berhasil direformasi berkat kepeloporan Indonesia. ***
Pengelolany saja sudah aneh, militer AL amerika membuka lab penelitian penyakit?? Demi kemanusiaan?? Ajaib
ReplyDeleteFlu burung cs adlh bagian dr senjata biologis amerika, beruntung Indonesia memiliki menkes patriotik yh brhsil mmbngkarnya melalui sidang PBB.
Dunia terbelalak.. Menkese SFS lntas mnerbitkan bku tentang konspirasi dblik vaksin flu burung. Buku keren yg wajib d baca rakyat Indonesia
Namru 2 bagaikan Umbrella dlm game Resident Evil
Meraka akan meng KPK kan para pejabat yang tidak akan mengikuti agenda ZIONIS
ReplyDelete