Indonesian Free Press -- Empat anak sedang asyik bermain-main. Namun keasyikan mereka diganggu oleh seorang di antaranya yang selalu berbuat curang. Tidak tahan dengan kecurangan-kecurangan itu tiga anak di antara kawanan itu sepakat untuk memberi pelajaran kepada teman mereka yang curang. Pada satu kesempatan, seorang di antara ketiga anak itu menjegal anak yang curang hingga terjatuh.
Anak curang itu marah kepada salah satu anak yang dicurigainya sebagai pelaku penjegalan. Namun tuduhan itu dibantah dengan keras. Maka tuduhan pun beralih ke anak kedua. Kembali, tuduhan itu dibantah dengan keras. Maka tuduhan pun dialihkan kepada anak ketiga. Ketika tuduhan itu dipatahkan, si anak curang pun pulang sambil menangis.
Mungkin hal itu tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi di antara Turki, Rusia, Suriah dan Iran dalam konflik Suriah akhir-akhir ini.
Pada tanggal 24 November lalu pasukan Turki dan koalisinya yang berada di pinggiran kota Al Bab, Suriah, mendapatkan serangan udara dari angkatan udara negara yang tidak diketahui. Akibat serangan itu empat orang personil pasukan khusus Turki tewas dan sembilan lainnya mengalami luka-luka. Akibat selanjutnya, Turki pun membatalkan rencananya yang telah disusun matang, yaitu mengambil alih kota Al Bab dari kelompok ISIS.
Padahal, pada 22 November dalam konperensi “Turkey’s New Security Concept,” Erdogan mengklaim bahwa kelompok sekutunya di Suriah, FSA, telah tiba di pinggiran kota al-Bab dan menegaskan bahwa 'kemenangan telah di depan mata'.
"Namun itu belum cukup. Dari Al BAb kita akan bergerak ke Manbij. PYD (milisi Kurdi Turki) dan YPG (milisi Kurdi Suriah) ada di Manbij. … Kita ingin mereka pergi,” kata Erdogan.
Media-media massa dan pejabata Turki langsung menyebut serangan itu dilakukan oleh Suriah. Namun, kecurigaan sebenarnya mengarah pada Rusia, mengingat bahwa tanggal terjadinya serangan sama dengan insiden penembakan pesawat tempur Rusia oleh Turki setahun sebelumnya. Rusia seolah mengingatkan Turki bahwa insiden itu tidak akan pernah dilupakan meski kedua negara telah melakukan rekonsiliasi.
Maka sehari kemudian Presiden Turki pun menelepon Presiden Rusia Vladimir Putin menanyakan masalah itu. Putin membantah kecurigaan Erdogan dan mengatakan bahwa pelaku serangan adalah drone-drone tak berawak dari negara tertentu yang tidak diketahuinya. Maka, pandangan mata Turki selanjutnya mengarah ke Iran.
Seperti dilaporkan Veterans Today, Rabu (7 Desember), pejabat senior Turki menyebut drone Iran terindikasi sebagai pelaku serangan maut tersebut, meski ia tidak menyebutkan secara langsung.
“Masih belum jelas milik siapa drone-drone itu,” katanya.
Ia hanya menyebut bahwa tipe drone itu adalah sama dengan milik kelompok Hezbollah maupun tentara Pengawal Revolusi Iran (IRGC) yang diketahui beroperasi di Suriah.
"Ada banyak pendapat tentang insiden ini dan akan ada permainan 'menyalahkan'. Rusia telah meyakinkan bahwa mereka bukan pelakunya. Namun ada sejumlah elemen di wilayah ini. Setelah penyelidikan mendalam, kami akan tahu siapa pelakunya. Jadi, sekarang bukan saat yang tepat untuk menuduh negara manapun," tambahnya.
Keberadaan militer Turki di Suriah sebenarnya sangat riskan. Misi tersebut tidak mendapat perlindungan udara dari Amerika-Nato, karena dianggap mengancam sekutu Amerika, yaitu milisi Kurdi. Untuk itu Turki harus mendapat ijin dari Rusia, Suriah dan Iran sebelum menggerakkan pasukannya di Suriah, atau menghadapi resiko serangan udara yang tidak bisa ditangkalnya.
Bagi Suriah, Rusia dan Iran, keberadaan Turki di al Bab dianggap sudah terlalu jauh dan mengancam misi mereka menumpas para teroris dan pemberontak, meski Turki menjamin misinya hanya untuk mengusir kelompok ISIS dari wilayah perbatasan. Secara informal para pejabat keamanan ketiga negara telah mengingatkan Turki untuk tidak menyerang Al BAb. Namun hal itu diabaikan Turki. Dan insiden 24 November tersebut menyadarkan Erdogan bahwa kekuatannya tidak sebanding dengan ambisinya.(ca)
Turki masih menjadi Pion NATO utk bermain di Suriah.. entah demi kepentingannya sendiri atau big boss nya
ReplyDelete