(Pelajaran dari Brazil)
Indonesian Free Press -- Pada bulan April 2016, parlemen Brazil (Câmara dos Deputados) memutuskan untuk memecat (impeach) presiden terpilih Dilma Rousseff. Kesalahannya, hanyalah tuduhan korupsi yang tidak pernah bisa dibuktikan.
Terlepas dari alasan yang absurd, Câmara dos Deputados atau majelis rendah tidak memiliki kewenangan untuk meng-impeach presiden terpilih. Sama seperti parlemen Inggris dahulu tidak berwenang untuk mengadili Raja Charles. Namun, ketika sekumpulan 'bajingan' sudah berkuasa, apapun akan dilakukan untuk memaksakan kehendak.
Di Inggris, dahulu mereka menyerbu parlemen, menculik para anggotanya yang menolak persidangan terhadap raja dan menggantinya dengan 'bajingan-bajingan' yang sefaham dengan mereka. Kemudian, meski tidak ada satu lembagapun yang berhak untuk mengadili raja dan tidak ada yurisprudensi sebagai dasar hukum di Inggris, untuk mengadili raja, parlemen memutuskan untuk memecat raja dan menjatuhkan hukuman mati.
Demikian juga dengan parlemen Brazil, tanpa kewenangan memecat seorang Presiden Terpilih.
Dilma Rousseff terpilih menjadi Presiden Brazil tahun 2010, dengan suara 56-44 persen melawan kandidat dari partai 'kanan' neoliberal Brazilian Social Democratic Party (PSDB). Empat tahun kemudian ia kembali terpilih menjadi presiden dengan suara 52-48 persent. Meski suaranya turun, ia tetap Presiden terpilih yang sah.
Terpilihnya Rousseff membuat panik pihak neoliberalisme Amerika yang berafiliasi dengan kelompok oposisi Brazil. Ditambah dua periode pendahulu dan mentor Rousseff, da Silva, selama empat periode pemerintahan Brazil dikuasai oleh kekuatan sosialis 'kiri', dan itu tidak menyenangkan kelompok pemodal neoliberalis Amerika. Kakhawatiran ini semakin menguat oleh spekulasi kemungkinan da Silva kembali mencalonkan diri setelah masa pemerintahan Rousseff berakhir. Maka skenario untuk menjatuhkan Rousseff dan Silva pun diatur.
Setelah melalui kampanye massif di media massa tentang tuduhan korupsi Silva dan Rousseff, pada tanggal 4 Maret Silva ditangkap aparat kejaksaan dan kepolisian. Meski Silva adalah pemimpin paling populer di Brazil dengan tingkat keterpilihannya mencapai 90% saat turun dari jabatannya dan sangat dihormati di kalangan internasional, ia diperlakukan dengan 'kurang ajar'. Ia ditangkap di rumahnya pada malam hari dan digelandang dengan borgol ketat ke tempat tersembunyi untuk diinterogari selama berjam-jam.
Dilma mewarisi kondisis ekonomi yang 'booming' yang diwarisi dari Silva. Bersama Cina dan beberapa negara tengah berkembang lainnya, pertumbuhan ekonomi Brazil melompat 7,5% pada tahun 2010, tertinggi selama beberapa dekade. Dan kebijakan 'neo-developmental economic' berhasil menemukan keseimbangan yang sempurna: pertumbuhan ekonomi dan distribusi ekonomi yang berimbang antara para pemilik modal dan pekerja.
Upah riel naik 70% selama kepemimpinan Silva dan 21 juta lapangan kerja tercipta selama kepemimpinannya. Pada saat yang sama, pendidikan, kesehatan dan layanan sosial masyarakat juga tumbuh maju. Untuk pertama kalinya, warga miskin memiliki akses ke pendidikan sekaligus penghasilan dan kredit perbankan. Kelas menengah baru tumbuh dengan pesat ditandai dengan ramainya mall-mall, bandara, bank-bank, klinik pribadi dan ramainya jalanan dengan mobil-mobil murah yang diakses warga dengan 72 skema pembayaran yang mudah.
Kembalinya Silva ke kursi kekuasaan, dan itu berarti enam periode pemerintahan sosialisme, akan semakin membuat kalangan neoliberalisme terpinggirkan dan punah di Brazil. Maka, segala cara pun tigunakan untuk mencegah hal itu, termasuk memperlakukan pemimpin yang terhormat dengan keji.
Paralel dengan di Brazil, di Indonesia KPK juga telah melakukan hal yang sama: mempermalukan para pemimpin dan tokoh masyarakat dengan tidak hormat. Tanpa dasar yang kuat beberapa dari mereka dijebak dalam operasi OTT dan diperlakukan seperti kriminal rendahan dengan baju tahanan dan borgol dipamerkan ke publik. Namun, pada saat yang sama koruptor besar yang telah terbukti oleh laporan BPK, justru melenggang bebas.
Hal ini telah menghancurkan kepercayaan publik pada sistem kenegaraaan bahkan terhadap eksistensi negara sendiri. Terlebih pada saat berbagai kondisi mengalami stagnasi bahkan kemunduran, khususnya selama kepemimpinan jokowi: pertumbuhan ekonomi lambat, pengangguran tinggi, kriminalistas tinggi, distribusi pendapatan buruk dan politik yang gaduh.
Dalam diskusi ILC TVOne minggu lalu terungkap banyak hal buruk tentang KPK yang membuktikan kecurigaan blog ini, bahwa lembaga anti-rasuah ini telah menjadi alat proxy war asing untuk melemahkan negara ini (Indonesia). Terutama sekali adalah kasus hilangnya data kependudukan Indonesia yang kini konon justru dimiliki oleh asing. Dan semua ini terjadi pada saat proyek E-KTP tengah dalam pengawasan KPK.
Ini adalah kasus yang sangat serius, dan para pelakunya seharusnya mendapat hukuman sangat berat, setara dengan kejahatan kudeta dan pengkhianatan kepada negara.
Apakah KPK terlibat dalam kasus ini? INilah yang harus dibuktikan oleh negara dan rakyat negeri ini.(ca)
Yg jelas KPK sudah terokoptasi kepentingan Politik
ReplyDeletemudah2an tulisan ini dibaca oleh Slank dkk yg suka teriak2 save KPK
ReplyDeletedirektur kpk, tdk punya hati...saya sebagai teman
ReplyDelete