Indonesian Free Press -- Serangan rudal Amerika dan sekutu-sekutunya ke Suriah beberapa waktu lalu dianggap terlalu lembek oleh sebagian politisi dan kalangan militer/inteligen Amerika. Apalagi dengan dampak yang relatif lemah bagi Suriah, dimana sekitar 70% dari 103 rudal yang diluncurkan berhasil ditembak jatuh oleh Suriah.
Seperti dilaporkan WSWS (World Socialist Web Site), 19 April, kampanye anti-Rusia dan desakan aksi lebih keras terhadap Rusia dan Suriah semakin nyaring didengungkan oleh sejumlah kalangan di Amerika.
Pada hari Selasa (17 April) para politisi dari Partai Republik mengecam langkah pemerintahan Donald Trump terhadap Suriah sebagai langkah 'terbatas' dan mendesak aksi militer yang lebih keras untuk menggulingkan Persiden Bashar al Assad dan menyingkirkan Iran dan Rusia.
Setelah pertemuan tertutup antara antara sejumlah anggota Senat dengan Menhan James Mattis serta Kastaf Gabungan Jendral Joseph Dunford, senator Republik Lindsey Graham mengatakan kepada wartawan bahwa pemerintah tidak memiliki strategi dan cenderung menyerah kepada Suriah, Russia, dan Iran.
"Saya rasa setelah serangan ini, (Bashar al) Assad menganggap kita hanya bisa berkicau (di Twitter) namun tidak bertindak,” katanya.Graham mendesak pemerintah untuk menerapkan 'no-fly zone' di Suriah dan menembak jatuh pesawat-pesawat Rusia, serta pengerahan lebih banyak pasukan darat dengan bekerjasama dengan kelompok-kelompok militan.
"Rusia dan Iran tidak boleh terus memenangkan peperangan tanpa perlawanan," lanjut Graham
Sementara senator Demokrat Chris Coons mengkritik pernyataan Trump baru-baru ini untuk menarik pasukan Amerika dari Suriah dan mengatakan, "Adalah penting bagi kita untuk tetap berada di Suriah. Jika kita mundur sepenuhnya maka keingingan-keinginan kita dalam hal resolusi diplomatik maupun program rekonstruksi atau apapun paska pemerintahan Assad, akan lenyap.”
WSWS juga menyoroti editorial New York Times yang ditulis Susan Rice, mantan dubes Amerika untuk PBB dan Penasihat Keamanan Nasional pemerintahan Barack Obama. Dalam tulisan itu Rice menolak penarikan pasukan Amerika dari Suriah, khususnya di wilayah Utara dan Timur Suriah yang berbatasan dengan Turki dan Irak, dimana wilayah itu kaya dengan sumber energi. Rice menulis bahwa Amerika dan sekutu-sekutunya harus 'mengamankan, membangun kembali dan membentuk pemerintahan lokal di wilayah-wilayah yang telah dibebaskan'.
"Ini adalah kata-kata kode bagi pembentukan penguasaan neo-kolonial atas wilayah Suriah dan menggunakannya sebagai basis operasi melawan regim Assad, Rusia dan Iran," tulis WSWS, seraya menyebut tuduhan serangan senjata kimia sebagai rekayasa untuk membom Suriah.
“Ini akan membuat Amerika bisa menggagalkan ambisi Iran untuk menguasai wilayah dari Irak, Suriah dan Lebanon; mempertahankan pengaruh di wilayah-wilayah kaya minyak dan menyingkirkan Assad dari kekuasaan atas sejumlah wilayah secara substantif.”
WSWS juga menyoroti editorial Wall Street Journal (WSJ) pada 16 April lalu yang menyerukan Presiden Trump untuk membentuk “safe zones” di Suriah utara maupun di perbatasan Yordania. Langkah ini, sebut WSJ, tidak akan mengancam kekuasaan Assad di Suriah, namun memberi tanda bahwa Amerika tidak akan meninggalkan Suriah untuk dikuasai Iran dan Rusia.”
WSJ menyerukan apa yang disebutnya 'langkah damai memecah Suriah berdasar etnis'.
"Apa yang dibahas adalah memecah belah secara permanen dan merekonstruksi Suriah dan seluruh Timur Tengah, demi kepentingan imperialisme Amerika mempersiapkan basis bagi perang melawan Iran dan Rusia," tulis WSWS lagi.
Di sisi lain, pada 15 April mantan Dubes AS di Suriah Ryan Crocker dan Michael O’Hanlon dari Brooking INstitute menulis di The Wall Street Journal dan menyarankan serangan udara yang lebih besar ke Suriah dengan sasaran pusat-pusat komando, para pemimpin politik termasuk Assad hingga sasaran kepentingan Iran yang tidak terbatas.(ca)
Kalau berani.. cobalah Amerika sendirian melakukan serangan darat.. rasanya hasil nya sudah ditebak
ReplyDelete