JawaPos.com - Kekhawatiran bahwa tenaga kerja asing (TKA) mencaplok lapangan kerja yang seharusnya untuk pekerja lokal ternyata benar. Temuan Ombudsman Republik Indonesia (ORI), cukup banyak TKA yang mengisi posisi yang seharusnya untuk pekerja dalam negeri.
Temuan itu berdasar investigasi yang mereka lakukan pada medio Juni hingga Desember tahun lalu. Di Morowali, Sulawesi Tengah, ORI menemukan sedikitnya 200 TKA yang menjadi sopir "Seharusnya, pekerjaan itu bisa diberikan kepada WNI," kata Komisioner ORI Laode Ida dalam paparan di Jakarta kemarin (26/4). "Pekerjaan itu tidak masuk dalam skema transfer teknologi maupun transfer kemampuan. Masak sih nggak ada orang Indonesia bisa jadi sopir?" lanjutnya.
Kasus sopir TKA di Morowali adalah salah satu di antara sekian banyak permasalahan TKA di Indonesia. Jaminan pemeÂrintah bahwa TKA tidak akan memakan lapangan kerja pekerja lokal tidak sepenuhnya bisa dipenuhi.
Sopir adalah salah satu pekerjaan yang diisi oleh TKA di Indonesia. Menurut Ombudsman jumlahyan 200.
Sopir adalah salah satu pekerjaan yang diisi oleh TKA di Indonesia. Menurut Ombudsman jumlahyan 200. (Ismail Pohan/Indopos/Jawa Pos Group)
Hal itu terjadi karena lemahnya penegakan hukum oleh pemerintah. Mulai penempatan, pengawasan, sampai penindakan. Padahal, banyak kementerian dan lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan TKA. Namun, mereka tidak bisa menjalankan fungsi dengan maksimal karena belum selaras. "Belum ada integrasi data antara kementerian, lembaga, dan pemda," ucap Laode.
Laode menuturkan, TKA sulit diawasi begitu lolos dari pintu masuk pertama di Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi KeÂmenterian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM). "Setelah itu, TKA sulit dijangkau. Tidak ada yang bisa deteksi, termasuk polisi," ulasnya.
Kondisi itu dirasakan sendiri oleh ORI ketika melakukan investigasi. Untuk sekadar memeriksa paspor TKA saja, ORI sulit melakukannya. TKA menolak dengan keras.
Kondisi tersebut membuat TKA leluasa melanggar aturan. Misalnya, memanfaatkan visa turis untuk bekerja. Persoalan visa turis untuk bekerja semakin masif setelah ada kebijakan bebas visa yang diatur dalam Perpres Nomor 21 Tahun 2016. Karena itu, ORI mengusulkan kepada Kemenkum HAM untuk mempertimbangkan evaluasi kebijakan bebas visa. Kebijakan itu oleh oknum TKA dimanfaatkan untuk menerabas aturan.
Celah itu juga mengacaukan data TKA yang dimiliki sejumlah kementerian dan lembaga. Salah satunya, izin mempekerjakan tenaga kerja asing (IMTA).
Laode menambahkan, banyak pihak tidak peduli terhadap aturan dan ketentuan yang berlaku di Indonesia. Baik TKA maupun perusahaan yang mempekerjakan mereka.
Khusus kasus di Morowali, tingkat pelanggaran peraturan oleh TKA sangat mengkhawatirkan. Selain pekerja asing menjadi sopir, ORI menemukan data bahwa persentase pekerja kasar mencapi 90 persen.
Karena itu, ORI menuntut Kemenaker untuk segera memperbaiki kondisi yang sarat pelanggaran tersebut. Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing dengan tegas menyebut posisi pekerjaan kasar harus ditempati pekerja lokal.
Pemerintah Berjanji Menindaklanjuti
Direktur Bina Penegakan Hukum Kemenaker Iswandi Hari tidak bisa memberikan jawaban memuaskan atas temuan ORI. Iswandi, yang kemarin hadir dalam paparan ORI, hanya menegaskan bahwa instansinya akan melakukan tindak lanjut.
Dia meminta semua pihak tenang. Sebab, Kemenaker tidak akan menempatkan TKA pada posisi yang bisa diisi tenaga kerja lokal. "Sehingga memang teman-teman tidak usah khawatir dengan perpres yang baru," ucap dia.
Iswandi menyatakan, pemerintah sudah memiliki Tim Pengawasan Orang Asing alias Tim Pora. "Dengan data yang disampaikan Pak Laode bahwa (kementerian dan lembaga, Red) belum terpadu, itu bagian dari kelemahan kami juga," ucapnya.
Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menuturkan, keberadaan TKA di Indonesia sudah sesuai aturan. TKA yang berada di wilayah Sulawesi ditujukan untuk pembangunan smelter. Sebab, daerah tersebut adalah kawasan perÂtambangan yang membutuhkan investasi dari luar negeri.
Investasi asing itu masuk dengan beberapa permintaan. Termasuk, beberapa posisi pekerjaan yang harus diisi TKA.
"Jadi, perusahaan-perusahaan yang masuk, banyak investasi-investasi yang masuk, mengatakan dengan turnkey project. Turnkey project itu adalah dia meminta ada tenaga kerja yang tentu harus dengan izin," ujar Yasonna seusai peringatan Hari Hak Kekayaan Intelektual di Istana Wakil Presiden kemarin.
Dia mengungkapkan, TKA itu pun meminta rekomendasi dari Kemenaker yang berkaitan dengan profil para pekerja. Jumlah TKA yang dipekerjakan juga diteliti terlebih dahulu. "Nanti baru kami terbitkan visanya."
Yasonna sepertinya perlu diajak memantau ke Morowali. Agar mengetahui adanya posisi sopir yang diisi TKA. (jun/syn/c11/ang)
Sebuah anomali dan suatu bencana besar apabila dibiarkan..
ReplyDelete