By Ruby Kay
Baiklah, saya akan kupas jeroan Seword yang dimiliki oleh Alifurahman, seorang cebong ortodoks. Ini orang memang terkenal sebagai dedengkot cebong garis keras, sudah bolak balik masuk istana merdeka. Maka jangan heran kalau portal setan yang suka menyebar berita hoax ini tetap eksis, lha wong pemiliknya dekat dengan penguasa.
Bagaimana mereka bekerja dan segala tetek bengek lainnya? Portal berita hoax yang getol menyerang entitas partai, ormas dan ulama Islam itu memang hingga kini makin berjaya dikalangan cebong, sebagai salah satu sumber rujukan pendukung Jokowi untuk memperoleh informasi, selain Mak Lambe Turah dan KataKita tentunya. Ada juga Baboo yang di inisiasi oleh Denny Siregar. Saya belum pernah mengaksesnya, namun diperkirakan sama saja isinya dengan Seword, sebagai media untuk menyalurkan visi rezim Jokowi untuk menyebarkan "hoax yang membangun". Hehehe...
Setahun yang lalu, saya yang masih terkontaminasi virus cebong mencoba untuk jadi kontributor Seword. Beberapa tulisan saya kirim ke admin via email. Tak kunjung dapat balasan. Maklum, tulisan yang dikirim lebih banyak membahas tema sosial dan humaniora. Jadi mikir sejenak, "kok gak direspon ya sama adminnya?" Oh, l see. Dugaan saya admin memprioritaskan tulisan-tulisan politik yang membela Ahok dan Jokowi. Memang setahun yang lalu suhu politik di Jakarta sedang panas-panasnya. Dan Seword jadi salah satu media yang getol membela Ahok dan kebijakan Jokowi.
Dari kesimpulan itu, maka saya buat satu tulisan yang memuja habis penguasa, tentu disertai dengan kata-kata yang menyerang pihak lawan. Dan tak lama kemudian, admin membalas email, mengirimkan pemberitahuan bahwa saya diterima jadi salah satu kontributor Seword. Dikirimkan pula link untuk melakukan registrasi, disertai username dan password untuk login ke halaman wordpress. Yup, Seword memakai wordpress sebagai media kontributor untuk mem-publish tulisan. Admin tak lupa meminta foto KTP dan nomor telepon untuk proses verifikasi dan dimasukkan kedalam grup kontributor Seword.
Sebuah grup di aplikasi Telegram berisi para penulis Seword, jumlahnya ratusan. Namun yang aktif menulis hanya sekitar puluhan orang. Grup selalu ramai siang dan malam. Berbagai isu terkini dilontarkan member untuk kemudian 'digoreng' menjadi sebuah tulisan agitatif yang membela penguasa serta memojokkan pihak lawan. Maka mulailah saya memperkenalkan diri kepada member lawas, lalu mulai menulis dengan isu seputar politik.
Pada awalnya, admin getol mengawal tiap tulisan yang saya buat. Proses editing berjalan dengan baik. Saya diminta admin untuk menyertakan link berita dari portal media mainstream sebagai alibi untuk memperkuat opini. Saya taat mengikuti instruksi. Hasilnya, not bad. Beberapa tulisan saya ramai dipelototi pembaca. Komentar pujian didapatkan, dengan beberapa pesan agar kedepannya tulisan saya bisa lebih menggigit dan menyerang PKS, HTI, FPI, Habib Rizieq Shihab, Anies Baswedan-Sandiaga Uno dan tentu saja menjelek-jelekkan Prabowo Subianto.
Awalnya enjoy, lama-kelamaan kok berasa ada yang salah dengan portal setan ini. Tak ada lagi pengawasan yang ketat dari admin. Proses editing diabaikan, malah tiap kontributor bisa secara langsung mem-publish tulisan walau belum dicek redaksionalnya oleh admin.
Nah, disini mulai tampak keculasan dan kesalahan berpikir deduktif. Kontributor tak lagi melandasi tulisan dengan alibi yang kuat. Boro-boro menyertakan link berita untuk memperkuat opini, penulis Seword malah semakin membabi buta membuat tulisan hanya didasarkan atas kebencian semata. Isu-isu yang digulirkan di grup Telegram, langsung disambar begitu saja. Merangkai kata hanya sebatas imajinasi tanpa disertai dengan fakta. Maka makin banyaklah tulisan sampah yang hanya bertujuan menjatuhkan pihak lawan.
Dari awal bergabung sebagai kontributor Seword, niat saya sudah bulat. Menjadikan media ini sebagai sarana untuk menyalurkan hobi menulis, bukan sebagai mata pencaharian utama. Namun ternyata banyak juga kontributor yang menjadikan Seword sebagai periuk nasi mereka. Beberapa kontributor bisa mem-publish tulisan belasan kali dalam sehari. Mereka tak lagi mengedepankan kualitas, tapi hanya mementingkan kuantitas. Tulisan yang menggiring opini publik untuk semakin membenci Habib Rizieq dan FPI sangat digemari oleh pembaca Seword. Walaupun argumentasi tulisan tadi lemah dan tak miliki bukti, namun viewer dipastikan akan membludak.
Dengan semakin banyaknya pengunjung yang membaca tulisan, si kontributor akan terima bayaran yang semakin tinggi, karena Seword memang memberi honor berdasar jumlah viewer per tulisan. Hitung saja kalau per viewer Rp10 kalikan dengan 5.000 pembaca sudah menghasilkan Rp50.000. Itu cuma 1 tulisan, kalau kontributor bisa membuat 10 tulisan per hari, berarti Rp500.000 masuk dalam kantong penulis dalam sehari.
Membuat tulisan agitatif tanpa dilandasi dengan bukti itu mudah sekali. Hanya menyebar kebencian apa susahnya sih?! Makanya saya selalu menekankan, jika membuat tulisan sertakanlah dengan bukti, paling tidak sertakan link atau capture berita dari portal media mainstream agar tak dianggap sebagai hoax. Inilah yang membedakan ummat Islam dengan cebong yang acapkali mempercayai informasi dari portal berita setan begitu saja. Ditelan mentah-mentah tanpa nalar dan logika.
Seword, KataKita, Mak Lambe Turah dan banyak lagi portal berita hoax lainnya, seharusnya sudah dibredel dari dulu. Banyak sekali bukti yang bisa menjadi dasar hukum untuk melakukan pembekuan permanen. Dari penjelasan saya tadi juga bisa disimpulkan, bahwa tulisan yang dipublish oleh Seword tak melewati prosedur jurnalistik yang baik dan benar. Tak ada proses editing, tak ada pengawasan oleh admin. Penulis hanya diberikan satu pesan utama dari pemiliknya, serang dan hancurkan musuh dengan tulisan yang menjelek-jelekkan pihak lawan. Fakta dan bukti itu urusan belakangan, yang penting tiap hari Seword bisa memproduksi tulisan agitatif. Dari itulah, pengunjung membludak, pendapatan dari iklan pun didapat.
Kontributor Seword tak pernah dibekali dengan ilmu dan pemahaman akan kaidah jurnalistik. Rekrutmennya saja hanya sebatas membuat tulisan yang memuja penguasa. Tak ada tes tertulis, tak ada interview, tak ada tes pengetahuan umum, bahasa inggris, psikotes dan hal lain yang umum dilakukan oleh perusahaan media massa. Celakanya, dijaman sekarang banyak orang yang melandasi pemahaman kepada portal berita 'gak jelas'. Jawa Pos yang kantornya menjulang tinggi di jalan Ahmad Yani Surabaya pun kalah pamor dengan Seword yang kantornya saja tak jelas dimana. Si admin Seword hanya seorang wanita usia 30-an yang ngakunya tinggal dikost-kostan dekat kampus Undip Semarang.
Dengan penjelasan saya ini, pembaca bisa tahu kualitas bacaan para cebong pemuja Jokowi. Yup, mereka peroleh informasi sesat dari portal berita hoax yang sekedar memperbanyak kuantitas tulisan untuk semakin meningkatkan frekuensi pengunjung situs. Bagi saya yang sudah pernah berkecimpung didalamnya, Seword tak ada bedanya dengan situs video porno atau judi online. Mencari pemasukan dari iklan yang tayang dengan cara menjual berita palsu lagi menipu, ditulis oleh orang-orang yang tak paham metode dan kaidah jurnalistik. (BZH)
Saya baru tahu tentang situs ini dari artikel intelejen. Penasaran, begitu di buka cuma bisa geleng2 situs seperti ini tidak tersentuh hukum..
ReplyDeleteNgerii