Indonesian Free Press -- Invasi AS dan koalisinya atas Irak tahun 2003 dan ditambah invasi ISIS tahun 2014 membawa keberkahan besar bagi Iran. Irak, negara mayoritas Shiah namun selama berpuluh-puluh tahun dipimpin oleh orang-orang Sunni itu kemudian menjadi 'negara vassal' atau bawahan Iran setelah terusirnya AS dan ISIS berkat jasa Iran. Tidak ada pemerintahan, paska invasi AS, yang bisa tegak bertahan tanpa 'restu' Iran. Tentara Iran dan milisi-milisi Shiah pro-Iran juga bertebaran di Irak.
Namun kondisi ini kini terancam punah dalam sekejap. Rakyat Irak, tidak hanya orang-orang Sunni tapi juga Shiah kini menyerukan penolakannya atas pengaruh Iran di Irak. Sementara pengaruh AS dan Saudi masih sangat kuat, khususnya di wilayah-wilayah mayoritas Sunni dan Kurdi di barat dan utara Irak, perkembangan baru ini membuat dilema yang sangat serius bagi Iran. Pengaruhnya yang sudah sangat kuat saat ini di kawasan bisa hancur begitu saja.
Penolakan terhadap pengaruh Iran tidak hanya terjadi di kota-kota mayoritas Sunni, namun juga di wilayah basis Shiah di Irak Selatan dengan kota-kota utamanya seperti Najaf, Basrah dan Karbala. Dan yang lebih mengejutkan Iran tentunya adalah dukungan terhadap aksi-aksi demontrasi antia-Iran, yang awalnya adalah aksi-aksi demonstrasi menuntut perbaikan ekonomi, diberikan oleh ulama Shiah terkemuka, Ayatollah Sistani.
Seperti dilaporkan New Eastern Outlook (NEO), 4 Desember, Perdana Menteri Irak Adel Abdel Mahdi yang didukung Iran mengumumkan pengunduran diri pada akhir November lalu setelah Ayatollah Sistani menyuarakan pergantian pemerintahan beberapa jam sebelumnya. Menurut NEO ini adalah puncak dari perselisihan diam-diam antara Iran dengan orang-orang Shiah Irak. Untuk meredakan ketegangan, Iran mengirim Jendral Qassem Suleimani, orang yang paling berjasa mengusir ISIS dari Irak, untuk membujuk Ayatollah Sistani. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil.
Sikap Ayatollah Sistani ini sejalan dengan Muqtaba Al-Sadr, ulama Shiah dan juga politisi terkemuka Irak yang juga menolak dominasi Iran atas Irak. Al Sadr bahkan tidak menyembunyikan dukungannya terhadap aksi-aksi demonstrasi anti pemerintahan dan anti-Iran dengan turut hadir dalam aksi tersebut. Jauh sebelum aksi-aksi demonstrasi yang telah berlangung selama dua bulan dan menelan korban hingga 400 jiwa Al-Sadr sudah menunjukkan penolakannya atas dominasi Iran, negara yang menyelamatkannya saat ia menjadi buronan pemerintahan proksi AS paska invasi AS. Ia, misalnya, pernah dengan demonstratif mengadakan kunjungan ke musuh Iran Saudi Arabia dan bertemu Putra Mahkota Mohammad Bin Salman.
"Jadi kini tidak hanya kekuatan AS dan Saudi Arabia yang mengobok-obok Iraq, namun dua kekuatan Shiah utama yang saling bersaing," tulis Veterans Today atas situasi di Irak saat ini.
Menurut Veteran Today dibutuhkan 'kepala dingin' dan 'kecerdasan tinggi' dari para pemimpin Iran dan Irak atas situasi yang terjadi di Irak sehingga Irak tidak terjerumus ke jurang kekacauan. Namun yang pasti satu pelajaran diperolah Iran, yaitu bahwa Irak bukanlah Iran.
"Tidak seperti Iran, Iraq bukanlah negara dengan satu agama sehingga setiap upaya dari satu kelompok untuk mendominasi di atas kelompok lainnya akan berakhir pada kerusuhan dan kekacauan.... seperti terjadi saat ini. Dengan kata lain Irak tidak bisa diperlakukan sebagai kepanjangan tangan Iran semata," tulis pengamat politik Timteng NEO, Catherine Shakdam.
"Jika masa depan Iraq masih belum jelas dan terancam bangkrut, yang pasti adalah rakyatnya, tidak melihat faktor agama, etnis dan kesukuan, bersatu padu menuntut pemerintahan yang independen dan terlepas dari campur tangan asing, bahkan meski itu adalah dari sekutu paling berjasa mengusir ISIS. Dan lagi, Iraq dan Iran selalu menikmati hubungan sejarah yang rumit yang diwarnai dengan persekutuan dan pengkhianatan," tambah Chaterine.(ca)
satu satunya kekuatan yg dapat menyatukan rakyat Irak dalam satu tujuan bersama hanyalah Islam, Islam yang sebenar benarnya Islam
ReplyDelete