* Kapal Turki Diroket di Libya
Indonesian Free Press -- Orang tamak tidak mendapatkan apapun. Demikian kata-kata bijak yang sudah berlaku sejak ribuan tahun yang lalu di seluruh dunia. Namun Thayeb Erdogan tidak mau belajar dari itu semua.
Saat ini Erdogan memendam dua ambisi besar sekaligus, menguasai Suriah utara dan Libya. Tanpa mau berhitung sejenak, bahwa salah satu ambisi tersebut tidak bisa diraihnya tanpa dukungan Amerika dan NATO, yang sayangnya keduanya justru tidak menyukai Erdogan yang dianggap sebagai 'berandalan' yang tidak bisa dipercaya.
Seperti diberitakan Southfront kemarin (19 Feb), Turki telah menarik sebagian besar pasukannya dari wilayah Suriah utara. Diduga kuat setelah terjadi perselisihan dengan kelompok-kelompok militan pemberontak Suriah yang didukungnya dan setelah NATO tidak memberikan dukungan terhadap rencana Turki.
"Militer Turki ditarik dari sejumlah posisi di wilayah Hasakah di utara Suriah, demikian seperti dilaporkan Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) pada Rabu 19 Februari. Pasukan Turki ditarik dari kota-kota Harass, al-Swdah, al-Manajir dan al-Subliyah. Sebelum pergi mereka dikabarkan membakar pos-pos mereka...... Minggu lalu Turki dilaporkan juga menarik diri dari posisi di dekat kota Hliwah, Jamus, Arisha, Mahmoudiyah, al-Sawda, Said dan Khirbat Jamou di utara al-Hsakah," tulis Southfront.
Sementara Veterans Today melaporkan bahwa NATO dan kelompok teroris Hayat Tahrir al-Sham (HTS, turunan dari Jabhat Al Nusra dan Al Qaeda) yang selama ini menjadi sekutu Turki, menolak bekerjasama dengan Turki dan meninggalkan Turki sendirian menghadapi koalisi Suriah-Rusia-Iran di wilayah Idlib.
"Selama lebih dari 2 hari Turki mengadakan perundingan dengan kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan al-Nusra. Pertemuan berlansung di tengah ketegangan antara Turki dan Rusia terkait kesepakatan Sochi tentang situasi di Idlib. Pertemuan dihadiri pejabat-pejabat dinas inteligen Turki MIT, HTS dan Free Syrian Army (FSA)," tulis Veterans Today.
Dalam pertemuan itu Turki meminta HTS untuk menyatukan diri dengan FSA demi mengesankan bahwa Turki telah memisahkan kelompok teroris dengan 'pemberontak moderat' sebagaimana kesepakatan Sochi antara Rusia dan Turki. Setelah itu komandan HTS Muhammed al-Julani, dikirim untuk 'beristirahat' di kota Afrin di bawah perlindungan Turki, sementara pasukannya bertempur di Idlib di bawah bendera FSA. Namun usulan itu ditolak FSA.
Cukup masuk akal Julani menolak usul tersebut karena tidak percaya dengan Turki. Panglima ISIS Al Baghdadi tewas dibunuh pasukan khusus AS saat berada di bawah perlindungan Turki. Al Qaida juga menyalahkan Al-Nusra yang dianggap terlalu dekat dengan Turki.
Veteras Today menambahkan bahwa beberapa saat sebelum pernyataan sikap HTS tersebut mereka telah meninggalkan posisinya di barat Aleppo, memungkinkan pasukan Suriah menguasai sepenuhnya wilayah tersebut tanpa perlawanan berarti dan menguasai kembali jalan raya M5 yang strategis yang menghubungkan Aleppo-Damascus dan kini terus mendesak ke Idlib.
Tidak adanya dukungan HTS dan Al Qaida membuat situasi semakin berbahaya bagi Turki, yang telah mengirimkan ribuan pasukannya ke Idlib untuk mempertahankan ambisi Erdogan menguasai Suriah utara, seperti masa Khilafah Ottoman di masa lampau.
Terlebih tanpa dukungan NATO, meski sebagai anggota NATO Turki berhak mendapatkan dukungan penuh. Seberapapun kuat pasukan darat Turki, hanya menjadi bulan-bulanan Rusia yang menguasai wilayah udara Suriah. Sebagaimana dilaporkan sejumlah media independen beberapa waktu lalu, pesawat-pesawat pembom Rusia menghancurkan konvoi militer Turki di Idlib, menewaskan sejumlah besar tentara dan menghancurkan kendaraan-kendaraan militer Turki.
Seperti dilaporkan situs Bulgarian Military 17 Februari, Turki kehilangan 23 tank (termasuk 4 MBT Leopard), sekitar 50 APV (pengangkut personil lapis baja), 18 peluncur roket, 20 truk pengangkut dan 2 gudang senjata akibat diserang pesawat Rusia di dekat perbatasan Suriah-Turki.
Kapal Turki Diroket di Libya
Sementara itu Sputnik News malaporkan kemarin (18 Februari) bahwa kelompok Libyan National Army (LNA) pimpinan Jendral Khalifa Haftar menghancurkan sebuah kapal pengangkut Turki yang diduga memuat senjata di pelabuhan Tripoli.
LNA menuduh Turki telah melanggar kesepakatan internasional dengan mengirimkan senjata ke Libya.
"Tidak ada keterangan dari otoritas Turki atas insiden ini. Sementara itu kapal tersebut telah dievakuasi setelah serangan, Reuters melaporkan dengan mengutip keterangan pejabat pelabuhan," tulis Veterans Today.(ca)
Turki sudah terlalu menyimpang dan berambiai
ReplyDelete