Monday 23 March 2009

PEMBUNUHAN DAVID DAN SKANDAL INSLAW



Indonesian free press -- Tewasnya David Hartanto, mahasiswa genius Indonesia di kampus Nanyang University Singapura masih menyimpan banyak misteri. Spekulasi terakhir yang berkembang sebagaimana disiarkan oleh TVOne tgl 22 Maret lalu adalah motif perampokan atas program sofware yang dibuat oleh David oleh profesornya sendiri.

Bagi orang awam mungkin agak janggal, hanya sebuah program komputer buatan sendiri bisa menjadi motif pembunuhan. Namun tidak jika mereka tahu bahwa sebuah program komputer buatan seorang genius komputer bisa dihargai hingga ratusan miliar rupiah dan menjadi daya tarik orang jahat untuk merampoknya. Apalagi kalau program tersebut juga menyangkut keamanan negara atau kelompk tertentu.

Tanpa bermaksud terlibat dalam perdebatan mengenai motif pembunuhan David, saya ingin mereview kembali sebuah kasus yang mirip dengan kasus David yang sebenarnya sudah pernah saya postingkan di blog ini. Namun untuk menyegarkan kembali ingatan, apalagi setelah terjadinya kasus David, saya tuliskan kembali di sini. Tulisan ini mengenai sebuah skandal besar yang terjadi di Amerika yang ditulis oleh Michael Collins Piper dalam buku The New Jerussalem.

Mungkin pembaca juga bertanya, bukankah Singapura bukan Amerika? Memang, namun keduanya mirip, yaitu dalam hal dominasi yahudi dalam pemerintahannya. Perdana menteri pertama Singapura adalah seorang yahudi. Penasihat Lee Kuan Yew adalah orang-orang yahudi. Mossad memiliki markas di sini. Di Singapura bahkan terdapat 1 skuadron tempur pesawat Israel.

Skandal INSLAW dimulai bulan Maret tahun 1982 saat perusahaan software komputer Inslaw milik Bill dan Nancy Hamilton yang berbasis di Washington memenangkan tender senilai 10 juta dollar yang diadakan Kejaksaan Agung Amerika. Tender tersebut mewajibkan Inslaw dalam jangka waktu tiga tahun harus menyediakan suatu program canggih Promise di 22 kantor Kejaksaan Agung, ditambah penyediaan program word processor di 72 kantor kecil lainnya di seluruh negara bagian Amerika. Program Promise adalah program sangat canggih yang memungkinkan penelusuran cepat melalui sarana komunikasi terhadap target individu-individu tertentu.

Sementara itu seorang kroni Jaksa Agung Edwin Messe, Dr Earl Brian, yang bekerja untuk CIA, tergiur dengan nilai kontrak tersebut berusaha mengambil alih kontrak dengan membeli saham Inslaw, namun ditolak oleh suami istri Hamilton.

Pada tahun 1983 Kejaksaan Agung mengatur pertemuan antara Hamilton dengan seorang yang mangaku pejabat Departemen Kehakiman Israel bernama Dr Ben Orr. Ben Orr mangaku sangat terkesan dengan Promise, namun Hamilton harus menelan kekecewaan karena ternyata Ben Orr tidak berniat untuk membeli. Beberapa waktu kemudian, melalui sumber informan di Kejaksaan Agung, Hamilton tahu bahwa Earl Brian berusaha mencuri teknologi Promise dan menjualnya ke LEKEM, unit inteligen Angkatan Bersenjata Israel yang dipimpin oleh Rafael Eitan untuk melacak orang-orang Palestina maupun politikus yang kritis terhadap Israel. Eitan sendiri tidak lain tidak bukan adalah Ben Orr yang telah bertemu dengan Hamilton. Dan Brian ternyata tidak hanya menjual software bajakan ke LEKEM, namun juga ke beberapa dinas rahasia asing lainnya.

Kisahnya semakin panjang karena Eitan adalah pejabat dinas rahasia Israel Mossad yang membimbing Jonathan Pollard, mata-mata Israel yang menggemparkan Amerika karena tertangkap saat mencuri teknologi canggih militer Amerika untuk dijual ke Israel. Operasional LEKEM dan Mossad di Amerika dibiayai oleh beberapa perusahaan di Bahama yang dikelolah firma hukum Burn & Summit yang dimiliki tidak lain oleh Deputi Jaksa Agung Arnold Burns.

Di tengah-tengah kenyataan produknya dibajak habis-habisan, Hamilton harus menelan pil pahit, Kejaksaan Agung menunggak pembayaran sisa nilai kontrak senilai 7 juta dolar. Tidak hanya itu, pada tahun 1984 Kejaksaan Agung secara sepihak membatalkan kontrak. Seakan tidak pernah lepas dari “penderitaan”, suami-istri Hamilton masih harus menghadapi “serangan” Earl Brian yang tidak pernah patah semangat mengambil-alih saham INSLAW dengan dukungan koneksi-koneksinya, termasuk perusahaan pialang Charles Allen & Co.

Pada bulan Pebruari 1985 Hamilton mengajukan perlindungan kebangkrutan ke Pengadilan Federal di Washington seraya mengajukan tuntutan kepada Kejaksaan Agung atas kerugian yang dideritanya. Untuk urusan itu ia menyerahkannya ke pengacara Leigh Ratiner dari kantor pengacara Dickstein, Shapiro and Morin. Meski Kejaksaan Agung, melalui Eitan berupaya keras mengalahkan Hamilton, termasuk dengan suap senilai 600.000 dolar yang diberikan kepada Ratiner, hakim federal yang menangani perkara tersebut, George Bason Jr. memenangkan Hamilton tahun 1988.

Namun itu semua baru permulaan dari masalah yang lebih besar. Ketika keputusannya belum dapat dieksekusi, George Bason diganti secara mendadak, penggantinya hakim Martil Tell yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi seperti Bason. (Dalam kesaksiannya kemudian kepada Kongress saat kasus tersebut akhirnya diperiksa oleh Kongress, Bason menyatakan dengan tegas bahwa penggantiannya disebabkan oleh keputusannya yang melawan kepentingan Departemen Kehakiman).

Siapa di balik penggantian Bason, ternyata tidak lain adalah Deputi Jaksa Agung Arnold Burns, jaksa berpengaruh yang lama terkait dengan kegiatan Anti Demafation League (ADL) sekaligus pendiri “Nesher”, organisasi rahasia berpengaruh yang beranggotakan sekitar 300 pejabat publik Amerika yang misinya mendukung kepentingan Israel.

Meski sebagian besar media massa Amerika dikuasai orang Yahudi dan menyembunyikan kasus ini, beberapa media massa independen, terutama The Spotlight dan The Napa Sentinel, mengeksposnya dengan gencar dan masalah ini menjadi kasus yang menarik perhatian banyak pihak sehingga Elliot Richardson, mantan Jaksa Agung Amerika yang prihatin dengan kebobrokan institusi yang pernah dipimpinnya, menawarkan diri menjadi pembela Hamilton. Selain itu Hamilton juga mendapat dukungan anggota Kongres Jack Brooks yang mengadakan penyidikan terhadap kasus ini. Namun kekuasaan musuh-musuh Hamilton terlalu kuat meski ia telah mendapatkan dukungan beberapa figur terkenal.

Sementara itu Kejaksaan Agung mengajukan banding atas keputusan yang telah dibuat hakim Bason, dan pada tahun 1990 pengadilan banding menetapkan pengadilan tidak berhak mengadili perkaran yang diajukan Hamilton. Pengadilan juga menetapkan apabila Hamilton masih menginginkan perkaranya disidangkan ia harus mengajukan penuntutan dari awal lagi.

Pada tahun 1991, di bawah tekanan publik, Jaksa Agung William Barr yang juga mantan pejabat CIA membentuk tim khusus di bawah pimpinan mantan hakim federal Nicholas Bua untuk menyelidiki kasus ini. Hasil penyidikan yang diumumkan tahun 1993, seperti sudah diduga, memenangkan Kejaksaan Agung atas Hamilton. Sementara pada tahun 1992 Hamilton mengajukan banding ke Mahkamah Agung hanya untuk mendapatkan kekecewaan karena Mahkamah Agung dalam keputusannya tahun 1997 tetap memenangkan Kejaksaan Agung.

Sementara itu seiring dengan terbukanya kasus ini, satu demi satu orang-orang yang mengetahui kasus ini meninggal secara misterius.
• Agustus 1991, jurnalis independen Danny Casolaro yang bekerja untuk Hamilton dan banyak berhubungan dengan CIA, meninggal di kamar hotel. Polisi menyatakan ia meninggal bunuh diri.
• Tahun 1992, pengusaha dan detektif swasta Ian Stuart Spiro bersama istri dan ketiga anaknya meninggal secara misterius. Seorang tetangga Spiro juga ditemukan tewas terbunuh (diduga turut dibunuh karena melihat aksi pembunuhan keluarga Spiro). Namun polisi menyatakan Spiro bunuh diri setelah membunuh anak istrinya.
• Juli 1991, reporter Anson Ng yang bekerja untuk surat kabar Inggris, Financial Times, dan tengah menyelidiki kasus INSLAW serta kaitan Israel dengan skandal Iran-Contra, meninggal karena tembakan. Lagi-lagi polisi menyatakan penyebab kematian adalah bunuh diri.
• Dennis Eisman, seorang pengacara bagi pengekspos kasus INSLAW Michael Riconosciuto, meninggal dengan luka tembakan di dada. Sekali lagi polisi menyatakan penyebab kematian adalah bunuh diri.
• Maret 1990, jurnalis Inggris Jonathan Moyle yang juga menyelidiki kasus INSLAW meninggal tergantung di sebuah hotel.
• Analis pertahanan Alan D. Standorf, tubuhnya ditemukan meninggal dalam sebuah mobil di Bandara Nasional Washington.
• Michael Allen May, teman mantan presiden Nixon, meninggal empat hari setelah surat kabar independen The Napa Sentinel menulis laporan tentang keterkaitannya dengan kasus INSLAW. Polisi menyatakan penyebab kematian karena overdosis obat-obatan.
• Insinyur Barry Kumnick, salah satu pengembang teknologi PROMIS, juga ditemukan meninggal dunia.

Penyelidikan yang dilakukan mantan Jaksa Agung Richardson menemukan bukti-bukti yang berbeda dengan keterangan polisi. Menurutnya kematian-kematian misterius tersebut di atas disebabkan oleh aksi OSI (Office of Special Investigation), unit khusus dalam Kejaksaan Agung yang awalnya didirikan untuk memburu mantan anggota NAZI Jerman dengan bekerja sama dengan dinas rahasia Israel Mossad. Dalam laporannya tanggal 14 Februari 1994 Richardson mengatakan bahwa Kejaksaan Agung, melalui OSI, mempekerjakan agen-agen rahasia yang berasal dari berbagai instansi pemerintah termasuk angkatan bersenjata, juga agen-agen rahasia dari negara asing. Kejaksaan Agung juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan bisnis gelap dengan beberapa perusahaan dan individu.

Michael Collins Piper, menemukan bahwa Deputi Sherif Tim Carroll yang menyidik kematian Ian Stuart Spiro merupakan agen Mossad melalui aktifitasnya di Anti-Demafation League (ADL). Carroll juga terlibat dalam aksi penyerangan sekelompok polisi terhadap rumah Willis A. Carto, penerbit The Spotlight yang mengekspos kasus INSLAW. Sedangkan hakim Martin Teel adalah individu yang bertanggungjawab atas dibreidelnya The Spotlight, majalah independen yang banyak membuka kasus-kasus yang disembunyikan dan diabaikan media-media massa utama, tahun 2001.

6 comments:

  1. Itu backgoround lagu di matikan aja. amatir banget sih. artikel bagus gitu orang bacanya jadi nga konsen.

    ReplyDelete
  2. jangan marah-marah om. kalau ngak suka lagunya tinggal di-pause saja kok.

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Ngak usah marah-marah om. Kalau ngak suka lagunya tinggal di pause saja kok.

    ReplyDelete
  5. Ngak usah marah-marah om. Kalau ngak suka lagunya tinggal di pause saja kok.

    ReplyDelete
  6. Ngak usah marah-marah om. Kalau ngak suka lagunya tinggal di pause saja kok.

    ReplyDelete