Seminggu yang lalu muncul berita-berita di media massa tentang rencana pembelian senjata nuklir Pakistan oleh Saudi. Ternyata berita itu hanyalah pengalihan. Saudi memang sangat bernafsu untuk mendapatkan senjata nuklir demi "mengimbangi" saingan utamanya, Iran, namun tidak dengan bantuan Pakistan, melainkan Israel dan Perancis.
Dan satu langkah besar telah dilakukan poros Saudi-Israel-Perancis ini, yaitu kegagalan perundingan nuklir Iran dengan anggota DK PBB plus Jerman yang disabot Perancis. Ketika perundingan nyaris berakhir dan draft kesepakatan telah disusun di bawah pengawasan Menlu Amerika, Rusia dan Uni Eropa, utusan Perancis dalam perundingan yang juga mantan menlu Laurent Fabius tiba-tiba memaksakan satu point tentang "keamanan Israel".
Dengan "perlindungan" Amerika dan Israel, Saudi sebenarnya tidak memiliki ancaman ekternal kecuali ancaman internal dari rakyatnya sendiri yang semakin sadar dengan kondisi mereka yang tidak baik, seperti para wanitanya yang dilarang mengendarai mobil.
Namun kini pemerintah Saudi sadar bahwa setelah berpuluh-puluh tahun menindas rakyatnya, satu-satunya cara untuk mencegah revolusi adalah kekuatan militer yang dilengkapi dengan senjata nuklir. Dengan senjata itu pula Saudi akan memiliki tambahan kepercayaan diri untuk berhadapan dengan Iran.
Adalah Pangeran Bandar, kepala inteligen dan anggota keluarga kerajaan senior Saudi, yang menjadi "pemimpin proyek" nuklir Saudi. Namun berbeda dengan program nuklir Iran yang ditujukan untuk penelitian dan mendapatkan energi efisien di bawah pengawasan badan nuklir dunia (IAEA), program nuklir Saudi adalah mendapatkan senjata nuklir secara diam-diam.
Israel yang "merilis" kabar tentang rencana pengiriman senjata nuklir Pakistan untuk Saudi dan dengan cepat kabar itu diteruskan oleh media-media Amerika dan India, musuh utama Pakistan. Rumor itu tidak saja ditujukan untuk mendeskreditkan Pakistan, namun lebih utama lagi adalah menyembunyikan koneksi Saudi-Israel melalui Perancis.
DEMI UANG ARAB
Berbeda dengan negara-negara lain di dunia yang sangat antusias menyelesaikan krisis nuklir Iran, ada 2 negara yang sangat tidak menyukai hal itu, yaitu Israel dan Saudi.
Sejak awal terjadinya perundingan nuklir Iran di Genewa baru-baru ini PM Israel Benjamin Netanyahu sudah merengek-rengek pada Amerika dan negara-negara Eropa peserta perundingan untuk menolak kesepakatan dengan Iran kecuali Iran bersedia menghentikan program nuklirnya. Demikian pula Saudi. Hanya beberapa hari sebelum perundigan dimulai mantan kepadal inteligen Saudi Pangeran Turki al Faisal berbicara kepada "Washington Post" bahwa negaranya menentang penghentian sanksi terhadap Iran.
Setelah terjadinya perubahan signifikan kebijakan luar negeri Amerika terhadap Iran, yang ditandai dengan percakapan telepon antara Presiden Amerika Barack Obama dan Presiden Iran Rouhani di New York bulan lalu dan diimplementasikan dengan pembatalan serangan militer Amerika terhadap Syria, terjadi perubahan konstelasi politik sangat mendasar di Timur Tengah. Saudi secara terbuka menyatakan niatnya untuk merubah posisinya dengan Amerika sementara Netanyahu tidak berhenti berteriak menuduh Rouhani sebagai "tukang bersandiwara".
Seiring dengan itu Saudi dan saudara-saudaranya di kawasan Teluk Parsi, Qatar dan Uni Emirat Arab, secara drastis meningkatkan hubungannya dengan Perancis melalui kerjasama di berbagai bidang, mulai dari pembelian senjata besar-besaran, pembangunan infrastruktur dan kerjasama energi.
Pada bulan April lalu Paris menjadi tamu pertemuan bisnis Saudi-Perancis yang diikuti oleh 500 pengusaha dari kedua negara. Pada bulan Juli perusahaan Perancis Veolia memenangkan kontrak senilai $500 juta untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas pengubah air laut menjadi air bersih. Di sisi lain Perancis juga menandatangani kesepakatan penjualan pesawat tempur Rafale dengan Qatar dan Uni Emirat Arab.
Salah satu "bisnis" yang menggiurkan Perancis untuk melirik Saudi dan negara-negara Teluk adalah pengembangan energi nuklir. Saat ini perusahaan nuklir Perancis Areva tengah bersaing dengan beberapa pesaingnya dari Eropa untuk membangun reaktor nuklir di Uni Emirat Arab. Hal ini tentu sangat ironis karena pada saat bersamaan Perancis begitu gencar menentang program nuklir damai Iran.
Pada bulan Juni lalu "Financial Times" menulis laporan berjudul “France calls for increased investment from Qatar”. Laporan itu menyebutkan bahwa Presiden Hollande sangat berharap uang dari Qatar bisa mengalir ke Perancis untuk menciptakan lapangan kerja di Perancis. Menyusul kunjungan Hollande ke Qatar bulan itu, kedua negara sepakat membentuk perusahaan patungan senilai $400 juta yang akan mengatur aliran dana Qatar ke sektor bisnis Perancis.
Sejauh ini investasi Qatar di Perancis telah mencapai angka $15 miliar yang masuk ke perusahaan energi raksasa Total, perusahaan konstruksi Vinci, kelompok media massa Legardere, supplier air dan listrik Veolia, hingga ke sektor olahraga dengan kepemilikan klub sepakbola Paris Saint Germain. Keluarga Emir Al Thani bahkan telah membeli beberapa properti mewah di Paris.
Situasi ekonomi yang buruk serta popularitas Hollande yang merosot tajam memaksa Perancis mengambil sikap dramatis dengan menghancurkan perundingan nuklir Iran. Dengan tindakannya itu Perancis ingin menyenangkan para bos baru mereka, Saudi dan negara-negara Teluk.
REF:
"Saudis seek ‘Samson Option’ with Israeli, French aid"; Gordon Duff; Veterans Today; 11 November 2013
"France wrecks P5+1 deal for Arab money"; Finian Cunningham; Press TV; 10 November 2013
bangsa salman mengambil langkah bijak dengan meneroka teknologi nuklear, bahan api fossil akan kehabisan-
ReplyDeletesaudi menggunakan duit minyaknya untuk berjoli dan membantu terroris di sana dan sini-saat minyak kehabisan maka kita akan lihat siapa yang akan tersungkur, jadilah bangsa yang bijak
APA YANG MENJADI KEINGINAN ISRAEL TERHADAP IRAN SAMA DENGAN KENGINAN SAUDI TERHADAP IRAN, JADI ISRAEL = SAUDI = PENGHIANAT ISLAM = COMMON ENEMY KEMANUSIAN
ReplyDelete