Indonesian Free Press -- Dalam beberapa hari yang lalu beredar kabar yang simpang-siur tentang konflik di Suriah. Pada tanggal 27 Juli koran New York Times melaporkan telah disetujuinya pembentukan 'zona larang terbang' di perbatasan Suriah oleh Amerika dan Turki. Namun tidak lama kemudian jubir kepresidenan Amerika membantah kabar itu.
Kemudian muncul lagi kabar tentang Amerika yang akan menyerang pasukan Suriah yang menyerang pasukan pemberontak 'moderat' yang didukung Amerika. Namun, lagi-lagi berita inipun dibantah kembali oleh pemerintah Amerika, yang menyatakan tidak pernah bermaksud menyerang tentara Suriah.
Lalu, sebenarnya apa yang sedang terjadi?
Wartawan senior Thierry Mayssan dari situs Voltairenet.org pada tanggal 13 Agustus menuliskan artikel menarik tentang latar belakang terjadinya simpang siur informasi itu. Menurutnya telah terjadi perpecahan di pemerintahan Amerika atas konflik Suriah. Di satu sisi Presiden Obama sudah jenuh dengan perang yang berlarut-larut dan ingin mengakhirinya, yaitu dengan menghancurkan kelompok ISIS. Namun di sisi lainnya sebagian pejabat, terutama Jendral John R. Allen justru ingin melanjutkan konflik.
Jendral Allen, utusan khusus koalisi internasional anti-ISIS yang sebelumnya menjadi komandan pasukan NATO di Afghanistan, adalah bagian dari regim Amerika yang lebih mewakili kepentingan zionis. Ia bersama Direktur CIA Jendral Petraeus adalah penyabot konperensi internasional untuk Syria tahun 2012 sehingga konperensi yang digagas Amerika itu gagal total.
Jendral Petraeus berhasil disingkirkan Obama dan kini terjerat kasus pembocoran data ingeligen. Namun Jendral Allen masih bisa bertahan menjadi sandungan Obama.
Sementara itu di Rusia, pemerintah yang mengkhawatirkan bangkitnya terorisme di wilayah Kaukasus terkait dengan berkembangnya kelompok-kelompok teroris di Suriah dan Irak (ISIS, Al Nusra dll), dengan restu Barack Obama berusaha keras menggalang solidaritas Arab untuk memerangi terorisme di Suriah.
Terkait dengan hal itu, empat negara Arab, Mesir, Uni Emirat Arab, Yordania dan Oman, dikabarkan tengah menyusun rencana bersama untuk membantu pemerintah Suriah dalam memerangi kelompok-kelompok teroris. Kantor berita Iran Fars News Agency (FNA) melaporkan baru-baru ini.
Mujtahid, seorang aktifis politik Saudi yang memiliki hubungan dengan kalangan kerajaan minggu lalu berkicau di Twitter tentang hal ini. Sementara itu Saudi, Qatar, dan Turki menolak rencana itu.
Menhan sekaligus Deputi Putra Mahkota Mohamed bin Salman adalah penolak utama rencana ke-4 negara itu dan kunjungan Mendagri Suriah Ali Mamlouk ke Saudi Arabia baru-baru ini dimaksudkan untuk membujuknya bergabung dalam koalisi-4 negara itu, Mujtahid mengatakan.
Menurut Mujtahid, meski semua pihak sepakat untuk mengembalikan kehidupan normal warga Suriah, Saudi Arabia, Qatar, Turki dan unsur-unsur radikal dalam pemerintahan Amerika tetap bersikukuh untuk memerangi pemerintahan Bashar al Assad dengan membantu para pemberontak 'moderat'.
Bila kabar ini benar, hal ini menunjukkan negara-negara Arab itu telah lelah dan muak dengan apa yang terjadi di Suriah. Mereka percaya bahwa penyelesaian militer tidak mungkin bisa dipaksakan untuk menurunkan regim Bashar al Assad setelah empat tahun lebih ia berhasil bertahan dari pemberontakan besar-besaran yang didukung Amerika, Eropa dan kekuatan-kekuatan regional.
Apalagi dengan keberhasilan Iran, sekutu Suriah yang dengan gigih membantu Bashar Al Assad, dalam perundingan program nuklir negara itu dengan negara-negara besar (Amerika, Inggris, Perancis, Jerman, Rusia dan Cina), tanggal 14 Juli lalu. Hal itu bisa ditafsirkan sebagai pengakuan Amerika pada keunggulan Iran sebagai kekuatan politik internasional. Hal ini masih ditambah lagi dengan tekanan serius dari Rusia untuk menghentikan konflik di Suriah.
Sejak terjadinya konflik di Suriah pada bulan Maret 2011 lalu akibat pemberontakan yang didukung negara-negara asing, lebih dari 210.000 warga Suriah telah tewas. Tahun lalu saja 76.000 warga Suriah tewas akibat pemberontakan, sebagian adalah wanita dan anak-anak. Sementara itu lebih dari 3,8 juta orang meninggalkan negeri itu sebagai pengungsi dan lebih dari 7 juta lainnya kehilangan rumahnya.
Banyak pengamat politik, termasuk para pejabat di Barat yang menyalahkan Turki, Saudi Arabia, Qatar dan Israel atas terjadinya aksi-aksi terror di Suriah. Pada bulan April lalu seorang pemimpin kelompok teroris mengungkapkan bahwa Turki, Saudi dan Qatar menjadi perancang dan pemimpin dalam aksi-aksi kekerasan di Suriah dengan menyediakan personil dan persenjataan dalam aksi-aksi itu.
Para pejabat Suriah dan Irak telah berulangkali mengecam pemerintah Turki karena kaitannya dengan kelompok-kelompok pemberontak, termasuk keterlibatan Turki dalam perdagangan minyak yang dirampas oleh kelompok ISIL dan al-Nusra Front di wilayah-wilayah yang dikuasainya. Pada bulan Desember 2014 Perdana Menteri Suriah Wael al-Halqi menuduh Turki, Saudi Arabia, Qatar dan Yordania telah membentuk persekutuan bersama untuk memerangi Suriah.(ca)
No comments:
Post a Comment